Jumat, 06 Januari 2012

KESIMPULAN ; KEPEMINPINAN WANITA VERSI AL-ZAMAKHSYARI


Dari beberapa uraian yang dipaparkan pada bab-bab sebelumnya, dapat ditarik beberapa kongklusi, antara lain :
1. Al-Qur’ân dan hadis telah menempatkan kaum wanita pada posisi yang sebenarnya, posisi yang sangat mulia dan terhormat. Dengan demikian, kaum wanita dalam Islam dapat menempati posisi strategis apapun dan ikut serta dalam kegiatan-kegiatan kemasyarakatan yang dapat memberi manfaat buat diri dan lingkungannya.
2. Adapun kontroversi ulama, baik klasik maupun kontemporer, mengenai kepemimpinan seorang wanita berdasarkan kepada proses awal penciptaan kaum wanita, yang termaktub dalam surâh al-Nisâ’/4:1.
3. Sebagian ulama sepakat bahwa penciptaan Hawa, sebagai wanita pertama, berasal dari tulang rusuk Adam, yang berarti bahwa wanita berasal dari diri Adam. Sementara sebagian yang lain berpendapat bahwa Hawa diciptakan oleh Allah dari tanah sebagaimana penciptaan Adam.
4. Konsekuensi dari penafsiran “wanita berasal dari tulang rusuk Adam” adalah bahwa kaum wanita diciptakan untuk mengabdi kepada pria. Hal ini berarti bahwa kaum wanita harus tinggal di dalam rumah, menjalankan segala fungsi reproduksinya, karena hanya untuk itulah dia diciptakan. Statemen seperti ini sangat menyudutkan dan menempatkan wanita bukan pada proporsinya. Hal ini pulalah yang menjadi dasar tidak bolehnya seorang wanita ikut terlibat dalam kegiatan di luar rumah tangganya, seperti aktif dalam kegiatan-kegiatan kemasyarakatan.
5. Adapun bias dari penafsiran ulama “wanita diciptakan dari tanah sebagaimana Adam” adalah bahwa pria dan wanita mempunyai kedudukan yang sama. Mereka merupakan mitra sejajar dalam mengisi kehidupan. Oleh karenanya, wanita dapat terjun dan aktif dalam berbagai kegiatan, baik dalam rumah tangga maupun di luar rumah tangganya. Penafsiran ini memberikan angin segar bagi wanita untuk senantiasa aktif, di samping sebagai isteri, ibu rumah tangga, pendidik bagi anak-anaknya juga menjadi pengayom bagi masyarakatnya.
6. Sebagai salah seorang mufassir klasik, al-Zamakhsyarîy menafsirkan bahwa Hawa tercipta dari tulang rusuk Adam didasarkan pada surâh al-Nisâ’/ 4 : 1, surâh al-A’râf/ 7 : 189 dan al-Zumar/ 39 : 6. Kemudian bahwa laki-laki adalah pemimpin bagi wanita didasarkan pada surâh al-Nisâ’/ 4 : 34, karena ia mempunyai beberapa kelebihan atas perempuan. Kelebihan-kelebihan tersebut antara lain diungkapkan bahwa laki-laki adalah yang bertanggung jawab memberikan nafkah, lebih kuat akal, lebih teguh, lebih kuat fisik dan lain sebagainya.
7. Al-Zamakhsyarîy berpendapat laki-laki adalah pemimpin bagi kaum wanita. Oleh karena itu, wanita sebagai isteri harus menjadi pelayan yang baik bagi suaminya, wanita sebagai ibu rumah tangga dan ibu bagi anak-anaknya harus menjadi pendidik yang baik dan tetap pada tugas dan fungsi reproduksinya dalam rumah tangga suaminya. Wanita harus senantiasa berada di dalam rumah untuk melaksanakan kewajiban-kewajibannya. Akan tetapi al-Zamakhsyarîy berpendapat yang dikuatkan oleh Hadîts, bahwa istri dalam keluarga, juga mempunyai kewajiban untuk mengatur segala hal yang berkaitan dengan kelangsungan keluarga yang sakinah dan mawaddah terutama ketika sang suami tidak ada disampingnya.
8. Wanita sebagai Pemimpin Perusahaan merupakan sebuah anugrah yang diberikan Allah kepada hambanya berupa ilmu untuk memimpin, mengelola dan mengatur perusahaannya. Ayat للرجال نصيب مما اكتسبوا وللنساء نصيب مما اكتسبن ditafsirknnya, bahwa Tuhan menjadikan pembagian tersebut sebagai perolehan (kasb) setiap individu, baik laki-laki maupun perempuan, berdasarkan pengetahuan Tuhan mengenai kondisi yang menjadi faktor dilapangkan dan disempitkannya rezki seseorang.
9. Wanita sebagai Hakim ( Qhadli ), dalam surâh al-Nisâ/ 4 : 58, al-Zamakhsyarîy mengatakan bahwa khithab dari pada ayat ini adalah umum, ditunjukan kepada setiap individu, dalam setiap amanat dan di dalam setiap menegakkan keadilan. Disini jelas sekali apa yang dimaksud oleh al-Zamakhsyarîy, bahwa setiap orang, baik laki-laki maupun wanita, baik orang merdeka maupun hamba sahaya, mereka berhak dan memungkinkan untuk menjadi hakim ( Qhadli ) dalam setiap menegakkan keadilan dan menjalankan amanat.
10. Wanita sebagai Dewan Perwakilan Rakyat, sangat berkaitan sekali dalam rangka pelaksanaan amar ma’ruf nahi mungkar. Al-Zamakhsyarîy menjelaskan bahwa sesungguhnya yang harus melaksanakan amar ma’ruf nahi mungkar ini adalah semua muslim yang komitmen dan memenuhi syarat. Dari tafsiran Al-Zamakhsyarîy di atas, jelas bahwa yang menjadi khithab untuk melaksanakan amar ma’ruf nahi mungkar ini semua muslim, baik laki-laki maupun wanita
11. Wanita sebagai Pemimpin Pemerintahan kalau melihat penafsiran Al-Zamakhsyarîy dalam surâh al-Nisâ/ 4 : 58, beliau tidak secara inplisit menegaskan kebolehan wanita sebagai pemimpin pemerintahan, tetapi secara eksplisit, hal ini masih termasuk tatanan dalam penyampaian amanat dan tatanan dalam keadilan pemerintah. Artinya baik laki-laki maupun wanita yang menjadi pemimpin pemerintahan, tidak secara tegas dipermasalahkan, akan tetapi yang menjadi permasalahan adalah bagiamana dia cara memimpin pemerintahan tersebut.
12. Penafsiran-penafsiran al-Zamakhsyarîy di satu sisi kelihatannya misoginis dan memandang rendah kemampuan wanita dalam hal kepemimpinan. Penafsiran-penafsirannya tersebut sangat wajar karena dipengaruhi oleh kondisi sosial, di mana al-Zamakhsyarîy hidup membujang dan jauh dari wanita. Akan tetapi di satu sisi kebahasaan penafsirannya berkesan tidak misoginis dan tidak memandang rendah kemampuan wanita, terutama dalam hal kepemimpinan.
B. Saran-saran
1. Keterlibatan kaum wanita dalam berbagai bidang kehidupan dan dunia publik, belumlah seperti sekarang. Oleh karenanya, sangat wajar apabila al-Zamakhsyarîy berpandangan seperti demikian. Sebab, andaikata ia hidup pada masa sekarang, tentulah corak penafsirannya akan sangat berbeda.
2. Untuk menyikapi permasalahan kepemimpinan wanita dalam perpektif Al-Qur’an masih banyak yang harus digali dan diungkapkan melalui penafsiran-penafsiran para ulama, baik para ulama klasik maupun modern.
3. Pemikiran rasional yang telah ditampilkan oleh al-Zamakhsyarîy melalui tafsir kebahasaannya baik ilmu ma’ani maupun ilmu balaghanya perlu diikuti oleh ummat Islam sekarang. Dan langkah ini tentunya harus dimulai oleh orang-orang yang ahli dalam bidang agama serta ahli dalam bidang ilmu ma’âni maupun ilmu balâghah

KEPEMIMPINAN WANITA MENURUT AL-ZAMAKHSYARÎY


A. Klasifikasi Kepemimpinan Wanita menurut Al-Zamakhsyarîy

1. Wanita sebagai pemimpin rumah tangga di saat suami di luar rumah


“Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. Sebab itu maka wanita yang saleh, ialah yang ta`at kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara (mereka).”

Kaum pria dalam kitab-kitab tafsîr, seringkali digambarkan sebagai seorang yang lebih superior dibanding kaum wanita. Ayat yang sering dijadikan argumen penguatan supremasi tersebut adalah firman Allah dalam sûrah. al-Nisâ/4 : 34.
Secara tekstual, ayat ini mempunyai makna, menempatkan kaum wanita pada posisi sebaliknya, hanya menjadi orang yang dipimpin. Sehingga, mereka cenderung menjadikan ayat ini sebagai dasar ketidakbolehan kaum wanita menjadi pemimpin.
Kata qawwâm muncul dalam tiga ayat dalam Al-Qur’an. Dalam tafsîr Indonesia (Hamka, Mahmud Yunus dan Depag RI.) diterjemahkan dengan Pemimpin. Adapun kata qawwâm di dua ayat yang lain (sûrah. al-Nisâ’/4 : 135 dan al-Mâidah/5 : 8) tidak diterjemahkan dengan pemimpin, tetapi dengan berdiri karena Allah, lurus karena Allah, orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah.
Dalam Lisân al Arab, kalimat qawwâm diartikan “Kaum pria adalah penjamin dan penjaga urusan kaum wanita”.
Dalam menafsirkan sûrah.al-Nisâ/ 4:34, al-Zamakhsyarîy menjelaskan bahwa ;
قـوامـون علي النساء اى يقـومـون عليهـن آَمرين ناهين كـما يقـوم الـولاة علي الرعـايا وسمـوا قـواما لذالـك
“Kaum laki-laki berdiri di atas wanita sebagai yang memerintah dan melarang mereka ( wanita ) sebagaimana pemimpin berfungsi pada rakyatnya. Dengan fungsi itulah laki-laki dinamai qawwâm.

Al-Zamakhsyarîy menafsirkan kata qawwâmun dengan makna pemimpin. Dengan dasar makna qawwâm inilah sehingga al-Zamakhsyarîy berpendapat bahwa dalam rumah tangga suamilah yang menjadi pemimpin bagi isterinya.
Penafsiran al-Zamakhsyarîy, tidak jauh berbeda dengan para mufassir lainnya, dalam memberikan alasan kenapa laki-laki yang memimpin perempuan dalam rumah tangga, yaitu :
Pertama, karena kelebihan laki-laki atas perempuan. Kata ganti hum pada kalimat “بما فضل الله بعضهم علي بعض” berlaku untuk kedua-duanya, laki-laki dan perempuan. Oleh karenanya ayat tersebut berarti : “Oleh karena kelebihan yang diberikan Allah kepada sebahagian mereka, yaitu laki-laki atas sebahagian yang lain, yaitu perempuan”. Menurut beliau kelebihan-kelebihan laki-laki atas perempuan itu karena kelebihan akal (al-‘aql), keteguhan hati (al-hazm), kemauan keras (al-‘azm), kekuatan fisik (al-qudrah), secara umum memiliki kemampuan menulis (al-kitâbah), keberanian naik kuda dan memanah (al-furusiyah wa al-ramyu), sebahagian mereka adalah para nabi dan ulama, kepala negara, imam shalat, kelebihan dalam berjihad, adzan, khutbah, i’tikaf, bertakbir pada hari tasyrik. Menurut Abu Hanifah kesaksian dalam masalah hudud dan qishash, tambahan bagian dan mendapat sisa ( ashabah ) dalam pembagian warisan, pekerjaan kuli angkut (al-hamâlah dan al-qusûmah) menjadi wali dalam pernikahan, menjatuhkan talak, menyatakan rujuk, boleh berpoligami, nama-nama anak dinisbahkan kepada mereka serta punya jenggot dan sorban.
Alasan kedua, adalah karena laki-laki membayar mahar dan bertanggung jawab memberikan nafkah kepada keluarganya.
Dua alasan inilah, menurut al-Zamakhsyarîy, kenapa laki-laki yang memimpin perempuan dalam rumah tangga.
Kemudian dalam sûrah al-Nisâ/4: 34 ini lanjutannya, “ Fash-shâlihât Qanitâtun Hafidzât lil ghaibi bimâ Hafidzallâh ” al-Zamakhsyarîy mengatakan bahwa para istri shalihah itu adalah disamping dia selalu taat kepada suaminya, juga ketika suaminya tidak ada disampingnya, dia selalu menjaga hal-hal yang mana suaminya selalu menjaganya, baik kehormatannya ( Furuj ), rumah dan hartanya. Seperti yang dijelaskan dalam Hadîts Nabi Saw., yang dikutip oleh al-Zamakhsyarîy ;
خير النساء إمرأة إن نـظرت إليها سـرتـك ، وإن أمـرتـها أطـاعتـك وإذا غـبـت عـنـها حفـظتـك فى مـالها ونفـسها
“Sebaik-baiknya wanitai adalah istri yang dimana jika kamu melihatnya, dia menyenangkanmu, jika kamu memerintahnya, dia mentaatimu dan jika kamu tidak ada disampingmu, dia menjaga kehormatan dan hartanya”

Dengan melihat penjelasan al-Zamakhsyarîy di atas dan dikuatkan oleh Hadîts, maka penulis berkesimpulan bahwa istri dalam keluarga adalah mempunyai kewajiban untuk mengatur segala hal yang berkaitan dengan kelangsungan keluarga yang sakinah dan mawaddah terutama ketika sang suami tidak ada disampingnya.
Ayat ini, menurut Zaitunah Subhan, tidak secara langsung memerintahkan sesuatu, dengan mengatakan, “Wahai kaum pria, kalian wajib menjadi pemimpin”, atau sebaliknya “Wahai wanita, kalian mesti menerima pemimpin atau dipimpin”. Tapi hal ini bisa dikorelasikan dengan Hadits Rasulullah Saw., yang menegaskan :
حدثنا أبو اليمان أخبرنا شعيب عن الزهرى قال أخبرني سالم بن عبد الله عن عبد الله بن عمر رضي الله عنهما أنه سمع رسول الله صلهم يقول كلكم راع و مسئول عن رعيته, فالأمام راع و مسئول عن رعيته, والرجل في اهله راع وهو مسئول عن رعيته, والمرأة في بيت زوجها راعية وهي مسئولة عن راعيتها,والخادم في مال سيده راع وهو مسئول عن رعيته, قال : فسمعت هؤلاء من النبي صلهم قال : والرجل في مال ابيه راع ومسئول عن رعيته فكلكم راع وكلكم مسئول عن رعيته
“Diceritakan kepada kami dari Abu al-Yaman dari Syu’aib dari az-Zuhriy berkata : Aku mendengar berita dari Salim bin Abdullah dari Abdullah bin Umar ra. sesungguhnya Rasulullah Saw. bersabda : “Setiap kamu adalah pemimpin dan kamu akan dimintai pertanggungjawaban mengenai kepemimpinanmu. Seorang imam adalah pemimpin umat dan dia akan dimintai pertanggungjawaban mengenai kepemimpinannya, seorang suami adalah pemimpin terhadap keluarganya dan dia akan dimitai pertanggungjawaban tentang kepemimpinannya, seorang isteri adalah pemimpin dalam rumah suaminya dan anaknya, dan akan dimintai pertanggungjawaban tentang mereka, dan seorang hamba sahaya adalah bertanggung jawab atas harta tuan (majikan)nya dan dia pun akan dimintai pertanggungjawaban atasnya. Berkata bahwa aku mendengar semua itu dari Nabi Saw. bersabda : “Seorang laki-laki adalah pemimpin (penanggungjawab) atas harta ayahnya dan dia akan ditanyai mengenai kepemimpinannya, maka setiap kamu adalah pemimpin dan akan dimintai pertanggungjawaban mengenai kepemimpinannya.”

Hadits di atas ini, jelas bahwa suami adalah kepala keluarga (râ’in fi ahlih), sedangkan isteri juga disebut pemimpin di rumah suaminya (râ’iyah fi bait zaujihâ). Keduanya bertanggungjawab atas pelaksanaan kepemimpinannya. Ini adalah pembagian tugas suami dengan isteri walau tidak dibatasi secara ketat, dengan pengertian bahwa yang lain tidak mau tahu dengan tugas-tugas selain tugasnya sendiri. Pengertian hadits Rasul tersebut menegaskan adanya kerjasama dalam peran dan tugas masing-masing di dalam pertanggungjawaban keluarga.
Islam telah menetapkan batasan kekuasaan pria dalam institusi keluarga dengan kata qawwâmun, pemimpin yang melaksanakan urusan rumah tangga sebagai kata kunci dalam ayat tersebut. Pemimpin yang baik adalah yang mengerti dan memahami serta adil terhadap yang dipimpinnya, tidak berbuat sewenang-wenang atau bertindak yang bertentangan dengan Al-Qur’an.
Dalam sûrah al-Rûm/ 30: 21, secara gamblang mensinyalir bahwa posisi wanita dalam rumah tangga sangat mulia dengan dijadikannya ia sebagai tumpuan kasih sayang, yang kelak melahirkan keluarga yang sakinah mawaddah wa rahmah, yaitu :
.
“Dan di antara tanda-tanda kekuasaanNya ialah ia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikanNya dia antara kamu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir”.

Dalam menafsirkan ayat tersebut, al-Zamakhsyarîy mengatakan bahwa yang dikatakan من انفسكم ازواجا (isteri-isteri dari jenismu sendiri) adalah karena Hawa diciptakan dari tulang rusuk Adam As., dan wanita-wanita yang diciptakan sesudahnya berasal dari tulang sulbi laki-laki, atau dari bentuk dan jenismu sendiri, bukan dari jenis yang lain.
وجعل بينكم berarti kasih dan sayang itu ada, karena adanya perkawinan yang sebelumnya tidak diketahui atau dikenal, tidak ditemukan dan tidak ada sebab yang mengharuskan untuk itu, baik dari segi kekerabatan maupun dengan hubungan darah. Disini Al-Zamakhsyarîy mengutip pendapat Hasan ra. bahwa yang dimaksud dengan mawaddah adalah bentuk kinâyah (kiasan) dari jima’ (hubungan suami isteri) sedang ar-rahmah adalah bentuk kasih sayang yang datang dari anak-anak. Dalam arti bahwa mawaddah adalah bentuk hubungan kasih sayang antara suami dengan isteri, sedang rahmah adalah bentuk kasih sayang antara anak dengan orangtuanya.
Islam telah mengangkat kedudukan seorang wanita sebagai isteri dan menjadikan pelaksanaan hak-hak berkeluarga sebagai jihad di jalan Allah. Oleh karena itu, Islam memberikan hak-hak isteri yang harus dilaksanakan dan dijaga dengan sebaik-baiknya. Kalau dalam dunia Islam timbul gerakan yang menuntut hak, bukan karena hak tidak diberikan oleh Islam, melainkan hak itu ditahan oleh pria yang selalu ingin berkuasa. Islam tidak menyuruh isteri secara mutlak untuk tunduk kepada suami sebagaimana wajibnya ia tunduk kepada Tuhan.
Rasulullah Saw. bersabda :
حدثنا أبو بكر بن خلف ومحمد بن يحى قالا : حدثنا أبو عاصم عن جعفر ابن يحى بن ثوبان عن عمه عمارة بن ثوبان عن عطاء عن ابن عباس عن النبي صلهم قال : خيركم خيركم لأهله وانا خيركم لأهلى.(رواه ابن ماجه)
“Diceritakan kepada kami dari Abu Bakar bin Khalaf dan Muhammad bin Yahya berkata : “Kami diberi khabar oleh Abu Ashim dari Ja’far bin Yahya bin Tsauban dari pamannya ‘Ammarah bin Tsuaban dari Atha’ dari Ibnu Abbas ra. dari Nabi Saw. bersabda :”Yang paling baik di antara kalian adalah orang yang paling baik terhadap keluarganya. Dan aku adalah orang yang paling baik terhadap keluargaku.”


Sebaliknya, dengan adanya hak-hak yang harus dipenuhi oleh suami terhadap isteri, maka sebagai timbal balik, Islam memberikan hak bagi suami untuk ditaati selama tidak bertentangan dengan ajaran agama. Hal ini berarti bahwa dalam penyelesaian urusan rumah tangga diperlukan adanya kerjasama antara suami dengan isteri .
Islam datang dengan membawa pesan moral kemanusiaan yang tidak ada bandingannya dengan agama manapun. Islam mengajarkan bahwa pria dan wanita mempunyai kedudukan yang sama di hadapan Allah. Yang membedakan keduanya hanyalah kadar ketakwaannya. Sebagaimana Allah berfirman dalam sûrah. al-Hujurât/ 49 : 13 ;

“Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku, supaya kamu saling kenal mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah adalah orang yang paling bertaqwa…”.


2. Wanita sebagai Pemimpin Perusahaan


“Dan janganlah kamu iri hati terhadap apa yang dikaruniakan Allah kepada sebahagian kamu lebih banyak dari sebahagian yang lain. (Karena) bagi orang laki-laki ada bahagian dari apa yang mereka usahakan dan bagi para wanita (pun) ada bahagian dari apa yang mereka usahakan ”.

Al-Zamakhsyarîy menafsirkan sûrah al-Nisâ’/ 4 : 32 tersebut sebagai larangan Tuhan atas rasa dengki dan iri hati dengan pangkat dan materi (harta benda) yang Tuhan lebihkan antara sebahagian manusia dengan sebahagian yang lain. Menurutnya kelebihan itu diberikan didasari oleh kebijaksanaan (al-hikmah), pengaturan (tadbir) dan pengetahuan (‘ilm) Tuhan tentang kondisi hambaNya dan hal tersebut terkait dengan kemaslahatan manusia, baik berupa dilapangkan atau disempitkan rezkinya.
Maka dengan demikian, seperti halnya wanita sebagai pemimpin perusahaan, merupakan sebuah anugrah yang diberikan Allah kepada hambanya berupa ilmu untuk memimpin, mengelola dan mengatur perusahaannya.
Ayat للرجال نصيب مما اكتسبوا وللنساء نصيب مما اكتسبن ditafsîrknnya, bahwa Tuhan menjadikan pembagian tersebut sebagai perolehan (kasb) setiap individu, baik laki-laki maupun perempuan, berdasarkan pengetahuan Tuhan mengenai kondisi yang menjadi faktor dilapangkan dan disempitkannya rezki seseorang. Maka hal ini sangat relevan dengan pernyataan al-Zamakhsyarîy ketika menafsirkan sûrah. al-Nahl/ 16 : 97.
Ditegaskan dalam sûrah. al-Nahl/ 16 : 97 :

“Barang siapa yang mengerjakan amal shaleh, baik laki-laki atau perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan akan Kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.”

Kata من dalam ayat tersebut menunjuk kepada makna umum. Maka lanjutan ayat yakni ذكر أوانثي menjelaskan apa yang dimaksudkan oleh kata من, yaitu laki-laki dan perempuan. Tampaknya al-Zamakhsyarîy dalam hal ganjaran terhadap perbuatan baik tidak membedakan antara laki-laki dan perempuan. Semuanya berhak mendapatkan janji Allah tanpa melihat adanya perbedaan jenis kelamin, yaitu mendapatkan kehidupan yang baik di dunia dan dijanjikan kebahagiaan di akhirat. Dengan demikian tersûrah makna, bahwa al-Zamakhsyarîy tetap mengakui kesamaan tersebut.
Penafsiran al-Zamakhsyarîy mengenai ayat tersebut tampaknya tidak jauh berbeda dengan penafsiran ulama lainnya, yang menganggap bahwa antara laki-laki dan perempuan mempunyai kedudukan dan hak yang sama dalam menerima hasil dari apa yang telah diusahakannya.
Ummul Mukminin Siti Khadijah, merupakan contoh ideal. Dalam satu sisi adalah sebagai istri Nabi di dalam keluarga. Di sisi lain, di luar lingkup keluarga beliau juga sekaligus sebagai pemimpin dalam usaha dagangnya yang sangat luas.
Secara realitas, zaman sekarang banyak peluang kerja bagi wanita, Sekarang banyak didirikan sekolah-sekolah dan lembaga-lembaga penddikan yang menampung pelajar putri yang kemudian bisa menghasilkan para guru, dokter, pengawas dan akuntan wanita. Bahkan sebagian mereka ada yang menjadi direktur berbagai perusahaan. Berapa banyak pegawai laki-laki yang dikoordinir para wanita atau organisai yang ketuanya wanita atau beranggotakan wanita. Bahkan terkadang sang suami menjadi anak buah istrinya di suatu sekolahan atau rumah sakit atau organisasi. Tapi sekembali ke rumah, sang istri kembali ke posisi semula menjadi orang yang dipimpin oleh sang suami.
Jadi ayat-ayat diatas, seperti dikatakan oleh Nasarudin Umar, mengisyaratkan konsep kesetaraan jender yang ideal dan memberikan ketegasan bahwa prestasi individual, baik dalam bidang spritual maupun dalam urusan karir profesional, tidak mesti dimonopoli oleh salah satu jenis kelamin saja. Baik laki-laki maupun perempuan memperoleh hak yang sama meraih prestasi yang optimal.
3. Wanita sebagai hakim ( qadi )



“ Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat.”

Dalam sûrah al-Nisâ/ 4 : 58 ini, al-Zamakhsyarîy mengatakan bahwa khithab dari pada ayat ini adalah umum, ditunjukan kepada setiap individu, dalam setiap amanat dan di dalam setiap menegakkan keadilan.
Disini jelas sekali apa yang dimaksud oleh al-Zamakhsyarîy, bahwa setiap orang, baik laki-laki maupun wanita, baik orang merdeka maupun hamba sahaya, mereka berhak dan memungkinkan untuk menjadi hakim ( Qhadli ) dalam setiap menegakkan keadilan dan menjalankan amanat.
Hal ini sangat sejalan dengan madzhab yang dianut oleh al-Zamakhsyarîy, yaitu madzhab Abu Hanifah. Karena Abu Hanifah tidak melarang wanita untuk menjadi Qhadli, kecuali dalam masalah Hudud dan Qishash ( Jinayat ). Pendapat Abu Hanifah ini diperkuat oleh Ibnu Hazm al-Dzahirîy yang dikutip oleh Abdul Halim al-Jundîy, bahwa boleh saja wanita diangkat menjadi seorang Qadli ( hakim ). Hal ini, karena berdasarkan pada keumuman khithab yang ada dalam sûrah al-Nisâ/ 4 : 58. yaitu baik laki-laki maupun perempuan dan orang merdeka maupun hamba sahaya. Bahkan Ibnu Hazm bersama dengan Imam al-Thabariy, memperbolehkan kaum wanita untuk berkecimpung dalam masalah-masalah Jinayat dan masalah lainnya.
Ibnu Hazm, yang dikutip ‘Abd al-Halîm al-Jundîy, memperkuat pendapatnya dengan riwayat Umar bin Khattâb yang telah mengangkat al-Syifa, seorang wanita dari kaumnya, untuk memimpin pasar umum pada waktu itu. Kalau pun ada Hadîts yang mengatakan bahwa “ tidak akan beruntung suatu kaum yang menyerahkan urusannya kepada wanita. ”, itu dimaksudkan pada perwalian atau kepemimpinan secara umum terhadap umat atau kedudukannya sebagai pemimpin daulah. Tapi pada urusan-urusan tertentu tidak ada salahnya jika wanita tampil sebagai pemimpin. Seperti dalam Hadîts dijelaskan bahwa seorang istri adalah penjaga harta suaminya, dan dia bertanggung jawab atas penjagaannya.
4. Wanita sebagai Dewan Perwakilan Rakyat


“Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma`ruf dan mencegah dari yang munkar; merekalah orang-orang yang beruntung.”

Al-Zamakhsyarîy menafsirkan sûrah Ali Imran/ 3 : 104 ini, bahwa من dalam منكم bisa dua kemungkinan, yaitu ;
1. . للـتـبعـيض , yaitu untuk menunjukan kepada sebagian orang. Artinya amar ma’ruf nahi mungkar itu merupakan fardlu kifayah. Maksudnya amar ma’ruf nahi mungkar tidak akan bejalan kecuali oleh orang yang tahu tentang yang ma’ruf dan yang mungkar, tahu bagaimana tata cara melakukan amar ma’ruf nahi mungkar. Mungkin saja orang yang bodoh, karena ketidaktahuannya, dia melarang hal yang ma’ruf dan bahkan menyuruh kepada hal yang mungkar. Atau mungkin saja orang itu melarang hal yang dianggap bukan yang mungkar oleh madzhab lain. Atau terkadang menempatkan cara yang lembut pada hal yang seharus dengan cara yang tegas atau sebaliknya sehingga orang yang melakukan ke-mungkar-an itu malah bertambah membangkang. Atau usahanya atas amar ma’ruf nahi mungkar iu hanya sia-sia saja, seperti kepada para perampok, para durjana dan sebagainya.
2. للتـبيـين , yaitu untuk memperjelas. Artinya, jadilah kalian semua menjadi ummat yang melakukan amar ma’ruf dan nahi mungkar, seperti yang dijelaskan dalam sûrah Ali Imran/3 : 109, sebagai berikut :

“Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma`ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah. Sekiranya Ahli Kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka; di antara mereka ada yang beriman, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik ”.

Selanjutnya Al-Zamakhsyarîy menjelaskan bahwa sesungguhnya yang harus melaksanakan amar ma’ruf nahi mungkar ini adalah semua muslim yang komitmen dan memenuhi syarat.
Dari tafsîran Al-Zamakhsyarîy di atas, jelas bahwa yang menjadi khithab untuk melaksanakan amar ma’ruf nahi mungkar ini semua muslim, baik laki-laki maupun wanita.
Al-Zamakhsyarîy mempertegas uraiannya tersebut dengan mengutip Hadîts yang menceritakan bahwa suatu ketika Rasulullah ditanya ( sedangkan dia sedang di atas mimbar ) ;
“siapa manusia yang paling baik itu ? Rasulullah menjawab; mereka lah orang-orang yang selalu mengajak kepada kebaikan dan melarang pada kemungkaran, dan merekalah orang-orang bertakwa kepada Allah Swt.”

Seperti yang dikutip oleh Yûsuf al-Qardâwî, bahwa Setiap seruan Allah yang berbunyi.; “ wahai manusia” atau “ Wahai orang-orang mukmin” , menunjukan suatu keyakinan bahwa disana juga wanita termasuk dalam seruan tersebut, dan tidak ada perbedaan pendapat mengenai ini. Seperti halnya Al-Qur’an membebankan kepada dua jenis, laki-laki dan wanita, untuk bertanggung jawab dalam menegakkan masyarakat yang dalam Islam lazim disebut Amar ma’ruf nahi mungkar.
Kemudian dikuatkan dalam sûrah al-Taubah/ 9 : 71, sebagai berikut ;

“Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebahagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebahagian yang lain. Mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma`ruf, mencegah dari yang mungkar, mendirikan sembahyang, menunaikan zakat, dan mereka ta`at kepada Allah dan Rasul-Nya. Mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah; sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.”

Dalam kesempatan ini Al-Qur’an juga menyebutkan beberapa ciri orang-orang beriman setelah menyebutkan ciri-ciri orang munafik.dalam sûrah al-Taubah/ 9 : 67, sebagai berikut ;

“Orang-orang munafik laki-laki dan perempuan, sebagian dengan sebagian yang lain adalah sama, mereka menyuruh membuat yang munkar dan melarang berbuat yang ma`ruf dan mereka menggenggamkan tangannya. Mereka telah lupa kepada Allah, maka Allah melupakan mereka. Sesungguhnya orang-orang munafik itulah orang-orang yang fasik.”

Jika wanita-wanita munafik berdiri di samping kaum laki-laki munafik memainkan peranan untuk merusak masyarakat, maka wanita-wanita mukminah harus memainkan peranan untuk membenahi masyarakat di samping kaum laki-laki mukmin.
Yusuf al-Qardhawi menjelaskan bahwa,. pengharaman masuknya para wanita di parlemen oleh sekelompok ulama, tidak dikuatkan oleh satu dalil pun. Sementara telah diketahui bahwa hukum dasar dalam segala sesuatu dalam urusan keduniaan adalah mubah, kecuali jika ada dalil yang menunjukan keharamannya. Adapun sûrah al-Ahzâb/ 33 : 33, sebagai dalil yang mereka pegang untuk mengharamkan para wanita masuk di parlemen, Dalil ini menurut al-Qardlawi, tidak bisa dijadikan dasar untuk pengharaman, karena beberapa pertimbangan ;
1. Ayat ini secara khusus tertuju kepada istri-istri Nabi Saw., seperti yang difahami dari susunan bahasanya. Sebagaimana yang diketahui, mereka mempunyai kehormatan dan ada penekanan tersendiri daripada wanita-wanita lain. Oleh karena itu pahala mereka menjadi berlipat jika mereka mengerjakan amal shaleh itu, sebaliknya adzab mereka juga berlipat jika mereka berbuat kejelakan.
2. Sekalipun sudah ada ayat ini, Aisyah Ra., tetap keluar rumah dan ikut bergabung dalam perang Jamal, sebagai reaksinya untuk memenuhi kewajiban agama, yaitu menuntut balas atas terbunuhnya Utsman bin Affan.
3. Bagaimana pun juga, wanita harus keluar dari rumahnya, pergi ke sekolah, perguruan tinggi, andil dalam berbagai medan kehidupan sebagai dokter, guru, pengawas dan lain-lain. Sebagai tuntutan kerja di luar rumah, yang tentu saja dengan beberapa syarat yang telah ditentukan.
4. Para wanita muslimat yang berkomitmen, dituntut untuk terjun dalam kancah pemilihan umum, dalam rangka menghadapi wanita-wanita sekuler yang berambisi memegang kendali peranan wanita secara umum. Terkadang kebutuhan sosial dan politik akan lebih besar dari pada kebutuhan individu, yang kemudian memperbolehkan wanita untuk ambil bagian dalam kehidupan secara umum.
5. Menahan wanita dalam rumah, tidak dikenal kecuali hanya dalam jangka waktu tertentu, sebagai hukuman atas kekejian yang dilakukannya dan sebelum ada ketetapan hukum tentang dirinya, sebagaimana dalam sûrah al-Nisa/ 4 : 15;

”Dan (terhadap) para wanita yang mengerjakan perbuatan keji, hendaklah ada empat orang saksi diantara kamu (yang menyaksikannya). Kemudian apabila mereka telah memberi persaksian, maka kurunglah mereka (wanita-wanita itu) dalam rumah sampai mereka menemui ajalnya, atau sampai Allah memberi jalan yang lain kepadanya.”

Adapun yang memandang pengharaman masalah ini dari sudut lain, yaitu sudut preventif. Karena selama wanita duduk di parlemen atau Dewan Perwakilan, maka dituntut untuk bercampur dengan laki-laki dan bahkan kadang-kadang berkhalwat dengan seorang laki-laki. Yusuf al-Qardlawi mengatakan, Tidak dapat diragukan, tindakan preventif memang sangat diperlukan, tetapi para ulama menetapkan bahwa preventifitas yang berlebih - lebihan atau terlalu longgar, bisa menghilangkan sekian banyak kemaslahatan yang kemudian membuka kerusakan yang justru lebih besar. Alasan ini bisa dijadikan pegangan oleh orang-orang yang melarang wanita untuk memberikan suara dalam pemilihan umum, karena dikhawatirkan akan menimbulkan fitnah dan kerusakan. Tetapi kalau demikian adanya, maka berapa banyak suara yang seharusnya dimiliki kalangan muslim yang hilang karenanya? padahal pengumpulan suara ini sangat penting untuk mengahadapi kalangan sekuler. Terlebih lagi mereka lebih banyak memanfaatkan suara para wanita yang tidak komitmen terhadap agama. Di sini Yussuf al-Qardlawi menegaskan bahwa wanita muslimah yang komitmen, harus pandai-pandai menjaga diri saat berhadapan dengan kaum laki-laki, jika dicalonkan atau dipilih dalam Dewan Perwakilan, harus menghindari hal-hal yang bertentangan dengan norma-norma Islam, seperti berkata genit, berpakaian mencolok, bersolek, berkhalwat dengan seorang laki-laki.
Adapun sekelompok ulama yang melarangnya karena kedudukan ini merupakan kepemimpinan terhadap kaum laki-laki. Sesuai yang ditetapkan di dalam Al-Qur'an, bahwa kaum laki-laki harus menjadi pemimpin bagi wanita, lantas bagaimana mungkin kita membalikan ketatapan ini, dengan mengangkat wanita menjadi pemimpin bagi kaum laki-laki ? Di sini Yusuf Al-Qardhawi menjelaskan dua hal ;
1. Para wanita yang dipilih di Dewan Perwakilan sangat terbatas, sehingga mayoritas Anggota Dewan Tetap di tangan kaum laki-laki. Jumlah mayoritas inilah yang membuat hak ketetapan, membuat ikatan dan memecahkan masalah. Sehingga tidak bisa dikatakan bahwa keberadaan wanita di Dewan Perwakilan akan mengangkat wanita sebagai pemimpin atas kaum laki-laki.
2. Ayat yang menyebutkan kepemimpinan laki-laki atas wanita , itu dalam kaitannya dengan kehidupan rumah tangga. Seorang laki-laki merupakan pemimpin rumah tangga dan bertanggung jawab atas kelangsungannya. Firman Allah ; " karena telah menafkahkan sebagian dari harta mereka” menunjukan bahwa maksud kepemimpinan di sini adalah kepemimpinan dalam rumah tangga. Derjat inilah yang diberikan kepada kaum laki-laki seperti yang dijelaskan dalam sûrah al-Baqarah/ 2 : 228, sebagai berikut ;
وَلـهَـُن ِمـثــلُ الـذِى عَـلـَيـهـِنَ ِبـالـمَعـرُوف وَلـِلـرِجـَال عَـلـيهـنَ درجـة والله عـزيـز حـكـيـم
"dan, para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang me'ruf. Tetapi para suami mempunyai satu tingkatan kelebihan daripada istrinya. "

Sekalipun seorang laki-laki mempunyai hak sebagai pemimpin atas rumah tangga, tetapi istri juga mempunyai peran, dia bisa dimintai pendapat yang memang dibutuhkan untuk kepentingan rumah tangga, yaitu seperti tentang menyapih anak yang disusui, suami istri harus melakukan musyawarah terlebih dahulu sehingga ada kesepakatan yang suka rela, seperti yang diisyaratkan dalam sûrah al-Baqarah/ 2 : 233,

“ Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh, yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan. Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara yang ma`ruf. Seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya. Janganlah seorang ibu menderita kesengsaraan karena anaknya dan juga seorang ayah karena anaknya, dan warispun berkewajiban demikian. Apabila keduanya ingin menyapih (sebelum dua tahun) dengan kerelaan keduanya dan permusyawaratan, .. ”

Kepemimpinan sebagian wanita atas sebagian laki-laki di luar lingkup rumah tangga, tidak ada satu dalil pun yang melarangnya. Yang dilarang adalah kepemimpinan wanita atas kaum laki-laki dalam perwalian secara umum. Tentang Hadîts riwayat al-Bukhari dari Abu Bakrah Ra,.secara marfu' ; " tidak beruntung suatu kaum jika mereka mengangkat wanita sebagai pemimpin." Maksudnya adalah perwalian atau kepemimpinan secara umum terhadap umat atau kedudukannya sebagai pemimpin daulah. Tapi urusan-urusan tertentu tidak ada salahnya jika wanita tampil sebagai pemimpin. Oleh karenanya, tidak ada larangan boleh tidaknya wanita menjadi seorang pemimpin dalam masyarakat atau terjun dalam dunia politik, karena tidak ditemukan satu ketentuan agama pun yang dapat dipahami sebagai larangan keterlibatan wanita dalam dunia publik dan politik.
Diantara kontraversi yang diangkat sebagaian orang yang menentang keberadaan wanita di Dewan Perwakilan, karena kedudukan Dewan Perwakilan atau parlemen lebih tinggi daripada kedudukan pemerintah atau bahkan lebih tinggi dari pemimpin daulah sendiri. Dengan keberadaanya di Dewan Perwakilan memungkinkan baginya untuk mengawasi daulah dan pemimpin daulah.
Dalam hal ini al-Qardlawi menjelaskan bahwa peranan Dewan Perwakilan dalam sistem demokrasi terpusat pada dua macam; Pengawasan dan Penetapan undang-undang. Makna pengawasan kembali kepada apa yang diistilahkan dalam Islam dengan sebutan amar m'ruf nahi mungkar dan memberi nasihat dalam agama. Ini merupakan kewajiban baik di tangan para pemimpin Islam maupun dari orang awam di antara mereka untuk memerintah, melarang dan menasihati dari semua kaum laki-laki dan wanita, seperti yang dijelaskan dalam sûrah al-Taubah/ 9 : 71 dan dikuatkan oleh Hadîts Rasulullah Saw ;
الدين النصيحة لله ولـرسوله ولكتابه ولأئمـة المسلميـن وعامتهم
( رواه مسلم )
"Agama itu adalah Nasihat bagi Allah, bagi Rasul-Nya, bagi Kitab-Nya, bagi para pemimpin orang-orang Muslim dan orang-orang awam di antara mereka.”

Rasulullah Saw tidak membatasi pemberian nasihat hanya pada kaum laki-laki. Seperti yang dilakukan seorang wanita yang menyanggah perkataan Umar bin Khaththab tatkala berada di Mesjid, hingga Umar tunduk kepada pendapat wanita itu, Akhirnya Rasuluulah berkata; " Dia benar dan Umar yang salah." Begitulah yang diriwayatkan Ibnu Katsir dan dia membaguskan isnadnya.
Nabi Saw.,juga pernah meminta pendapat Ummu Salamah dalam peristiwa al-Hudaibiyyah. Maka Ummu Salamah megusulkan satu pendapat yang sangat jitu, hingga beliau langsung menerapkannya dan karirnya membawa kebaikan yang banyak setelah itu.
Karena wanita mempunyai hak unuk memberi nasihat, menunjukan pendapat yang dilihatnya benar, menyuruh kepada yang ma'ruf mencegah dari yang mungkar, mengatakan ini benar dan itu salah, dalam kapasitasnya sebagai individu, berarti tidak ada satu dalil syariat pun yang menghalangi wanita untuk duduk di Majlis Permusyawaratan atau Dewan Perwakilan. Hukum dasar dalam segala urusan dan muamalah adalah mubah, kecuali jika ada nash yang shahih dan jelas maknanya yang melarangnya. Tentang pengalaman umat Islam pada masa-masa lampau yang tidak pernah mengenal keberadaan wanita di Majelis Syura, hal itu tidak bisa dijadikan sebagai dalil untuk melarang. Ini termasuk perubahan fatwa berdasarkan perubahan waktu, tempat dan kondisi. Pada masa-masa itu memang Syura belum diatur secara mendetail untuk laki-laki dan wanita. Ini termasuk masalah yang disinggung Nash secara global dan tak terbatas. Rincian dan batasan-batasannya diserahkan kepada ijtihad orang-orang Muslim, sesuai dengan tuntutan zaman, tempat dan kondisi sosial. Jika tindakan Rasulullah saja tidak menunjukan kepada hal yang mubah, lalu bagaimana dengan tindakan orang lain yang tidak ma'sum seperti beliau ?
Tentang pendapat yang mengatakan bahwa majlis syura atau apapun istilahnya yang kedudukannya lebih tinggi dari daulah dan bahkan pemimpin daulah, karena Dewan Syura itu mempunyai kewenangan untuk mengawasi, merupakan pendapat yang tidak bisa diterima begitu saja. Sebab tidak setiap pengawas lebih tinggi kedudukannya daripada orang yang diawasi. Yang lebih penting adalah hak untuk mengadakan pengawasan, sekalipun mungkin kedudukannya lebih rendah. Yang tidak dapat diragukan, bahwa Amirul Mukminin atau pemimpin daulah merupakan kedudukan dan kekuasaan yang paling tinggi dalam daulah. Sekalipun begitu siapa pun mempunyai hak untuk memberinya nasihat, mengawasi, memerintah dan melarangnya, sekalippun dia berasal dari kalangan rakyat yang paling bawah, sebagaimana yang dikatakan Abu Bakar dan Umar bin Khaththab dalam pidato pertamanya setelah diangkat sebagai khalifah. Kalaupun Majlis Syura mempunyai kedudukan yang lebih tinggi daripada daulah, mengingat Dewan Syuralah yang berhak menetapkan hukum dan mengawasi, hali itu lebih baik disebabkan karena bentuk kumpulannya dan bukan karena pertimbangan individu-individu. Sementara kelompok mayoritas dalam Dewan Syura adalah kaum laki-laki.
Berangkat dari dasar inilah kita perlu mencermati tentang masuknya kaum wanita ke dalam Dewan Perwakilan Rakyat atau Dewan Syura dan penetapan pencalonannya serta kelayakannya untuk berperan dalam masyarakat berdasarkan dalil-dalil syari’at.
5. Wanita sebagai Pemimpin Pemerintahan
Seperti yang disinggung di atas, Al-Zamakhsyarîy menafsirkan dalam sûrah al-Nisâ/ 4 : 58, bahwa ;
" الخطاب عام لكـل أحد فى كـل أمـانة ... "
Khithab dari pada ayat ini adalah bersifat umum, untuk setiap individu ( baik laki-laki maupun perempuan, baik yang merdeka maupun ’abid ( hamb sahaya ) , dan semua hal yang bersifat amanah. Artinya menyampaikan amanat kepada ahlinya dan menetapkan hukum dengan adil adalah perintah Allah untuk semua laki-laki mapun perempuan.
Begitu juga dalam masalah wanita sebagi Pemimpin Pemerintahan, kalau melihat penafsiran Al-Zamakhsyarîy dalam sûrah al-Nisâ/ 4 : 58, beliau tidak secara jelas menegaskan kebolehan wanita sebagai pemimpin pemerintahan, tetapi secara eksplisit penafsirannya, hal ini masih termasuk tatanan dalam penyampaian amanat dan tatanan dalam keadilan pemerintah. Artinya baik laki-laki maupun wanita yang menjadi pemimpin pemerintahan, sudah tidak menjadi permasalahan lagi. Akan tetapi yang menjadi permasalahan adalah bagiamana dia cara memimpin pemerintahan tersebut, adilkah, atau tanggungjawabkah ?
Kepemimpinan sebagian wanita atas sebagian laki-laki di luar lingkup rumah tangga, tidak ada satu dalil pun yang melarangnya. Yang dilarang menurut sebagian ulama, adalah kepemimpinan wanita atas kaum laki-laki dalam perwalian secara umum. Tentang Hadîts riwayat al-Bukhari dari Abu Bakrah Ra,.secara marfu' ; " tidak beruntung suatu kaum jika mereka mengangkat wanita sebagai pemimpin." Maksudnya adalah perwalian atau kepemimpinan secara umum terhadap umat atau kedudukannya sebagai pemimpin daulah. Tapi urusan-urusan tertentu tidak ada salahnya jika wanita tampil sebagai pemimpin.
Wacana pemimpin perempuan telah memancing polemik dan debat antara pro dan kontra. Hal ini dikarenakan satu sisi ditemukan penafsiran ayat dan hadits yang secara tekstual. Mengutamakan laki –laki untuk menjadi pemimpin, meskipun ada sebagian ulama yang membolehkannya. Di sisi lain kenyataan obyektif dengan adanya sejumlah perempuan yang memiliki pengaruh kuat di masyarakat dan mempunyai kemampuan untuk menjadi pemimpin.
Memangku jabatan penguasa atau kepala pemerintahan dalam Islam berarti memikul tanggung jawab.
Imam al-Sya’rawi yang dikutip oleh Istibsyarah, menafsirkan sûrah al-Taubah/ 9 : 71 bahwa dalam masyarakat orang mukmin harus saling menolong dan saling memberi nasihat agar sempurna imannya. Jadi hal ini mencakup kerja sama, bantuan dan penguasaan.
Ketika seorang mukmin mengerjakan perkara mungkar, maka mukmin lainnya mencegahnya, dan ketika sorang mukmin mengerjakan perkara ma’ruf, maka mukmin lainnya mengingatkannya. Akhirnya setiap mukmin memerintah dan diperintah untuk mengerjakan kebaikan dan melarang mengerjakan kemungkaran.
Dengan demikian, dengan sûrah al-Taubah/ 9 : 71 menunjukan bahwa laki-laki dan peempuan mempunyai hak kepemimpinan publik, karena terbukti keduanya, baik laki-laki maupun perempuan berhak untuk mengerjakan yang ma’ruf dan mencegah yang mungkar mencakup segala kebaikan termasuk memberi masukan dan kritik terhadap penguasa.
Menurut Istibsyarah, hak perempuan kaitannya dengan relasi jender di bidang politik merupakan hak syar’i. Jika dalam beberapa masa lalu, perempuan tidak menggunakan hak ini, bukan berarti perempuan tidak boleh dan tidak mampu, tetapi karena tidak ada kebutuhan yang mendesak untuk memprakikannya, atau laki-laki dalam hal ini mengunggulinya. Ini bukan berarti hak politik peempuan tidak diakui, justru menjadi suatu hak yang dituntut dan dianggap sangat urgen, terutama di saat sekarang ini. Apalagi dalam kontek pemberdayaan peran politik perempuan di Indonesia, hak itu terlihat jelas misalnya, pada pasal 65 ayat 1, UU No. 12 tahun 2003 tentang pemilu yang menyatakan bahwa :

”Setiap partai politik peserta pemilu dapat mengajukan calon anggota DPRRI, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten ? Kota untuk setiap daerah pemilihan dengan memperhatikan keterwakilan perempuan sekurangkurangnya 30%”

Fatimah Mernisi menilai Hadîts riwayat al-Bukhari dari Abu Bakrah Ra ini, mempunyai kronologsi yang berbeda, yaitu Hadîts ini diucapkannya, ketika beliau mengetahui bahwa orang Persia telah mengangkat seorang anak perempuan bernama Buron binti Syiwaraih untuk memerintah mereka, Nabi bertanya; ketika kisra Persia meninggal, siapakah yang menggantikannya ? Dijawab ; mereka mempercayakannya kepada putrinya” disaat itulah, menurut Abu Bakar, diduga bahwa Nabi kemudian memberikan penilaian terhadap wanita.
Hal yang sama yang dilakukan oleh Istibsyaroh, bahwa hadits tersebut dalam tingkatan Ahad, tidak mutawatir. Seandainya dianggap mutawatir tetapi kronologisnya berkenaan dengan kasus tertentu yaitu merespon kejadian yang bersifat terbatas, bukan termasuk perundang-undangan yang bersifat umum, sebab hadits tersebut berasal dari Rasulullah dalam kafasitasnnya sebagai kepala pemerintahan dan pemimpin negara tidak sebagai Rasul. Kalaupun hadits itu termasuk perundang-undangan yang bersifat umum, maka maknanya scara bahasa yang tepat adalah dikuasainya seluruh urusan negara serta pemerintahan secara menyeluruh oleh perempuan. Ini suatu hal yang tidak mungkin, baik bagi laki-laki mapun perempuan.
Dilihat dari perawinya, Abu Bakrah, Ia meriwayatkan hadits tersebut setelah kalahnya ’Aisyah di perang Jamal yang telah terpendam 25 tahun dari ingatannya dalam situasi dan kontek yang bebeda. Hadits tersebut tidak ada sebelum perang Jamal, dimana ’Aisyah istri Nabi menjadi pimpinan pasukan yang di dalamnya banyak sahabat mengikutinya, tidak seorangpun sahabat keberatan atas kepemimpinannya. Bahkan Abu Bakrah pun ada dan tidak membelot darinya. Seandainya dia yakin bahwa Nabi melarang perempuan menjadi pemimpin, tentulah dia segera keluar dari barisan ’Aisyah setelah teringat hadits tersebut. Hal ini menunjukan bahwa kepemimpinan perempuan dalam hal ini adalah ’Aisyah adalah diterima oleh para sahabat terkemuka.

B. Analisis Terhadap Pemikiran al-Zamakhsyarîy Tentang Kepemimpinan Wanita.

Dalam memahami isu kodrat wanita sering terjadi kerancuan, bahkan seakan merupakan polemik berkepanjangan, baik dari kalangan kaum pria maupun wanita sendiri, kaum intelektual apalagi kaum awam. Kodrat wanita dijadikan alasan untuk mereduksi berbagai peran wanita di dalam keluarga maupun masyarakat. Sementara kodrat itu sendiri sudah dianggap sebagai pemberian Yang Maha Pencipta.
Pemahaman seperti ini perlu dipertanyakan, apakah hal itu memang sudah menjadi kreasi Tuhan atau hanya rekayasa masyarakat karena merasa takut dan khawatir mendapat saingan? Atau beberapa pertanyaan lain yang mungkin akan muncul.
Akibat dari opini yang dibangun terhadap makna “kodrat wanita”, misalnya asal kejadian atau penciptaannya, akal atau kemampuan dan agamanya yang kurang, menempatkan wanita pada posisi yang rendah dan bahkan sangat lemah. Melalui lembaran sejarah dapat disaksikan betapa fatwa hakim agama Mekah berpengaruh dalam membangun opini masyarakat terhadap kedudukan wanita. Ketika empat orang sultânah yang pernah memerintah secara berkesinambungan, harus berakhir dan terputus karena fatwa hakim yang tidak membolehkan wanita menjadi pemimpin negara dengan alasan telah menyalahi kodratnya sebagai wanita. Demikian pula ketika melirik sejarah pergerakan nasional di Indonesia, partisipasi kaum wanita secara kuantitatif dan kualitatif sangat kurang dibanding kaum pria. Salah satu sebabnya ialah adanya hambatan keagamaan. Sudah terlanjur dipersepsikan bahwa perjuangan fisik dan tugas-tugas politik adalah tugas kaum pria, sementara kaum wanita hanya mengurus rumah tangga. Padahal keterlibatan kaum wanita di dunia publik pada masa Nabi Muhammad Saw. demikian besar.
Para mufassir yang tidak sependapat dengan persepsi yang membolehkan wanita menjadi seorang pemimpin dalam dunia publik, mendasarkan pandangannya tersebut pada hadîts Nabi Saw. yang diantaranya adalah Hadîts ;
حدثنا عثمان بن الهيثم حدثنا عوف بن الحسن, عن ابي بكرة قال : لقد نفعني الله بكلمة سمعتها من رسول الله صلهم أيام الجمل بعد ما كدت أن الحق بأصحاب الجمل فأقاتل معهم, قال : لما بلغ رسول الله صلهم أن اهل فارس قد ملكوا عليهم بنت كسرى, قال : لن يفلح قوم ولوا امرهم إمرأة
“Usman bin al-Haitsam menceriterakan kepada kami, dari Auf bin al-Hasan dari Abi Bakrah berkata : “Sesungguhnya Allah telah memberikan hikmah kepadaku pada saat perang Jamal dengan suatu kalimat yang saya dengar dari Rasulullah saw. setelah aku hampir mengikuti pasukan unta. ketika kusampaikan kepada Rasulullah Saw. bahwa kerajaan Persia dipimpin oleh anak perempuannya, maka Nabi Saw. bersabda : ”Tidak akan berbahagia (sukses) suatu kaum (masyarakat) yang menyerahkan (untuk memimpin) urusan mereka kepada wanita”.

dan hadîts yang mengatakan bahwa wanita kurang akal dan kurang agamanya, yaitu :
حديث عبدالله بن عمر رضي الله عنهما : عن رسول الله صلىالله عليه وسلم انه قال : يا معشر النساء تصدقن وأكـثرن الإستغفار فإني رأيتكن اكثر اهل النار فقالت إمرأة منهن جزلة وما لنا يا رسول الله أكثر أهل النار قال تكثرن اللعن وتكفرون العشيرما رأيت من ناقصات عقل ودين أغلب لذى لب منكن قالت يا رسول الله وما نقصان العقل والدين قال أما نقصان العقل فشهادة امرأتين تعدل شهادة رجل فهذا نقصان العقل وتمكث الليالى ما تصلى وتفطرفى رمضان فهذا نقصان الدين .
“Diriwayatkan oleh ‘Abullah ibn ‘Umar r.a, katanya : Rasulullah Saw.telah bersabda : Wahai kaum perempuan! Bersedekahlah kalian dan perbanyaklah istighfar. Karena, aku melihat kalian lebih ramai menjadi penghuni neraka. Seorang perempuan yang cukup pintar di antara mereka bertanya; Wahai Rasulullah, kenapa kami kaum yang lebih ramai menjadi penghuni neraka? Rasulullah Saw., bersabda kalian banyak mengutuk dan mengingkari suami. Aku tidak melihat yang kurang akal dan agama dari pemilik pemahaman daripada golongan kalian. Perempuan itu bertanya lagi; Wahai Rasulullah! Apakah maksud kekurangan akal dan agama itu? Rasulullah Saw., bersabda; maksud kekurangan akal penyaksian dua orang perempuan sama dengan satu orang laki-laki. Inilah yang dikatakan kekurangan akal. Begitu juga perempuan tidak mengerjakan sembahyang pada malam-malam yang dilaluinya kemudian berbuka pada bulan Ramadlan karena haid-haid. Maka inilah yang dikatakan kekurangan agama.”

Kedua hadîts inilah yang menjadi rujukan para mufassir yang tidak menginginkan wanita untuk berkiprah di dunia publik.
Dalam budaya yang ada di Indonesia, umumnya wanita mempunyai peran ganda. Ironisnya, kaum wanita menerimanya tanpa tawar menawar. Dibalik kodrat yang diembannya, ia tetap tidak dapat meninggalkan peran domestiknya. Urusan keluarga, urusan rumah tangga atau sering diistilahkan ruang lingkup domestik pada umumnya diserahkan kepada kaum wanita, sehingga oleh wanita hal-hal tersebut pada gilirannya selalu dijadikan nomor satu.
Peran dan kedudukan wanita sering dikotakkan dalam peran tertentu, misalnya ibu rumah tangga. Kuatnya peran seorang wanita dengan tugas pertama dan utama di sektor domestik, membuat orang percaya sepenuhnya bahwa itulah memang garis takdir wanita atau kodrat wanita yang telah diciptakan dan ditentukan Tuhan. Peran dan kedudukannya menjadi ibu rumah tangga terkesan mutlak, semutlak ia memiliki rahim atau seabsolut pria memiliki sperma untuk pembuahan.
Padahal, disamping memainkan peran sebagai isteri pendamping suami, ibu rumah tangga dan pendidik bagi anak-anaknya, seorang wanita dapat menikmati haknya untuk memainkan peranan lain di luar keluarga sesuai dengan kodratnya. Hal ini karena masyarakat, seperti halnya keluarga, merupakan unit hubungan yang sangat penting dalam dunia Islam. Karena terdapat suatu ikatan yang erat antara individu dan anggota keluarganya yang lain, maka terdapat suatu mata rantai yang kuat antara individu dan orang lain dalam suatu masyarakat.
Mengenai larangan keterlibatan kaum wanita di luar rumah tangganya, para mufassir sering merujuk kepada sûrah. al-Ahzâb/ 33 : 33 :

“dan hendaklah kamu tetap di rumahmu dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang Jahiliyah yang dahulu dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan ta`atilah Allah dan Rasul-Nya. Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, hai ahlul bait dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya.”.

Mengenai tafsîran ayat tersebut, al-Zamakhsyarîy tidak menjelaskan, apa yang dimaksud dengan وقرن في بيوتكن , tetapi hanya menjelaskan kedudukan kalimat tersebut dalam kaedah bahasa Arab. Misalnya, dikatakan bahwa kata قرن di-kasrah-kan huruf kaf-nya, berasal dari قر- يقر- وقارا atau قر- يقرِ . Selanjutnya al-Zamakhsyarîy menafsirkan apa yang dimaksud dengan kata الجاهلية الأولى. Dikatakan bahwa الجاهلية الأولى adalah masa yang telah lampau, yang disebut sebagai masa kebodohan dari orang-orang yang bodoh. Masa tersebut yaitu masa di mana nabi Ibrahim as. dilahirkan dan masa antara Adam dan Nuh as. Suatu pendapat mengatakan bahwa, masa jahiliyah yang pertama yaitu masa antara nabi Idris dan Nuh as. Adapula yang mengatakan, masa antara nabi Daud dan Sulaiman as. Dan masa jahiliyah terakhir adalah masa antara nabi Isa dengan Muhammad saw.. Namun dapat pula dikatakan bahwa الجاهلية الأولى adalah kekufuran sebelum datangnya Islam, dan الجاهلية الأخرى adalah kefasikan dan kebanggaan dalam Islam. Maka ungkapan lafal ini seakan-akan memberi makna; janganlah mereka para wanita berbicara dengan memakai perhiasan jahiliyah dalam Islam dengan menyerupai orang-orang jahiliyah yang kufur.
Al-Zamakhsyarîy menafsirkan ayat tersebut dengan tidak menjelaskan sejauh mana bolehnya keterlibatan kaum wanita di luar rumah, seperti yang sering dipaparkan oleh mufassir lainnya. Namun, terlepas dari penafsiran al-Zamakhsyarîy tersebut di atas, contoh-contoh keterlibatan kaum wanita dalam masyarakat pada masa Rasulullah Saw. patut dijadikan sebagai acuan hukum.
Yang menjadi persoalan berikutnya adalah bagaimana pandangan al-Zamakhsyarîy mengenai kepemimpinan wanita dalam masyarakat di bidang-bidang penting, seperti sebagai pemimpin pemerintahan, seorang hakim, pemimpin perusahaan anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan sebagainya?.
Berdasar pada penafsiran al-Zamakhsyarîy mengenai asal usul penciptaan wanita dan kepemimpinan laki-laki dalam rumah tangga.dalam sûrah. al-Nisâ’/4 : 1 dan 34, maka dapat disimpulkan bahwa al-Zamakhsyarîy tidak sependapat apabila pemimpin pemerintahan dan beberapa jabatan vital lainnya dijabat oleh seorang wanita. Hal ini penulis analisis dari penafsirannya bahwa laki-laki mempunyai kelebihan dibanding kaum wanita, seperti kelebihan intelektual (akal), lebih tegas, tekadnya lebih kuat, lebih berani dan kekuatan fisik yang lebih besar. Sementara dalam melaksanakan tugas-tugas yang diembannya selaku hakim, kepala negara dan jabatan vital lainnya, beberapa hal yang diungkapkan sebagai kelebihan laki-laki tersebut sangat dibutuhkan. Tanpa kemampuan-kemampuan tersebut, maka sangat mustahil seorang wanita mampu menjalankan amanat yang diemban di pundaknya. Oleh karenanya, tanpa menelusuri lebih jauh pendapat al-Zamakhsyarîy mengenai kepemimpinan wanita dalam sektor publik, sudah dapat dipahami bahwa dalam pandangannya, seorang wanita tidak layak menduduki posisi-posisi kekuasaan publik dan politik, terlebih lagi sebagai pemimpin negara.
Uraian sebelumnya mengemukakan tentang pandangan al-Zamakhsyarîy mengenai ayat-ayat yang dijadikan rujukan oleh para ulama dalam mengungkap kepemimpinan wanita dalam berbagai bidang. Dengan menggunakan argumen kebahasaan, al-Zamakhsyarîy menyimpulkan bahwa Hawa, sebagai perempuan pertama, diciptakan dari tulang rusuk Adam. Pandangan ini kemungkinan juga dilatar belakangi oleh hadîts yang dipegang oleh ulama pada masanya yaitu hadîts tentang penciptaan wanita dari tulang rusuk Adam yang paling bengkok.
Pemahaman al-Zamakhsyarîy tentang keberadaan wanita itu berangkat dari penafsiran awalnya mengenai sûrah. al-Nisâ/ 4 : 1, bahwa yang dimaksud dengan kalimat خلق لكم من نفس واحدة /خلقكم من نفس واحدة adalah bahwa manusia diciptakan dari jiwa yang satu yakni jiwa/diri Adam. Hal ini dimaknainya bahwa Hawa sebagai wanita pertama berasal dari diri Adam. Penafsiran ini berindikasi kurang menguntungkan kaum wanita, karena menimbulkan imeg yang buruk dalam masyarakat. Pandangan negatif bahwa kedudukan kaum Adam lebih tinggi dari kaum Hawa berawal dari penafsiran ayat ini. Di samping itu, al-Zamakhsyarîy tidak menjelaskan lebih jauh dan terperinci dasar hukum yang dipergunakan sehingga menafsirkan kalimat نفس واحدة dengan diri Adam. Padahal dari segi bahasa, kata نفس bersifat netral, bisa berlaku bagi pria dan juga bagi wanita.
Dalam menganalisis penafsiran al-Zamakhsyarîy mengenai sûrah. al-Nisâ/ 4 : 1, Muhammad Abduh dan Rasyîd Ridhâ juga memberikan komentar bahwa tidak dapat dipastikan kata نفس واحدة berarti Adam, kecuali bagi yang meyakini bahwa semua manusia adalah berasal dari anak cucu Adam. Tetapi bagi yang meyakini bahwa setiap ras punya asal-usul sendiri, maka yang dimaksud dengan نفس واحدة adalah nenek moyang mereka masing-masing. Menurutnya, kata رجال dan نساء dalam bentuk nakirah menandakan bahwa kalimat وبث منهما رجالا كثيرا ونساء menunjukkan ketidakpastian. Kalau memang yang dimaksud dengan Adam (ma’rifah), seharusnya kedua kata itu diungkapkan dalam bentuk ma’rifah juga. Misalnya, وبث منهما جميع الرجال والنساء . Karena khitâb pada ayat ini bersifat umum, yaitu seluruh umat manusia, bagaimana mungkin yang dimaksud dengan نفس واحدة adalah person tertentu, yaitu Adam, padahal tidak semua manusia mengenal Adam (dan Hawa), bahkan mendengarnya pun tidak pernah.
Menurut Rasyid Ridhâ, mayoritas mufassir termasuk al-Zamakhsyarîy, menafsirkan bahwa نفس واحدة adalah Adam bukan berdasarkan teks ayat, tetapi berdasarkan keyakinan yang sudah diterima secara umum pada waktu itu bahwa Adam adalah nenek moyang umat manusia. Menurutnya, teks ayat menegaskan bahwa secara esensi, semua manusia mempunyai asal kemanusiaan yang sama. Oleh sebab itu, semuanya bersaudara, tanpa memandang warna kulit, perbedaan bahasa atau keyakinan tentang asal usul manusia itu sendiri. Jadi, ayat ini tidak bermaksud menjelaskan asal kejadian manusia.
Apabila ditinjau dari segi etimologis, ungkapan Abduh dan Ridha dapat dibenarkan, karena kata نفس dan زوج bersifat netral. Kata نفس berarti bangsa atau jenis sedang kata زوج berasal dari زاج - يزوج - زوجا yang berarti menaburkan, menghasut. Dalam penggunaannya kata الزوج biasa diartikan dengan pasangan, laki-laki atau perempuan, jantan atau betina bagi hewan. Sehingga kata نفس واحدة dalam ayat tersebut bisa saja berarti Adam dan bisa juga berarti Hawa.
Di sisi lain, tampaknya al-Zamakhsyarîy terpengaruh kepada hadîts yang mengatakan bahwa wanita diciptakan dari tulang rusuk Adam. Hal ini berarti bahwa al-Zamakhsyarîy lebih mendahulukan teks hadîts daripada Al-Qur’an itu sendiri. Sebab Al-Qur’an tidak pernah menjelaskan secara qath’i bahwa isteri Adam (Hawa) diciptakan dari tulang rusuknya. Al-Qur’an hanya berkata, Tuhan menciptakan darinya isterinya. Allah tidak menyebut tulang rusuk dan tidak pula menjelaskan bahwa kata nafs wâhidah itu ditujukan kepada diri Adam.
Di samping ketidakjelasan penunjukan Al-Qur’an terhadap makna nafs wâhidah dalam ayat tersebut, juga kata nafs dalam berbagai konjugasinya dalam ayat lain terulang sebanyak 295 kali dalam Al-Qur’an, dan tidak ada yang berkonotasi Adam. Berdasar pada kenyataan ini, maka penafsiran al-Zamakhsyarîy mengenai kata nafs wâhidah dengan Adam terasa kurang didukung oleh ayat-ayat lain karena pengertian lafal nafs di dalam ayat yang lain tidak menunjuk kepada diri Adam secara khusus, melainkan menunjuk kepada berbagai pengertian sesuai dengan konteks pembicaraan, seperti jiwa. Juga menunjuk kepada pengertian jenis atau bangsa seperti terdapat dalam sûrah-sûrah berikut :
1. Sûrah al-Nahl/ 16 : 72 :

Dan Allah telah menjadikan untukmu isteri-isteri dari bangsamu (jenismu) sendiri (bukan jenis lain seperti jin, hewan dan sebagainya), dan Dia jadikan pula untukmu dari isteri-isteri itu anak-anak dan cucu-cucu…

2. sûrah al-Rûm/ 30 : 21 :
.
“Dan di antara tanda-tanda kekuasaanNya ialah ia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikanNya dia antara kamu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir”.

3. sûrah al-Taubah/ 9 : 128 :

“ Sesungguhnya telah datang kepadamu seorang Rasul dari bangsamu sendiri (Arab Quraisy)…

4. sûrah al-Syûra / 42 : 11;

“Dia jadikan untukmu isteri-isteri dari bangsamu sendiri dan hewan-hewan juga Dia jadikan pasangannya dari bangsanya sendiri ...”

Keempat lafal nafs (jamak; anfus) tersebut di atas berarti bangsa atau jenis, bukan dalam arti yang lain. Berdasar pada makna ayat-ayat tersebut di atas, tampaknya kata nafs sûrah al-Nisâ’/ 4 : 1 lebih mendekati kebenaran dan menghindari munculnya imej perbedaan penciptaan pria dan wanita, apabila diterjemahkan dengan jenis atau bangsa. Sehingga apabila diterjemahkan ayat tersebut selengkapnya berbunyi sebagai berikut :
“Hai sekalian manusia, bertaqwalah kepada Tuhanmu yang telah menciptakan kamu dari jenis (bangsa) yang satu; (bangsa manusia, bukan jin, hewan dan sebagainya); dan telah menciptakan pula dari jenis tersebut isteri (pasangan)nya; dan dikembangbiakkan-Nya dari (perkawinan) keduanya laki-laki dan perempuan yang banyak sekali...

Dari terjemahan di atas dapat dipahami bahwa wanita, menurut Al-Qur’an, bukan diciptakan dari tulang rusuk Adam, melainkan dari unsur yang sama dengan Adam, yaitu tanah. Tampaknya, terjemahan tersebut lebih dapat diterima dan lebih kondusif, karena sesuai dengan pemahaman yang dibawa oleh ayat lain.
Mengenai hadîts yang dijadikan rujukan oleh para mufassir bahwa Hawa diciptakan dari tulang rusuk Adam, perlu diberikan penjelasan yang memadai agar tidak terjadi kesalahpahaman dalam memahami teks Al-Qur’an dan hadîts. Apabila dikaji dan diteliti secara seksama sûrah. al-Nisâ’/4:1 tidak perlu dipertentangkan dengan makna yang dikandung oleh hadîts Bukhâri Muslim tersebut. Sebab, didalam sûrah al-Nisâ’/ 4 : 1, membicarakan tentang penciptaan semua manusia dari unsur yang sama, sementara hadîts membicarakan sifat dasar wanita yakni bagaikan tulang rusuk yang bengkok, sehingga apabila dipaksa meluruskannya dia akan patah, tapi bila dibiarkan begitu saja tanpa upaya meluruskannya, maka dia akan tetap bengkok. Hadîts ini harus dipahami sebagai peringatan bagi kaum lelaki agar berlaku bijaksana, karena ada sifat, karakter dan kecenderungan wanita yang tidak sama dengan lelaki.
Dalam menafsirkan sûrah. al-Nisâ’/4 : 32 dan al-Nahl/16 : 97 al-Zamakhsyarîy mengakui adanya kesamaan hak pria dan wanita dalam memperoleh hasil usahanya. Namun, dalam hal kepemimpinan dalam rumah tangga, sebagaimana sûrah al-Nisâ’/4 : 34 al-Zamakhsyarîy lebih cenderung menempatkan posisi kaum wanita di bawah kaum pria. Hal ini tampak pada ungkapannya ketika menafsirkan kata بما فضل الله بعضهم علي بعض bahwa kepemimpinan dalam rumah tangga itu diberikan oleh Allah kepada pria karena kelebihannya dalam beberapa hal. Dari kelebihan-kelebihan yang dipaparkannya, kelihatan bahwa al-Zamakhsyarîy menganggap kaum pria itu mempunyai banyak keunggulan ketimbang wanita.
Di sisi lain, al-Zamakhsyarîy tidak melihat bahwa kepemimpinan laki-laki (suami) dalam rumah tangganya tidak dapat berjalan sebagaimana mestinya tanpa ditunjang oleh kemampuan wanita (isteri) dalam menangani hal-hal yang mungkin saja laki-laki sulit untuk berkonsentrasi melakukannya, misalnya dalam hal mengurusi anak-anak. Kelembutan, kasih sayang dan ketelatenan seorang wanita dalam mendidik anak-anaknya adalah sebuah tanggung jawab yang tidak begitu diperhatikan oleh al-Zamakhsyarîy. Hal ini berarti bahwa dalam mengurus rumah tangga secara langsung, kaum wanita juga adalah seorang pemimpin yang harus diakui kapabilitasnya.
Al-Qur’an tidak secara tegas menjelaskan apa yang menjadi keunggulan pria atas wanita, sehingga penafsiran yang diberikan oleh para mufassir pun menjadi beragam dan kontroversial. Kelebihan-kelebihan yang dikemukakan oleh para mufassir -termasuk al-Zamakhsyarîy- pada intinya berkisar pada keunggulan laki-laki dari segi fisik, intelektual dan agama.
Sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya, bahwa tampak al-Zamakhsyarîy memperluas pembicaraan mengenai keunggulan kaum pria sebagai jenis kelamin, bukan dalam konteks suami, sebagaimana yang diinginkan oleh ayat الرجال قوامون علي النساء بما فضل الله بعضهم علي بعض. Sehingga kelebihan-kelebihan yang diberikan itu tidak relevan dengan fungsi dan tuags utama pria sebagai seorang pemimpin dalam rumah tangganya. Misalnya, disebutkan kelebihan fisik laki-laki; kuat, punya jenggot bahkan disebutkan juga memakai sorban sebagai suatu kelebihan. Demikian juga tugas dan peran laki-laki dalam upacara-upacara keagamaan, seperti laki-laki menjadi muadzin, khatib, imam dan sebagainya. Apabila pemahaman al-Zamakhsyarîy tersebut diterima sebagai suatu kelebihan laki-laki, maka dapat dikatakan bahwa kelebihan wanita juga antara lain, wanita haid, hamil, melahirkan, menyusui, cantik, lembut dan lain sebagainya. Namun, perbedaan-perbedaan tersebut harus dipahami tidak lebih dari sebuah pembagian tugas, bukan sebagai suatu kelebihan.

Mengenai kelebihan pria dari segi intelektual -sebagaimana penafsiran al-Zamakhsyarîy, penulis melihatnya bukan sebagai potensi intelektual yang dimiliki, tetapi apabila terjadi perbenturan antara nalar dan rasa, maka laki-laki lebih mendahulukan nalar daripada rasanya. Sebaliknya wanita lebih mendahulukan rasa daripada nalarnya. Namun, statement ini tidak berlaku untuk segala situasi dan kondisi, sebab dalam kondisi tertentu mungkin akan terjadi sebaliknya. Hal ini berarti bahwa pria dan wanita dapat melakukan persaingan secara sehat untuk mengembangkan diri lebih jauh. Bahkan dapat saja terjadi kemampuan intelektual wanita lebih tinggi ketimbang laki-laki, dan hal ini sangat dipengaruhi oleh lingkungan pendidikan dan lingkungan masyarakat yang membentuknya.
Kepemimpinan laki-laki dalam rumah tangga dari segi normativitas adalah memberikan kepastian siapa yang menjadi pemimpin di antara keduanya (suami atau isteri), sehingga tertutup peluang timbulnya perselisihan. Namun di sisi lain, kelemahannya adalah ketika persoalan tersebut diperhadapkan pada sebuah realitas, yakni tatkala secara faktual suami tidak memenuhi persyaratan untuk menjadi pemimpin, baik yang bersifat integritas pribadi, maupun kemampuan finansial yang disyaratkan oleh Al-Qur’an secara eksplisit. Hal ini tidak dijelaskan oleh al-Zamakhsyarîy dalam menafsirkan kata qawwâmun pada ayat tersebut.

Analisis lain yang penulis dapat kemukakan mengenai penafsiran al-Zamakhsyarîy terhadap ayat-ayat kepemimpinan wanita adalah bahwa al-Zamakhsyarîy dalam mengupas ayat-ayat kepemimpinan wanita, tidak begitu jauh menjelaskan konsep dasarnya mengenai kepemimpinan wanita itu sendiri.
Hal ini mungkin dilatarbelakangi oleh situasi dan kondisi kehidupan al-Zamakhsyarîy. Sebagaimana dipaparkan dalam pembahasan sebelumnya bahwa al-Zamakhsyarîy adalah seorang bujangan yang sangat tidak memperhatikan wanita. Kurangnya perhatian al-Zamakhsyarîy terhadap wanita dapat disebabkan oleh kefakirannya, ketidakstabilan hidupnya karena keadaan materi yang dimilikinya dan penyakit jasmani yang dideritanya. Cacat kakinya merupakan salah satu sebab yang menjadikan ia merasa lemah dan tidak sanggup untuk menanggung perkawinan dan tanggung jawab keluarga. Kemungkinan lain yang menjadi penyebabnya adalah karena kesibukannya menuntut ilmu dan kecintaannya terhadap ilmu dan karya-karya yang ditulisnya menyebabkan ia menjauh dari persoalan perkawinan. Namun yang pasti bahwa al-Zamakhsyarîy memang tidak menyukai wanita, bahkan menghindarinya. Hal ini disebabkan oleh karena al-Zamakhsyarîy tidak ingin menanggung resiko dari sebuah pernikahan tersebut. Sebagaimana penulis simpulkan dari ungkapan syairnya, yang berbunyi :
وأسعـد الـناس ناس قـط ما ولـدوا # ولا غـدوالخـراب الأرض عـمارا
فـلم يـذوقـوا بـأولاد إذا انـقـرضوا # ثـكلا ولا راعـهم بـيت إذا انهـارا
“ Orang yang paling bahagia adalah orang yang tidak beranak; dan orang yang tidak mempunyai rumah; Sehingga mereka tidak akan meratapi anak-anaknya jika mereka mati; dan mereka juga tidak akan terkejut, jika rumah mereka roboh.”

Namun demikian, sebuah ungkapan berupa nasehat yang diberikan oleh al-Zamakhsyarîy mengenai wanita dan patut untuk direnungkan adalah;

لا تخـطب المرأة لحسـنها ولـكـن لحـصـنـها, فإن اجـتمع الحـصن والجـمال فـذاك هو الكـمال وأكـملهن ذالك أن تعـيش حصورا وإن عـمرت عصورا.
“Janganlah engkau meminang wanita karena kecantikannya, tetapi karena keturunannya, apabila telah berkumpul keturunan dan kecantikannya maka itulah sebuah kesempurnaan dan kesempurnaannya itulah yang akan menyibukkan ”

Terlepas dari uraian di atas, al-Zamakhsyarîy dalam menafsirkan ayat-ayat kepemimpinan lebih banyak menganalisis dari segi kaedah kebahasaan, sehingga yang sangat menonjol adalah tinjauan kebahasaannya. Hal ini, menurut analisis penulis, adalah merupakan keistimewaan al-Zamakhsyarîy dalam menafsirkan Al-Qur’an, tetapi dapat pula menjadi sebuah kelemahan. Alasannya adalah dengan tinjauan kebahasaan semata, maka penafsiran ayat yang diinginkan tidak begitu nampak, hanya berbentuk sebuah penjelasan kaedah bahasa. Namun, hal itu pun tidak dapat dipersalahkan sepenuhnya kepada al-Zamakhsyarîy, sebab kecenderungan al-Zamakhsyarîy dalam menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an dari segi bahasa sesuai dengan kebutuhan masyarakat pada masanya.
Persoalan kepemimpinan wanita belumlah menjadi fokus perhatian para mufassir termasuk al-Zamakhsyarîy pada masa hidupnya. Persoalan yang dihadapi al-Zamakhsyarîy adalah kekhilafan-kekhilafan yang dilakukan oleh orang-orang pada masanya dalam menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an, terutama mengenai huruf-huruf muqaththa’ah. Oleh karenanya, al-Zamakhsyarîy memulai penafsirannya dari huruf-huruf muqatta ’ah tersebut.

AL-ZAMAKHSYARÎY DAN METODE TAFSÎRNYA


A. Biografi Al-Zamakhsyarîy
1. Lahir Tumbuh Kembang dan Wafat
Nama lengkap al-Zamakhsyarîy adalah Abû al-Qâsim Jârullah Mahmud ibn ‘Umar ibn Muhammad ibn Ahmad ibn ‘Umar al-Khuwarizmi al-Zamakhsyarîy. Ia lahir di tengah-tengah lingkungan sosial yang penuh dengan semangat kemakmuran dan keilmuan pada hari RAbû tanggal 27 Rajab 467 H. bertepatan dengan tahun 1074 M. di Zamakhsyar, suatu desa yang terdapat dalam wilayah Khuwârizm , sebelah utara Persia.
Lingkungan keluarga yang berilmu dan taat beribadah. Ayahnya adalah seorang miskin dan tidak memiliki banyak harta, tetapi ia adalah seorang ‘âlim, yang memiliki sifat wara’ dan zuhud.. Nama ibu dan silsilahnya tidak disebutkan oleh al-Zamakhsyarîy. Walaupun demikian, al-Zamakhsyarîy menggambarkan bahwa ibunya seorang yang memiliki watak dan pribadi yang halus. Hal ini ditunjukkan ibunya ketika al-Zamakhsyarîy masih berusia kanak-kanak. Suatu ketika, al-Zamakhsyarîy menangkap seekor burung, kemudian diikatkannya dengan sehelai benang. Tiba-tiba burung itu terlepas dari tangannya dan didapatinya kembali burung itu ketika masuk ke dalam lubang. Ia lalu menariknya keluar dan karena itulah kaki burung itu sampai terpotong. Melihat keadaan demikian, ibunya merasa sangat kasihan terhadap burung itu dan ia pun sampai mengatakan kepada al-Zamakhsyarîy: “Nanti Allah memotong kakimu sebagaimana engkau telah memotong kaki burung itu”.
Di masa hidupnya, al-Zamakhsyarîy memilih hidup membujang dan menjauhi wanita. Pilihan membujangnya ini tidak dikomentarinya lebih jauh. Akan tetapi, banyak komentar bermunculan dari para ilmuwan. Komentar tersebut berdasarkan pada pemahaman terhadap syair yang diciptakannya.
Jika dipahami dari bait syairnya, kata ‘Abd al-Majid Dayyâb, pen-tahqiq kitabnya Rabi’ al-Abrâr, dapat dikatakan bahwa ia hidup membujang disebabkan karena menurutnya, orang yang paling bahagia adalah orang yang tidak mempunyai anak dan tidak mendirikan rumah. Ini dipahami dari syair yang diucapkannya sendiri :
واسعد الناس ناس قـط ما ولـدوا # ولا غـدوالخـراب الأرض عـمارا
فلم يذوقـوا بأولاد إذا انـقرضوا # ثـكلا ولا راعـهم بـيت إذا انـهـارا
Orang yang paling bahagia adalah orang yang tidak beranak;
dan orang yang tidak mempunyai rumah;
Sehingga mereka tidak akan meratapi anak-anaknya jika mereka mati; dan mereka juga tidak akan terkejut, jika rumah mereka roboh.
Akan tetapi pernyataannya tesrsebut, menurut ‘Abd al-Majîd Dayyâb dan Syekh Kâmil Muhammad, hanya merupakan basa-basi. Sebenarnya banyak hal yang tidak terungkap yang menyebabkan dia hidup dalam keadaan demikian. Di antara penyebabnya adalah kefakirannya dan ketidakstabilan hidupnya karena keadaan materi yang dimilikinya dan penyakit jasmani yang dideritanya. Cacat kakinya merupakan salah satu sebab yang menjadikan ia merasa lemah dan tidak sanggup untuk menanggung perkawinan dan tanggung jawab keluarga. Ini juga mungkin merupakan penyebab menjauhnya para wanita dari diri al-Zamakhsyarîy. Mungkin juga menjadi penyebabnya adalah karena kesibukannya menuntut ilmu dan kecintaannya terhadap ilmu dan karya-karya yang ditulisnya menyebabkan ia menjauh dari persoalan perkawinan. Akhirnya Al-Zamakhsyarîy meninggal dunia di malam ‘Arafah pada tahun 538 H. di Jurjâniah, Khuwarizm setelah kembali dari Mekkah.
2. Pendidikan dan Karir
Meskipun bukan dari golongan bangsa arab, Kecintaannya kepada bangsa Arab dan bahasa Arab serta ilmu pengetahuan sudah tertanam sejak kecil dalam diri al-Zamakhsyarîy. Bahkan ketika usianya remaja ia sudah mempunyai cita-cita dan keinginan untuk menempati kedudukan yang dapat menunjang ilmu dan kepintarannya. Ia ingin memperoleh harta yang memadai bagi kehidupannya. Hal ini didukung oleh kondisi lingkungan yang mengitari hidup dan kehidupan al-Zamakhsyarîy . Untuk itu ia lalu mengadakan berbagai usaha untuk memenuhi cita-citanya. Di negerinya ia telah mengadakan hubungan dengan para pembesar kerajaan pada masa pemerintahan Sultan ‘Abd al-Fattâh Malik syâh, yang bergelar Sultan Jalâl al-Dunyâ wa al-Dîn. Ia memuji dan menyanjung para pembesar kerajaan di negerinya. Dan hal ini menyebabkannya mendapatkan pemberian dari mereka. Akan tetapi apa yang diperolehnya itu belum memuaskan dirinya, karena ia tidak hanya ingin mendapat pemberian yang berupa harta, tetapi ia juga ingin mendapatkan pangkat dan kedudukan. Keinginannya yang terakhir ini tidak dapat dicapai di negerinya sendiri. Oleh sebab itu, ia melakukan perjalanan ke berbagai negeri untuk memenuhi cita-citanya itu. Pertama-tama ia pergi ke Khurasân. Di negeri ini ia memuji dan menyanjung banyak pembesar kerajaan, seperti Mujir al-Daulah Abû al-Fath, ‘Ali ibn al-Husain al-Ardistâni dan Mu’ayyad al-Mâlik ‘Ubaidillah ibn Nizâm al-Mulk. Karena apa yang dilakukannya terhadap para pembesar yang disanjungnya belum memberikan apa yang diinginkannya, maka ia lalu meninggalkan Khurasan menuju Isfahan (salah satu kota di wilayah Iran sekarang), tempat istana kerajaan Saljuk Muhammad ibn ‘Abû al-Fath Malik syâh (w. 511 H.).
Pada tahun 512 H. al-Zamakhsyarîy mengalami menderita sakit keras sehingga menyebabkannya lupa terhadap segala yang diangan-angankannya selama ini. Ia menyadari bahwa penyakit yang dideritanya itu merupakan ujian berat bagi dirnya yang telah berusaha keras untuk selalu mendapatkan harta dan pangkat sebagai cita-citanya. Akhirnya ia berjanji, jika suatu hari sembuh, ia tidak akan lagi mendekati sultan atau menyanjungnya demi meraih suatu pangkat dan jabatan. Maka setelah sembuh, ia melanjutkan perjalanan ke Baghdad. Di tempat itulah ia tidak lagi berhubungan dengan para penguasa demi menginginkan harta dan pangkat sebagaimana sebelumnya, tetapi ia mendatangi para ulama dan para cendekiawan untuk mendapat ilmu pengetahuan dari mereka. Di sini ia mempelajari hadis dari berbagai ulama terkenal, seperti Abû al-Khattâb, ibn al-Barr, Abû Sa’ad al-Syifâni dan Syaikh al-Islâm Abû Mansûr al-Hâritsî. Di sini ia pun mempelajari fikih dari berbagai ulama diantaranya adalah al-Damigânî dan al-Syarîf ibn al-Syajarî.
Disamping itu, Al-Zamakhsyarîy juga menyadari bahwa harta dan pangkat yang telah dicita-citakannya dan yang pernah diraihnya selama ini merupakan perbuatan dosa. Oleh karena itu, Ia bertekad untuk menghapus dosa-dosanya itu dengan jalan bertaubat di tempat yang lebih mustajab. akhirnya ia berangkat menuju Baitullâh di Makkah al-Mukarramah. Di dalam perjalanannya menuju Mekkah diungkapkan dalam potongan bait-bait syairnya seperti yang dikutip oleh Ahmad Thib Raya dari Musthafâ al-Shâwi al-Juwainî, diantaranya ;
والله أكـبر رحـمة والله أكـبر نـعـمة وهـو الـكـريـم الـقـادر
وأحـق مـا يـشـكـو ابن آدم ذنبـه وأحـق مـا يشـكـو إلـيـه الغـافـر
فعسى المـلـيـك بـفـضـله وبـطوله يـكسو لبـاس البـر مـن هـو فـاجـر
يـا مـن يـسـافر فى البلاد مـنقـبا أنـى الى البلد الحـرام مـسـافـر
إن هـاجـر الإنـسـان عـن أ وطـانـه فالله أولى مـن إلـيـه يـهـاجـر
وتـجـارة الأبـرار تلك ومـن يـبـيع بالـدين دنـيـاه فـنـعـم الـتـاجـر
Allah adalah yang paling besar rahmat-Nya dan yang paling banyak nikmat-Nya, ia Maha Mulia dan Maha Kuasa; orang yang paling berhak mengadukan dosanya adalah manusia, dan yang paling berhak mengadu kepada-Nya adalah orang yang meminta ampun. Mudah-mudahan Allah Yang Maha Kuasa, dengan keutamaan nikmat dan Kekuasaan-Nya memakaikan orang yang berbuat jahat dengan pakaian kebajikan; Wahai orang yang sedang bepergian dan mengembara, sesungguhnya aku pergi menuju tanah haram. Jika manusia pergi meninggalkan negerinya, maka Allah selalu bersama orang yang berhijrah kepadanya. Dan itulah perdaganngan orang-orang yang brbuat kebajikan, dan orang yang membeli dunia dengan agamanya, mereka itulah padagang yang paling baik.

Setelah sampai di Makkah, al-Zamakhsyarîy mulai berkenalan dengan para ulama terkenal sekaligus menimba ilmu dari mereka. Orang pertama yang ditemuinya di sana, sekaligus menjadi tetangganya adalah al-‘Amir al-‘Alawi ‘Ali ibn ‘Isa ibn Hamzah ibn Wahhâs. Kemudian selama dua tahun Ia berguru kepada Abdullah bin Thalhah al-Yâbirî (w. 518 H.) untuk mempelajari dan memperdalam kitâb Sîbawaih.
Selama tinggal di tanah haram itu, Ia mengalami rasa rindu yang sangat dalam terhadap kampung halamannya, sehingga ia meninggalkan Makkah menuju Khuwârizm. Ketika berada di Khuwârizm, ia tinggal di sebuah rumah khusus yang didirikan oleh Muhammad ibn Anusytakin yang bergelar Khuwârizmisyâh (w. 521 H.). Setelah Muhammad Khuwârizmisyâh meninggal, al-Zamakhsyarîy tinggal bersama Atsaz (w. 551 H.) yaitu anak Muhammad Khuwarizmsyâh dan atas perintahnya, al-Zamakhsyarîy mulai menyusun satu naskah buku yang terkenal dengan nama Muqaddimah al-Adâb (Pengantar Kesusasteraan).
Namur, perlakuan dari Atsaz yang begitu baik itu, tidak dapat membuat hati al-Zamakhsyarîy betah untuk tetap tinggal di negeri kelahirannya. Akhirnya Ia pergi untuk kedua kalinya ke kota Mekkah. Dalam perjalanan menuju ke Mekkah Ia sempat singgah di Syam (Syiria) dan memuji Tâj al-Mulk (w. 526 H.), seorang wali kota Damsyiq dan Syams al-Mulk, anak Tâj al-Mulk. Pada tahun itu juga Ia meneruskan perjalanannya menuju Makkah. Di sanalah, selama tiga tahun Ia menyusun kitab tafsîrnya al-Kasysyâf (Pembuka Tabir). Dan selama di Mekkah, Ia bertemu dengan ibn Wahhâs yang menjadi orang yang selalu memberikan bantuan dan pertolongan kepadanya. Ibn Wahhâs juga mendukung pandangan Mu’tazilah yang dianut oleh al-Zamakhsyarîy. Setelah beberapa waktu kemudian, al-Zamakhsyarîy kembali ke kampung halamannya. Dan dalam perjalanan pulangnya ini Ia sempat singgah di kota Baghdad pada tahun 533 H. Di kota inilah Ia banyak membaca buku-buku tentang bahasa, terutama pada Abû Mansûr al-Jawâlîqî.
Dari hasil bacaannya dalam berbagai bidang ilmu, seperti tafsir, bahasa, maupun fikih menyebabkannya kelak menjadi seorang ulama yang diakui oleh ulama-ulama yang semasa dengannya ataupun ulama sesudahnya. Seperti yang dikatakan oleh Abû al-Yaman Zubaid ibn al-Hasan al-Kindî (w. 613 H.) bahwa pada zamannya, al-Zamakhsyarîy adalah seorang non Arab yang paling tinggi pengetahuannya tentang bahasa Arab dan yang paling banyak melakukan penelaahan atas kitab-kitab Arab dan hampir tidak diketemukan lagi di masa sesudahnya seorang ulama non Arab yang pengetahuan tentang bahasa Arabnya yang sangat mendalam seperti al-Zamakhsyarîy.
Sebagai pencinta ilmu pengetahuan, Ia selalu mencari dan menuntut ilmu dari bebagai ulama termasuk ayahnya sendiri. Selain berguru secara langsung kepada para ulama yang hidup semasa dengannya, Ia juga mencari ilmu dengan cara menelaah berbagai buku-buku karya para ulama sebelumnya. Ia telah berguru dan menimba ilmu dari berbagai syekh, di antaranya Abû Mudâr Mahmûd ibn Jarîr al-Dabî al-Ashfahânî (w. 507 H.), Abû Bakar Abdullah ibn Talhah al-Yabîrî al-Andalûsî (w. 518 H.), Abû Mansûr Nasr al-Hâritsî, Abû Sa’îd al-Saqânî, Abû al-Khaththâb ibn Abû al-Bathr, Abû ‘Alî al-Hasan al-Muzfir an-Naisâbûrî al-Dharîr al-Lugawî (w. 473 H.) , Qâdhî al-Qudhâh Abî Abdullâh Muhammad ibn ‘Alî al-Dâmigânî (w. 478 H.) dan al-Syarîf ibn al-Syajarî (w. 542 H.).
Al-Zamakhsyarîy dengan ilmu yang telah ditimbanya dari berbagai gurunya, mengembangkannya lagi kepada para muridnya yang cukup banyak jumlahnya. Pada saat itu, syekh yang menjadi guru tempat ia menimba ilmu, terkadang menjadi murid pula baginya. Pada saat itulah terjadi saling menerima dan memberikan ilmu. Hal ini terjadi antara al-Zamakhsyarîy dan beberapa ulama. Misalnya Dari al-Sayyid Abû al-Hasan ‘Alî ibn Îsâ ibn Hamzah al-Hasanî, salah seorang tokoh terkemuka dan terpandang di Makkah, al-Zamakhsyarîy menimba suatu ilmu tertentu dan sebaliknya syekh ini menerima ilmu lain dari al-Zamakhsyarîy.
Di antara murid-muridnya yang lain ialah Abû al-Mahâsin ‘Abd al-Rahîm ibn Abdullâh al-Bazzâz di Abyurad, Abû Umar ‘Âmir ibn al-Hasan al-Sahhâr di Zamakhsyar, Abû Sa’îd Ahmad ibn Mahmûd al-Syâdzilî di Samarkand, Abû Thâhîr Sâmân ibn ‘Abd al-Mâlik al-Faqîh di Khuwârizm, Muhammad ibn Abû al-Qâsim yang belajar ilmu fikih, ilmu i’rab dan mendengarkan hadis dari al-Zamakhsyarîy, Abû al-Hasan Alî ibn Muhammad ibn Alî ibn Ahmad ibn Hârun al-Umrânî al-Khuwârizmî yang pada akhirnya menjadi ulama besar yang melahirkan karya-karya besar dan lain sebagainya.
Keluarga al-Zamakhsyarîy adalah keluarga yang cinta kepada ilmu pengetahuan. Pengaruh keluarganya itu membawa pengaruh yang besar pula pada diri al-Zamakhsyarîy untuk selalu menuntut dan mencari ilmu. Disamping itu juga pengaruh tersebut telah tertanam dalam dirinya untuk selalu mengembara dari satu kota ke kota yang lain guna mencari ilmu, ia berpindah dari satu syekh ke syekh yang lain untuk tujuan berguru dan menimba ilmu dari mereka.
Selama di kampungnya, al-Zamakhsyarîy sudah mulai mempelajari bidang ilmu pengetahuan keagamaan dan berguru kepada para ulama terkenal yang ada di sana. Di antara gurunya adalah Abû Mudhar Mahmûd ibn Jarîr al-Dabî al-Isfahânî (w. 507 H.), seorang ulama bahasa, nahwu dan sastera. Setelah berguru kepadanya, al-Zamakhsyarîy kemudian pergi merantau ke Bukhâra untuk menuntut dan mencari ilmu kepada para ulama yang ada di salah satu kota yang ada di Uzbekistan Semarang. Bukhâra pada waktu itu masih merupakan wilayah yang dikuasai oleh dinasti Samaniyah dan merupakan salah satu kota yang memiliki banyak ulama besar dan kenamaan. Di sanalah Ia mempelajari hadis dari berbagai ulama, seperti Abû Mansûr Nasr al-Hâritsî, Abû Sa’ad al-Tsaqafî dan Abû al-Khattâb ibn Abû al-Bathr. Ia mempelajari sastera dari Abû Ali al-Hasan ibn al-Muzfir al-Naisabûrî.
Ketika di Baghdad pada tahun 533 H. Ia mempelajari ilmu fikih. Di sini ia belajar pada seorang ahli fikih yang bermazhab Hanafi, yaitu al-Damigânî (w. 498 H.) dan al-Syarîf ibn al-Syajarî (w. 542 H.) . Ia juga mempelajari berbagai kitab bahasa pada seorang ulama Baghdad yang bernama Abû Mansûr al-Jawâliqî (446-539 H.).
Al-Zamakhsyarîy mempelajari dan menelaah kitâb Sîbawaih ketika berada di Mekah pada seorang ulama bahasa yang bernama Abdullah ibn Talhah al-Yâbirî (w. 518 H.).
Kegiatan-kegiatan ilmiah yang dilakukan oleh al-Zamakhsyarîy tidak terfokus hanya pada penimbaan ilmu pengetahuan yang sebanyak-banyak dari para ulama yang hidup pada masanya, dan pengembaraannya ke daerah-daerah hanya untuk mencari ilmu, tetapi juga berusaha untuk mengajarkan ilmu yang dimiliki pada orang-orang yang membutuhkannya. Tidak mengherankan, kalau al-Zamakhsyarîy didatangi oleh sejumlah orang yang ingin mempelajari ilmu darinya. Sebagai seorang ulama, al-Zamakhsyarîy selalu didatangi oleh para penuntut ilmu ketika berada di berbagai kota dan tempat dalam melakukan perjalanannya. Ahmad Muhammad al-Hûfî menyebutkan bahwa murid-murid al-Zamakhsyarîy cukup banyak jumlahnya.
Murid-murid yang pernah berguru kepada al-Zamakhsyarîy yang pada akhirnya menjadi ulama yang terkenal dalam berbagai bidang ilmu pengetahuan. Di antaranya Abû al-Hasan ‘Ali ibn Muhammad al-Amaranî al-Khuwârizmîy (w. 566 H.), yang kemudian terkenal sebagai seorang sasterawan dengan julukan “Hujjat al-Afâdil wa al-Fakhr al-Masyâyikh”. Abû al-Hasan berguru pada al-Zamakhsyarîy tentang kesusasteraan Arab. Muridnya itu kemudian menjadi sahabat yang paling besar peranannya dalam mengembangkan sastera Arab.
Muhammad al-Hûfî dalam bukunya al-Zamakhsyarî, yang dikutip oleh Ahmad Thib Raya, menyebutkan bahwa murid-murid al-Zamakhsyarîy cukup banyak jumlahnya. Diantara mereka ialah Abû ‘Amar ‘Âmir ibn al-Hasan al-Sayyâr, seorang murid berasal dari Zamakhsyar, kota kelahiran al-Zamakhsyarîy, dari Thibristan seorang murid bernama Abû al-Mahâsin Ismâ’îl ibn ‘Abd Allâh al-Thawilî ; dari Abyorid seorang murid bernama Abû al-Mahâsin ‘Abd al- Rahîm ibn ‘Abd Allâh al-Bazzâr; dari Samarqand seorang murid bernama Abû Thâhir Sâmân ibnu al-Mâlik yang kemudian menjadi ahli fikih, dan seorang murid bernama al-Muwaffiq ibn Ahmad ibn Abî Sa’îd, yang kemudian menjadi ulama besar dalam ilimu bahasa Arab, fikih, sastra dan terkenal juga sebagai penyair.
Diantara murid yang terkenal pula adalah Muhammad ibn Abî al-Qâsim yang juga terkenal dengan nama Abû al-Fadhl al-Yaqalî al-Khuwarizmî al-Adamî yang berjulukna “Za’im al-Masyîyîkh” ( pemimpin diatar para guru ) ( w. 562 H.). Ia menjadi seorang ahli nahwu dan satrawan terkenal. Ia dipandang sebagai tokoh satra Arab dan bahsa Arab. Ia tidak hanya mempelajari bahasa, ilmu pengetahuan mengenai i’râb, dan hadits dari al-Zamakhsyarîy, tetapi juga mempelajarinya dari syaikh yang lain.
Ia menghabiskan sisa umurnya untuk mengembangkan ilmu pengetahuan. Ia didatangi oleh banyak murid yang datang dari berbagai pelosok negeri. Dengan pengetahuan yang dimiliki, ia telah sanggup menghasilkan beberapa karya tulis, seperti kitab al-Mawâdi’ wa al-Buldân, kitab Tafsir Al-Qurân dan Kitab Isytiqâq al-Asma’.

3. Karya-Karyanya
Al-Zamakhsyarîy telah mengembangkan dan menyebarkan Ilmunya kepada para murid-muridnya, tidak hanya lewat lisan, tetapi juga lewat buku-buku yang telah ditulisnya. Sepanjang hidupnya ia telah menyusun sejumlah buku dalam berbagai bidang, baik dalam bidang ilmu syari’ah (agama), bahasa maupun sastera. Buku yang telah disusunnya berjumlah lebih dari lima puluh judul yang hingga sekarang masih banyak dijumpai dan dijadikan referensi dan bahan kajian.
Di antara buku-buku yang ditulis al-Zamakhsyarîy seperti yang dikutip oleh Amin al-Khûli adalah sebagai berikut :
1. Dalam bidang ‘aqîdah, seperti Risâlah fî Kalimât al-Syahâdah, . Dalam buku ini ada beberapa pandangan ulama. Muhammad al-Hûfî, yang dikutip oleh Ahmad Thib Raya misalnya, menyabutkan bahwa buku ini merupakan nama lain dari buku al-Kirâm al-Bararah Khashâish al-‘Asyrah. Sedangkan ‘Abd al-Majîd al-Dayyâb menyatakan bahwa buku berbeda dengan buku al-Kirâm al-Bararah Khashâish al-‘Asyrah . Karena itu, dalam uraiannya, Ia membedakan antara kedua buku tersebut. Kitâb al-Kasyf fî Qirâ’ât al-‘Asyr, I’râb Gharîb Al-Qur’an. Dâlat al-Nâsyid wa al-Râfidl fî ‘Ilm al-Farâid , Ta’lîm al-Mubtadi’ wa Irsyâd al-Muqtadi’
2. Dalam bidang hadis dan ilmu hadis al-Fâiq fî Gharîb al-Hadîs, Khasâis al-Asyrah al-Kirâm al-Bararah, Mukhtashar al-Muwâfaqât Baina Ahl al-Bait wa al--Shahâbah, Mutasyâbih Asmâ' al-Ruwât.
3. Dalam bidang Fiqh dan Usul Fiqh ; Ru'ûs al-Masâ'il fî al-Fiqh, Mu’jam al-Hudûd fî al-Fiqh, al-Mihhâj fî al-Usûl, Syâfî al-‘Iy min kalâm al- Syâfî‘iy, Syaqâiq al-Nu’mân fî Haqâiq al-Nu’mân fî manâqib al-Imâm Abî Hanîfah al-Nu’mân .
4. Dalam bidang bahasa; Asâs al-Balâghah, al-Asmâ fî al-Lughah A’jâb al-‘ajîb fî Syah Lâmiyyat al-‘Arab Jawâhir al-Lughah, Hâsyiyyat al-Mufassal, al-Durr al-Muntakhab fî Kinâyât wa Isti’ârât wa tasybîhât al-‘Arab , Samîm al-‘Arabiyyah. al-Mustasfâ fî Amtsal al-‘Arab , Mu’jam al-‘Arabiy al-Fârisiy .
5. Dalam bidang nahwu; al-Anmûdzaj fî al-Nahwi, Syarh li al-Kitâb Sîbawaîh , al-Mufashshal , al-Mufrad wa al-Muallaf fî al-Nahw , al-muhajât bi al-Masâil al-nahwiyyah aw al-Hâjî al-nahwiyyah , al-Âmâl fî al-Nahwi fî wafayât al-A’yân.
6. Dalam bidang Arûdh; al-Qistâs
7. Dalam bidang ilmu geografi; al-Amkinah wa al-Jibâl, wa al-Miyâh.
8. Dalam bidang sastera; Atwâq al-Zahâb Muqâmât al-Zamakhsyarî , Diwân al-Khuthab , Diwân al-Rasâil ,Diwân al-Tamtsîl , Diwân al-Zamakhsyarîy , al-Qasidat al-Ba’ûdiyah , Qasidah fî Su'al al-Ghazâlî Nawâbigh al-Kalim , Risâlat al-Mas'amah, al-Risâlat al-Nâsihah, Sawâ'ir al-Amtsâl dan Risâlat al-Asrâr.
9. Bidang lain; Kitâb al-Ajnâs , al-‘Aql al-Kulliy , Tasliyyat al-Darar, Nuzhat al-Musta’nis , dan beberapa kitab lainnya.
B. Metode Tafsîr al-Kasysyâf
1. Motivasi Menulis Tafsîr
Dalam menguraikan sejarah penulisan Tafsir al-Kasysyâf, penulis akan menguraikan sesuai dengan pemaparan al-Zamakhsyarîy dalam muqaddimahnya, antara lain diuraikan bahwa penulisan ini berawal dari banyaknya ulama dari kalangan Mu’tazilah yang menafsirkan Al-Qur’an dengan cara menggabung-gabungkan antara ilmu-ilmu bahasa dengan prinsip-prinsip pokok agama. Setiap kali mereka datang kepada al-Zamakhsyarîy untuk mendiskusikan ayat yang akan dikaji, maka beliau memberikan penjelasan mengenai hakekat makna kandungan ayat. Ternyata keterangan dan uraian beliau dapat diterima dengan baik oleh para ulama tersebut, bahkan mereka merasa kagum. Akhirnya mereka menginginkan adanya sebuah kitab tafsîr yang berisi penafsiran-penafsiran seperti itu, dan dengan bulat mereka mengusulkan supaya al-Zamakhsyarîy mengungkapkan hakekat kandungan Al-Qur’an dan semua kisah yang terdapat di dalamnya, termasuk segi-segi penakwilannya. Akan tetapi beliau keberatan untuk memenuhi permintaan mereka dengan mengatakan :
أن املي عليهم الكشف عن حقائق التنزيل وعيون الأقاويل في وجوه التنزيل,
tetapi mereka tetap merasa perlu dan sangat menginginkan adanya kitab tafsir itu.
Informasi lain yang penulis temukan bahwa latar belakang penulisan kitab tafsir al-Kasysyâf adalah bahwa usulan dan permintaan untuk menghimpun apa yang diketahuinya tentang hakikat-hakikat ayat yang diturunkan (حقائق التنزيل) dalam Al-Qur’an datang dari kalangan ilmuwan dari perguruan tinggi tempat ia mengajar ilmu bahasa Arab dan ushuluddin (teologi). Permintaan tersebut tidak segera dipenuhinya, akan tetapi permintaan itu terus mengalir dari berbagai pihak, sampai pihak pemerintah ikut pula merasa perlu bercampur tangan untuk mendukung permintaan dari berbagai pihak itu.
Sebenarnya al-Zamakhsyarîy sadar akan kewajibannya untuk memenuhi keinginan mereka, tetapi beliau tetap keberatan. Namun setelah mengingat kondisi masyarakat yang begitu rusak ketika itu, bahkan para tokohnya pun nampak begitu merosot kepada minat dan semangatnya dalam mempelajari ilmu tafsir, apalagi untuk tertarik pada pengetahuan yang lebih tinggi, seperti ilmu bayân dan ilmu ma’âni, maka al-Zamakhsyarîy pun bersedia menuruti keinginan mereka.
Sebuah informasi lain menyebutkan bahwa latar belakang penulisan kitab tafsîr al-Kasysyâf yaitu berawal ketika ia datang ke Mekah al-Mukarramah, lalu seorang Amir yang mulia, yaitu Abû al-Hasan Ali ibn Hamzah, meminta kepadanya agar ia mengarang sebuah kitab tafsîr. Kemudian ia mengabulkan permintaan itu dan mulailah ia menulis. Kitab tafsîr al-Kasysyâf tersebut berhasil diselesaikan dalam waktu yang sangat singkat ( tiga tahun ), padahal menurutnya ia perlu waktu lebih dari tiga puluh tahun untuk menyelesaikannya. Rupanya Allah membukakan hatinya melalui barakah karena dekatnya beliau dengan Bait Allâh, Masjid al-Harâm.
Pada awalnya al-Zamakhsyarîy hanya menerangkan huruf-huruf yang ada pada pembukaan surah-surah Al-Qur’an (terutama huruf-huruf muqâththa’ah), dan sebagian dari makna surah al-Baqarah. Sekalipun demikian, keterangan beliau cukup luas.
2. Sumber-sumber Penafsiran
Al-Zamakhsyarîy menafsirkan Al-Qur’an dengan mempergunakan ra’yu. Semua ayat yang dapat menimbulkan pengertian bahwa Allah itu serupa dengan makhluk, ditakwilkannya.. Dalam menafsirkan Al-Qur’an beliau berpegang pada segi-segi balâghah untuk menjelaskan antara hakekat dengan majâz. Dalam menerangkan makna-makna Al-Qur’an beliau berpegang pada segi bahasa dan sangat memperhatikan ilmu Bayân dan hampir dapat dikatakan bahwa al-Zamakhsyarîy dalam menafsirkan Al-Qur’an tidak mempergunakan cerita-cerita Israiliyat dan dongeng-dongeng.
Manna’ Khalîl al-Qattân memberikan komentar tentang tafsîr al-Kasysyâf. Menurutnya tafsîr al-Kasysyâf adalah sebuah kitab tafsîr yang paling masyhur di antara sekian banyak tafsîr yang disusun oleh mufassir bi al-ra’y yang mahir dalam bidang bahasa. Atau menurut Harun Nasution, suatu pemahaman ayat tidak lagi berdasarkan pada arti lafdzi, tetapi dengan melampaui arti lafdzi untuk arti majazi dan arti metaforis, yang dibaca bukan yang tersurâh tetapi apa yang tersirat dan sangat dipengaruhi oleh perkembangan ilmu kalam.
Pernah diceritakan bahwa ketika menulis tafsîrnya, dia memulai dengan kata-kata; segala puji bagi Allah yang telah menciptakan Al-Qur’an ( khalaq Al-Qur’an ). Tetapi dia dinasihati oleh seseorang temannya agar membuang kata-kata tersebut, karena orang akan meninggalkan kitabnya dan tidak mau membacanya. Kemudian beliau pun merubahnya dengan kata-kata ; segala puji bagi Allah yang telah menjadikan Al-Qur’an ( Ja’ala Al-Qur’an ). Padahal menurut beliau baik term khalaqa maupun Ja’ala adalah merupakan kata sinonim. Al-Âlûsî, Abû Sa’ûd, al-Nasafî dan para mufassir lain banyak menukilkan dari kitab tafsîr al-Kasysyâf.
3. Referensi Penafsiran
Secara garis besar, referensi yang digunakan al-Kasysyâf, sebagaimana dijelaskan oleh Mustafa al-Sâwî al-Juwaenî, terbagi kepada enam macam refrensi ;
a. Referensi Tafsîr ; Mujâhid (W.104 H.), ‘Amr bin ‘Ubâd al-Mu’tazili (W.144 H.), Abû Bakr al-‘Asam al-Mu’tazili (W.235 H.), al-Zujâj (W.311 H.), al-Rumânî (W.384 H.), ‘Alawiyyin, yaitu tafsîr yang banyak diriwayatkan dari ‘Ali bin Abî Talib dan Ja’far al-Sadiq dan tafsîr-tafsîr lain yang bertentangan dengan pemikiran Mu’tazilah, seperti tafsîr-tafsîr Jabbariyah, Khawârij, Râfidah dan al-Mutasawwifah.
b. Refrensi Hadits ; beliau tidak menyebutkan sumber-sumber refrensi hadits kecuali hadits yang berasal dari Sahih Bukhâri Muslim.
c. Refrensi Qiraat ; Mushaf Abdullah bin Mas’ud, Mushaf al-Harits bin Suweid shahib ‘Abdullah, Mushaf Ubay dan Mushaf ahli Hijaj dan Syam.
d. Refrensi Bahasa Arab ; kitâb Sîbawaih, Islâh al-Mantiq li ibn al-Sakittî (W.244 H.), al-Kâmil al-Mubarrad (W. 285 H.), al-Mutammim fî al-Khat wa al-Hijâi li Abdullah bin Daristaweih (W. 347 H.) dan al-Hujjah al-Fârisî (W.377 H.)
e. Refrensi Sastra ; al-Hayawan al-Jâhiz, Hamasah Abi Tamâm dan Nawabighul Kalim
f. Refrensi Nasihat dan cerita ; Syarah bin Hausyab, Rabî’ah bin al-Bisriyah, Tawûs bin Abû Malik bin Abû Dînâr dan sebagian kitab-kitab sejarah lainnya.
4. Metode Penafsiran
Dari beberapa uraian di atas, dapat dipahami bahwa metode yang dipergunakan oleh al-Zamakhsyarîy dalam menafsirkan Al-Qur’an adalah termasuk metode tahlîlîy . Dalam menafsirkan suatu ayat, al-Zamakhsyarîy mengikuti runtutan ayat seperti yang tersusun dalam mushaf dan selanjutnya menerangkan rahasia-rahasia balâghah dan berpegang kepada ra’yu atau ijtihadnya.

5. Corak Penafsiran
Adapun corak penafsiran al-Zamakhsyarîy adalah bercorak kebahasaan dan teologis. Kedua corak ini sangat mendominasi penafsiran-penafsiran al-Zamakhsyarîy dalam kitab tafsîr al-Kasysyâfnya. Kecenderungan al-Zamakhsyarîy ini dilatarbelakangi oleh kelebihan dan keseriusannya dalam menggali ilmu-ilmu bahasa Arab dan aqidah Mu’tazilah yang diperpeganginya. Oleh karenanya, dalam menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an, al-Zamakhsyarîy terlebih dahulu menjelaskan kedudukan lafal dalam ayat kemudian berupaya mengungkap makna-maknanya dan semua ayat yang menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya dita’wilkan, agar manusia terhindar dari kemusyrikan.
Dilihat dari sudut keilmuan dan karyanya, al-Zamakhsyarîy adalah seorang imam dalam bidang ilmu bahasa, ma’ânîdan bayân. Karena itu bagi orang-orang yang membaca kitab-kitab ilmu nahwu dan balâghah tentu sering menemukan keterangan-keterangan yang dikutip dari kitab al-Zamakhsyarîy sebagai hujjah. Beliau juga adalah orang yang mempunyai pendapat dan hujjah sendiri dalam banyak masalah bahasa Arab. Beliau bukan tipe orang yang senang mengikuti langkah orang lain yang hanya menghimpun dan mengutip saja, tetapi ia mempunyai pendapat yang orisinil yang jejaknya ditiru dan diikuti orang lain. Imam al-Zamakhsyarîy mempunyai banyak karya dalam bidang hadîts, tafsîr, nahwu, bahasa, ma’âni dan lain-lain. Di antara karangannya ialah al-Fa’iq tentang tafsîr hadis, al-Minhaj tentang ushul dan al-mufashshal tentang bahasa.
Dari segi aqidah dan madzhab fiqih yang diperpeganginya, al-Zamakhsyarîy adalah seorang penganut Mu’tazilah dan mazhab Hanafi. Ia mena’wilkan ayat-ayat Al-Qur’an sesuai dengan mazhab dan aqidahnya dengan cara yang hanya diketahui oleh orang-orang yang ahli, dan menamakan kaum Mu’tazilah sebagai “saudara seagama dan golongan utama yang selamat dan adil”. Al-Zamakhsyarîy juga sangat keras membantah faham tasawwuf.
Dalam menafsirkan Al-Qur’an, al-Zamakhsyarîy sangat menekankan pada upaya mengungkap makna yang terkandung dalam sebuah ayat. Beliau mengatakan dalam muqaddimah kitabnya bahwa tingkat ilmu yang dimiliki oleh para mufassir dalam menafsirkan Al-Qur’an rata-rata tidak seberapa jauh berbeda, bahkan hampir dikatakan sama. Jika terjadi perbedaan antara mufassir yang satu dengan mufassir yang lain itupun sangat kecil. Perbedaan sebenarnya hanya terletak pada kemampuan mengungkap makna ayat-ayat yang bersifat rahasia, samar dan tersembunyi di belakang kata-kata dan kalimat. Kenyataan menunjukkan bahwa makna yang tersirat hanya dapat diungkap oleh satu di antara seribu orang ulama, yaitu ulama yang telah mempunyai tingkat imu pengetahuan yang tinggi.
Betapapun hebatnya seseorang dalam ilmu bahasa sehingga mampu menguasai bahasa Arab di luar kepala, tak seorang pun yang sanggup menembus rahasia dan menyelami hakekat makna Al-Qur’an kecuali setelah benar-benar menguasai dua jenis ilmu yang khusus berkenaan dengan Al-Qur’an, yaitu ilmu Ma’âni dan ilmu Bayân. Selain itu, seorang mufassir harus berwatak jujur, lapang dada, bertekad keras, sadar, berpandangan tajam terhadap setiap persoalan bagaimanapun kecilnya, bersifat hati-hati menghadapi isyarat yang terbersit dari Al-Qur’an sekalipun tidak demikian jelas kelihatan, berpengetahuan luas mengenai puisi dan prosa, memiliki pengalaman dalam berbagai eksperimen serta mengetahui benar cara mengatur dan menyusun kalimat untuk menghindari kesempitan makna atau kemungkinan khilaf.
6. Sistematika Penulisan
Menurut Ahmad Muhammad al-Hufî, sebelum al-Zamakhsyarîy menulis tafsîrnya, beliau banyak membaca tafsîr-tafsîr Mu’tazilah sebelumnya, seperti Al-Qadhi Abdul Jabbar dan Mujahid.
Uraiannya dimulai dengan menjelaskan arti kosa kata diikuti dengan penjelasan arti global ayat. Beliau juga terkadang menjelaskan munasabah (keterkaitan) antar ayat dan terkadang pula mengemukakan syair yang berhubungan dengan ayat yang ditafsîrkannya.
Langka-langkah yang digunakan ketika menafsirkan ;
1. Menyebutkan nama surâh beserta kedudukannya, baik sebagai makkiyah maupun madaniyah, menjelaskan makna surâh dan nama lain dari surâh itu, jika ada riwayat yang menyebutkannya. kemudian menyebutkan keutamaan surâh, memasukan Qirâ’at, nahwu, sharaf dan ilmu-ilmu bahasa arab lainnya.
2. Kemudian menjelaskan dan menafsirkan ayat-ayat dengan mengutif pendapat orang sebelumnya, memberi argumentasi dan membantah pendapat orang yang berlawanan dengannya. Kadang-kadang memberikan ayat-ayat pendek yang sejenis maknanya untuk mendukung argumentasinya.
3. Jika berkaitan dengan ilmu kalam, beliau membela dan mendukung aliran Mu’tazilah dengan argumen yang dia kuasai. Adapun yang berkaitan dengan aya-ayat hukum, khususnya fiqih, beliau memaparkan banyak pendapat para ahli fiqih tanpa ada panatik pada madzhab Hanafi.
4. Menjelaskan lafadz dari sudut kebahasaan, sesuai dengan keahliannya
5. Menjelaskan ayat Muhkamat dan Mutasyabihat, beliau berpendapat, Muhkamat adalah ungkapannya pasti, terjaga dari kemungkinan dan kerancuan arti. Sedangkan Mutsyabihat adalah ayat-ayat yang mengandung arti relatif. Ayat-ayat muhkamat itu merupakan ummul kitab, dimana ayat-ayat mustasyabihat harus mengacu dan dikembalikan kepada Allah Swt.
6. Membahas i’rab dan mengambil Qirâ’at yang dianggap mendukung argumennya. Seperti yang dinukil oleh Muhammad Husen al-Dzahabi, bahwa al-Zamakhsyarîy dalam menjelaskan kalimat حتى يطهرن dalam surâh Al-Baqarah/ 3:222, mengambil Qirâ’at Abdullah bin Mas’ud yang membaca يتطهرن dalam arti mandi besar. Sedangkan jika dibaca yathurna tanpa tasydid, maka artinya putusnya darah haid. Menurut Imam Abû Hanifah, suami boleh menggauli istrinya setelah putus darah haidnya, walaupun belum mandi. Suami tidak boleh menggauli istrinya, sebelum putus darah haidnya, walaupun masa haidnya lama. Sedangkan menurut Imam Syâfi’i, suami tidak boleh menggauli istri yang putus darah haidnya, sebelum istrinya mandi terlebih dahulu. Karena al-Zamakhsyarîy mengambil bacaan Abdullah bin Mas’ud ( dengan tasydid ) yang berarti mandi, maka secara tidak langsung dia sependapat dengan Imam Syafi’i.
7. Karakteristik
Hasbi ash-Shiddieqy menjelaskan, Tafsîr al-Kasysyâf dinilai sebagai tafsîr yang paling baik dalam menafsirkan Al-Qur’an dengan ijtihad, termasuk golongan Mu’tazilah dan Ahlus Sunnah. Namun golongan Ahlus Sunnah memberikan kritik terhadap pendirian al-Zamakhsyarîy dalam bidang i’tikad karena berbau i’tizal. Hal ini nampak jelas ketika terjadi perbedaan antara Ahlus Sunnah dan Mu’tazilah, maka beliau mengikuti ajaran Mu’tazilah.
Hampir dikatakan, al-Zamakhsyarîy dalam menafsirkan, tidak menggunakan cerita-cerita Isrâiliyât Kalaupun mnggunakan, ia menyertainya baik dengan ungkapan روى dan penjelasan ke-da’if-an riwayat dan jauh dari ke-sahih-annya, atau dengan meyerahkan urusannya kepada Allah Swt.