Tesis ini merupakan kajian terhadap kasus kepemimpinan Sulthanah Shafiyyatuddīn Shāh Di
Kesultanan Aceh Darusssalam Tahun
1641-1675 M. Kepemimpinan perempuan yang menjadi masalah kontroversial pada
waktu itu, karena Perempuan
sering ditempatkan pada posisi yang lebih rendah dari laki-laki, dianggap tidak
mampu memikul amanah dan tanggung jawab, dianggap manusia yang lemah dan lainnya yang sangat menyudutkan kaum perempuan. Sehingga perempuan tidak pantas untuk menjadi pemimpin, padahal sejarah
membuktikan terutama di Nusantara ini, telah ada dari sejak abad 13,
pemimpin-pemimpin perempuan.
Kontroversi ulama, baik klasik maupun kontemporer, mengenai kepemimpinan
seorang perempuan berdasarkan kepada proses awal penciptaannya dalam sûrah
al-Nisâ’/4:1 dan Sûrah al-Nisâ/ 4 : 58 yang sebagian mufassir mengatakan bahwa khithab dari pada ayat ini adalah
umum, ditunjukan kepada setiap individu, bukan kaum laki-laki, dalam setiap amanat dan di dalam setiap menegakkan keadilan.
Hasil dari penelitian ini, kepemimpinan Sulthanah
Shafiyatuddin merupakan kontroversi yang bukan hanya isu politik semata, akan
tetapi ia merupakan persoalan yang menyentuh wilayah agama. Hanya dengan
dukungan agama, terutama dari ar-Raniri, perempuan pertama naik takhta, dan
juga hanya dengan kekuatan agama, yaitu fatwa, kekuasaan perempuan berakhir di
kerajaan Aceh ini. Persetujuan dan dukungan agama juga berperan sangat vital di
balik sejarah pemerintahan sulthanah yang panjang dan tokoh yang utama dalam
hal ini adalah as-Singkili, sebagai pemegang otoritas agama yang tertinggi di
kerajaan sangat dihormati, sehingga pandangannya yang moderat dan dukungannya
terhadap pemerintahan perempuan tidak mendapat tantangan yang serius. Hanya
setelah tokoh agama yang disegani wafat, fatwa yang tidak menyetujui
pemerintahan ratu muncul dan memperlihatkan kekuatannya.