Jumat, 06 Januari 2012

PENDAHULUAN


A. Latar Belakang Masalah
Al-Qur’ân adalah merupakan bukti kebenaran Nabi Muhammad Saw., menjadi petunjuk untuk umat manusia, kapan dan dimanapun. Al-Qur’ân memiliki berbagai keistimewaan, antara lain susunan bahasanya yang unik, mempesona dan mengandung makna yang dapat difahami oleh siapapun yang dapat memahami bahasanya, walaupun tingkat pemahaman mereka akan berbeda-beda dikarenakan berbagai faktor. Sebab redaksi ayat-ayat Al-Qur’ân itu tidak dapat dijangkau maksudnya secara pasti kecuali oleh Sang Pemilik redaksi tersebut, yaitu Allah Swt.
Al-Qur’ân diturunkan kepada umat manusia sebagai pedoman, oleh karenanya manusia senantiasa dituntut untuk memahami Al-Qur’ân. Al-Qur’ân adalah sumber ajaran Islam, menempati posisi sentral, bukan saja dalam perkembangan dan pengembangan ilmu-ilmu keislaman, tetapi juga merupakan inspirator, pemandu dan pemadu gerakan-gerakan umat Islam sepanjang perjalanan umat Islam. Demikian pentingnya pemahaman terhadap kandungan Al-Qur’an, sehingga upaya untuk mengungkap dan menyingkap makna-makna yang terkandung di dalamnyapun demikian pentingnya.
Keberadaan Al-Qur’ân sebagai pedoman sekaligus petunjuk ini, akan lebih terasa apabila manusia mampu mengungkap mutiara-mutiara hikmah yang terkandung dalam Al-Qur’an. Mutiara-mutiara hikmah tersebut hanya dapat digapai apabila manusia berusaha untuk menggali dan mengkaji Al-Qur’an, yang kemudian berupaya mengaplikasikannya dalam kehidupan sehari-hari. Di sinilah letak pentingnya upaya penafsiran ayat-ayat Al-Qur’an. Kebutuhan akan penafsiran Al-Qur’ân menjadi lebih penting lagi apabila disadari bahwa manfaat petunjuk-petunjuk Ilahi itu tidak hanya terbatas di akhirat kelak, tetapi petunjuk-petunjuk itu menjamin kebahagiaan manusia di dunia.
Tafsîr Al-Qur’ân dalam sejarah pertumbuhan dan perkembangannya telah mengalami dinamika yang cukup bervariasi. Hal ini sangat dimungkinkan karena tafsîr merupakan hasil karya manusia, sehingga terjadinya keanekaragaman dalam corak penafsiran adalah hal yang tidak terhindarkan. Dari berbagai corak tafsîr tersebut melahirkan metodologi tafsîr , dan dengan metodologi tafsîr itulah menuntun umat Islam dalam memahami Al-Qur’ân secara akurat. Bahkan untuk lebih menunjang upaya penafsiran tersebut dibutuhkan pula tehnik interpretasi sebagaimana yang dikemukakan oleh Abdul Muin Salim.
Sehubungan dengan hal tersebut, dalam upaya memahami Al-Qur’ân secara utuh dan komperhensif, maka para pengkaji Al-Qur’ân haruslah mengenal empat komponen yakni; pengetahuan terhadap Al-Qur’an, pengetahuan tentang kaidah-kaidah tafsîr , pengetahuan tentang metode-metode tafsîr dan pengetahuan tentang kitab-kitab tafsîr dan mufassirnya. Dari hal ini penulis memahami bahwa kajian secara utuh dan komperhensif terhadap kandungan pokok Al-Qur’ân adalah sangat urgen, baik kajian terhadap kitab tafsîr klasik maupun kitab tafsîr modern.
Isi kandungan Al-Qur’ân sedemikian kompleksnya membahas seluruh aspek kehidupan umat manusia. Salah satu konsep yang tertuang dalam Al-Qur’ân yang menjadi pokok bahasan penulis adalah mengenai kepemimpinan kaum wanita dengan merujuk kepada salah satu tafsîr yang bercorak kebahasaan yaitu tafsîr al-Kasysyâf dengan tokohnya Al-Zamakhsyarîy .
Pada dasarnya, naluri untuk memimpin senantiasa dimiliki oleh setiap manusia. Hal ini tidak terlepas dari fungsi kemanusiaan sebagai penghuni bumi, atau sangat sesuai dengan tujuan penciptaan manusia itu sendiri. Dalam hal ini Allah berfirman dalam Surâh Al-Baqarah/ 2 : 30 sebagai berikut :

“Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: "Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi".

Hal serupa juga dikemukakan dalam sebuah hadis, yang berbunyi :
كـلـكـم راع ومسئـول عن راعـيتـه.
“Setiap kalian adalah pemimpin, dan setiap pemimpin akan ditanyai tentang kepemimpinannya”.

Ayat dan hadis tersebut menunjukkan bahwa setiap individu adalah pemimpin dalam tugasnya masing-masing dan bertanggungjawab atas apa yang dikerjakannya.
Seorang pemimpin adalah orang yang dituntut mampu menjalankan fungsi kepemimpinannya sejak merencanakan, menggerakkan, mengadakan evaluasi dan penyempurnaan. Karenanya, seorang pemimpin membutuhkan kesiapan fisik, psikis dan kemampuan (skill) sesuai dengan ruang lingkup atau karakter di mana seseorang itu berkiprah.
Dalam syari’at Islam, persoalan memimpin ini merupakan persoalan yang tidak mudah. Sebab, ia memerlukan tanggung jawab yang tidak ringan, bahkan lebih jauh, harus dipertanggungjawabkan di hadapan Allah. Tanggung jawab kepemimpinan bukan hanya sekedar mempertanggungjawabkan terpenuhinya kebutuhan lahiriyah, seperti ketenteraman, kesejahteraan dan kepuasan duniawi lainnya, tetapi masih terdapat tanggung jawab yang sifatnya lebih mendasar; yakni tanggung jawab ruhaniah, baik yang dilakukan oleh diri pemimpin dalam melaksanakan proses kepemimpinannya, atau yang dilakukan oleh anggota keluarga/masyarakat yang berada di bawah kepemimpinannya.
Mengenai konsep kepemimpinan wanita dalam Al-Qur’ân telah banyak diungkap oleh para pengkaji. Namun dalam hal ini, penulis fokuskan mengenai kepemimpinan wanita dalam beberapa aspek dengan merujuk kepada pendapat Al-Zamakhsyarîy. Penulis akan membahas beberapa aspek kepemimpinan wanita dengan mengkaji penafsiran al-Zamakhsyarîy mengenai beberapa ayat yang dijadikan dasar oleh para ulama dalam masalah kepemimpinan wanita. Misalnya ayat yang sering dijadikan dasar dalam hal kepemimpinan wanita adalah. Surâh al-Nisâ/ 4 : 34 sebagai berikut ; :



“Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita),”

dan Surâh al-Ahzâb/ 33 : 33, sebagai berikut ;



“ dan hendaklah kamu tetap di rumahmu dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang Jahiliyah yang dahulu”

Surâh Al-Nisâ ayat 34 di atas inilah yang banyak ditafsîr kan oleh ulama secara tekstual sehingga menempatkan kaum wanita pada posisi yang lebih rendah dari laki-laki. Padahal, menurut Nasharuddin Umar, bahwa ayat tersebut menerangkan kepemimpinan laki-laki dalam keluarga secara umum, sebagai penanggung jawab dalam rumah tangga. Secara kontekstual tersirat pula makna yang lebih luas bahwa wanita adalah pemimpin dalam rumah tangganya, karena dialah yang diserahi tugas mengatur tugas-tugas anggota keluarga, walaupun tanggung jawab tertinggi terletak di tangan sang suami selaku kepala rumah tangga. Dengan demikian, ayat tersebut tidak bisa dijadikan dasar tidak dibolehkannya wanita menjadi pemimpin.
Sedang dari ayat 33 surâh al-Ahzâb di atas tersirat makna bahwa peranan wanita yang paling utama adalah dalam rumah tangga, walaupun tersirat pula makna bahwa wanita dapat saja berperan di luar rumah. Dalam hal ini pula dapat dibedakan atas kepemimpinan wanita sebagai pemimpin rumah tangga di saat suami di luar rumah, sebagai pemimpin perusahaan, sebagai hakim ( Qadli ), sebagai Dewan Perwakilan Rakyat ( DPR ) dan sebagai pemimpin pemerintahan. Hal inilah yang akan penulis ungkap dari penafsiran-penafsiran Al-Zamakhsyarîy. Jadi, penulisan ini lebih difokuskan pada kajian konsep Al-Zamakhsyarîy mengenai kepemimpinan wanita dalam semua aspek tersebut.
Gambaran mengenai konsep kepemimpinan wanita dalam tafsîr Al-Zamakhsyarîy, menghendaki kajian yang sangat teliti dan akurat, untuk mencari dan menemukan sebuah konsep yang jelas mengenai kepemimpinan wanita.
B. Identifikasi dan Perumusan Masalah
Kondisi-kondisi obyektif yang dapat dijadikan identifikasi permasalahan antara lain : Wanita sering ditempatkan pada posisi yang lebih rendah dari laki-laki, wanita dianggap tidak mampu memikul amanah dan tanggung jawab yang diberikan kepadanya, wanita dianggap manusia yang lemah dan beberapa anggapan dan prakiraan yang sangat menyudutkan kaum wanita. Kondisi obyektif yang agak mudah diterima, sebagaimana diungkap oleh Komaruddin Hidayat, bahwa ada tiga fenomena dan perbedaan yang cukup menonjol seputar hubungan dan pembagian kerja antara laki-laki dan wanita dalam kehidupan sosial, yaitu pola hubungan antara laki-laki dan wanita yang berkembang dalam masyarakat padang pasir yang nomad dimana laki-laki lebih dominan daripada wanita, dalam masyarakat agraris dengan wilayah subur yang memberikan peran wanita lebih mandiri, dan pola hubungan yang terbentuk dalam masyarakat industri maju yang telah menempatkan tekhnologi canggih, semisal komputer, internet, sebagai bagian dari tekhnologi harian yang lebih menghargai skill daripada jenis kelamin. Dari fenomena kedua dan ketiga inilah yang memperlihatkan sikap lebih menghargai kaum wanita sebagai pasangan hidup dan memberikan kesempatan kepada kaum wanita untuk menjalankan fungsi dan tugasnya sebagai pemimpin, mitra sejajar laki-laki dalam menjalani hidup dan kehidupan di muka bumi..
Berdasarkan identifikasi permasalahan di atas, maka permasalahan pokok yang menjadi kajian utama adalah bagaimana konsep al-Zamakhsyarîy mengenai kepemimpinan wanita?, dengan sub masalah sebagai berikut :
1. Wanita sebagai pemimpin rumah tangga di kala suami diluar
2. Wanita sebagai pemimpin perusahaan
3. Wanita sebagai Hakim ( Qadli )
4. Wanita sebagai dewan perwakilan rakyat
5. Wanita sebagai pemimpin pemerintahan
C. Definisi Operasioanal dan Ruang Lingkup Pembahasan
Adapun judul penelitian ini adalah “Kepemimpinan Wanita Dalam Persfektif Al-Qur’ân ; tafsîr tematik; telaah terhadap pemikiran Al-Zamakhsyarîy dalam al-Kasysyaf”. Untuk memudahkan dalam menyimaknya penulis paparkan empat istilah sebagai pegangan dalam kajian selanjutnya, yakni :
Kepemimpinan berasal dari kata dasar pimpin yang berarti keadaan memimpin. Kata pimpin mendapat awalan me- menjadi memimpin yang berarti 1) Memegang tangan seseorang sambil berjalan (untuk menuntun, menunjukkan jalan dan sebagainya), 2) Mengetuai atau mengepalai, 3) Memandu, 4) Memenangkan paling banyak dan 5) Melatih (mendidik, mengajar) , kemudian mendapat awalan pe- menjadi pemimpin yang berarti orang yang memimpin, orang yang ditunjuk untuk memimpin atau buku petunjuk dan selanjutnya mendapat awalan dan akhiran ke-an menjadi kepemimpinan (leadership) yang berarti perihal memimpin, kegiatan memimpin. Jadi, kepemimpinan yang dimaksud dalam tesis ini adalah perihal atau keadaan wanita dalam memimpin atau memegang suatu jabatan, baik formal maupun non formal.
Kemudian kata wanita. Wanita adalah perempuan dewasa. Wanita adalah makhluk Tuhan yang menjadi pasangan laki-laki. Konsep mengenai wanita dalam ayat-ayat Al-Qur’ân yang akan dikaji dalam tesis ini adalah dengan menggunakan term-term المرأة, النساء, الأنثي dan الأم .
Tafsîr secara etimologis berarti التبيين (menjelaskan) dan الأيضاح (mengungkapkan). Sedang menurut istilah ialah ilmu yang membahas tentang cara mengucapkan lafadz-lafadz Al-Qur’an, makna-makna yang ditunjukkannya dan hukum-hukumnya, baik ketika berdiri sendiri atau tersusun, serta makna-makna yang dimungkinkannya ketika dalam keadaan tersusun.
Quraish Shihab mendefenisikannya sebagai upaya pemahaman maksud firman Allah sesuai dengan kemampuan manusia. Sedang Abdul Muin Salim merumuskan empat konsep yang termuat dalam kata tafsîr , yakni : Pertama, Kegiatan ilmiah untuk memahami Al-Qur’an, Kedua, Kegiatan ilmiah untuk menjelaskan kandungan Al-Qur’an, Ketiga, Pengetahuan-pengetahuan yang diperlukan untuk memahami Al-Qur’an, dan Keempat, Pengetahuan yang diperoleh melalui kegiatan memahami Al-Qur’an. Dari keempat konsep tersebut, Abdul Muin Salim mendefenisikan tafsîr sebagai upaya pengkajian atau penelitian terhadap kandungan Al-Qur’an.
Adapun yang penulis maksudkan dengan kata “tafsîr ” dalam tesis ini adalah sebuah kitab hasil dari upaya pengkajian terhadap kandungan Al-Qur’ân yang dikarang oleh al-Zamakhsyarîy .
Al-Zamakhsyarîy adalah seorang ulama tafsîr yang menulis tafsîr al-kasysyâf, nama lengkapnya Abul Qasim Mahmud bin Umar al-Khawarizmi Al-Zamakhsyari, beliau adalah orang Persia yang dilahirkan 27 Rajab 467 H/8 Maret 1075 M di Zamakhsyar dan meninggal dunia pada tahun 538 H di Khawarizm setelah kembali dari Mekkah. Beliau mendapat gelar jarullah, karena telah lama menetap di Mekkah, yang pada akhirnya menulis tafsîr al-Kasysyâf ‘an Haqaiqi Gawamidi Tanzil wa ‘Uyunil Aqawil fi Wujuhit Ta’wil.
Jadi yang dimaksud dengan tafsîr al-Zamakhsyarîy adalah sebuah kitab tafsîr karangan al-Zamakhsyarîy yang lebih dikenal dengan tafsîr al-kasysyâf.
Berdasarkan kepada pengertian - pengertian tersebut di atas, maka yang dimaksudkan dengan kepemimpinan wanita dalam tafsîr Al-Zamakhsyarîy adalah konsep kepemimpinan wanita, baik kepemimpinan wanita sebagai pemimpin rumah tangga di saat suami di luar rumah, sebagai pemimpin perusahaan, sebagai hakim ( Qadli ), sebagai Dewan Perwakilan Rakyat ( DPR ) dan sebagai pemimpin pemerintahan, yang dikaji dari penafsiran Al-Zamakhsyarîy dalam tafsîr al-kasysyâf. Tulisan ini dibatasi pada kajian terhadap ayat-ayat Al-Qur’ân yang oleh sebagian besar ulama dijadikan rujukan kepemimpinan wanita dalam semua aspek.
D. Kajian Pustaka
Pembahasan mengenai wanita, telah banyak diungkap oleh para cendekiawan dan fuqaha yang membahasnya dari sudut pandang yang berbeda sesuai dengan disiplin ilmu masing-masing. Demikian pula mengenai kepemimpinan wanita dalam segala aspek. Namun, mengenai konsep kepemimpinan wanita menurut seorang ulama tafsîr beraliran Mu’tazilah ini, penulis belum mendapatkan satu literaturpun yang membahasnya. Dengan demikian, penelitian mengenai konsep al-Zamakhsyarîy tentang kepemimpinan wanita dalam Al-Qur’an, belum ada yang membahasnya. Oleh karenanya, penulis merasa tertantang untuk mengadakan kajian komperhensip mengenai hal tersebut, walau penulis sadar akan keterbatasan data dan kemampuan dari penulis sendiri, oleh karena penelitian ini semata-mata sebagai kajian kitab terhadap penafsiran al-Zamakhsyarîy .
Dalam hal ini, beberapa literatur yang penulis temukan antara lain :
1. Said Agil al-Munawwar, Membongkar Penafsiran terhadap surah an-Nisâ’ ayat 1 dan 34, dalam Syafiq Hasyim mengemukakan bahwa persoalan kepemimpinan wanita masih berada dalam wilayah yang diperselisihkan. Tidak satupun dalil agama yang menyatakan bahwa wanita tidak boleh menjadi pemimpin negara. Dengan demikian, wanita boleh saja menjadi seorang pemimpin (keluarga dan negara).
2. Prof. Dr. H. M. Quraish Shihab dalam bukunya Wawasan Al-Qur’ân mengemukakan bahwa wanita boleh saja aktif dalam berbagai kegiatan, atau bekerja dalam berbagai bidang di dalam maupun di luar rumahnya secara mandiri, bersama orang lain, atau dengan lembaga pemerintah maupun swasta, selama pekerjaan tersebut dilakukan dalam suasana terhormat, sopan serta mereka dapat memelihara agamanya, dan dapat pula menghindarkan dampak-dampak negatif pekerjaan tersebut terhadap diri dan lingkungannya. Beliau menyimpulkan bahwa menyangkut pekerjaan, wanita mempunyai hak selama ia membutuhkannya, atau pekerjaan itu membutuhkannya dan selama norma-norma agama dan susila tetap terpelihara.
3. Ahmad Thib Raya dalam “ Kaidah-kaidah Al-Bayan dan funsinya dalam Tafsîr al-kasysyâf ”. dijelaskan bagimana pandangan al-Zamakhsyari tentang Al-Bayan dan fungsinya. Satu Fan ilmu kebahasaan ( bahasa arab ) yang dijabarkan melalui penafsiran –penafsiran Al-Zamakhsyarîy dalam al-kasysyâf-nya. Jelas sekali di sini tidak dibahas tentang kepemimpinan wanita.
4. H. Yunahar Ilyas dalam tesisnya yang berjudul Feminisme Dalam Kajian Tafsîr Al-Qur’ân : Klasik dan Kontemporer mengangkat dan mengupas pemikiran para mufassir -seperti al-Zamakhsyarîy, al-Alusi dan Sa’id Hawwa- dan feminis muslim, seperti Ashgar Ali Engineer, Riffat Hassan dan Amina Wadud Muhsin. Dalam tesisnya ini beliau mengungkap tiga hal yang menjadi pokok kajiannya, yaitu mengenai konsep penciptaan perempuan, konsep kepemimpinan rumah tangga dan konsep kesaksian dan kewarisan perempuan. Ketiga hal tersebut ditelaah dan dianalisisnya serta membandingkan perbedaan pendapat para mufassir dengan feminis muslim.
5. Nasharuddin Umar dalam buku Argumen Kesetaraan Jender: Perspektif Al-Qur’ân mengatakan : …“Al-Qur’ân mengakui adanya perbedaan (distinction) antara laki-laki dan perempuan, tetapi perbedaan tersebut bukanlah pembedaan (discrimination) yang menguntungkan satu pihak dan merugikan pihak lainnya. Perbedaan tersebut dimaksudkan untuk mendukung misi pokok Al-Qur’an, yaitu terciptanya hubungan harmonis yang didasari rasa kasih sayang (mawaddah wa rahmah) di lingkungan keluarga, sebagai cikal bakal terwujudnya komunitas ideal dalam suatu negeri yang damai penuh ampunan Tuhan (baldatun thayyibah wa rabbun ghafûr). Hal ini semua dapat terwujud apabila terdapat pola keserasian dan keseimbangan.
6. Zubair dalam “ Pemikiran Zamakhsyari dalam hukum islam ” . dalam tesis ini, dijelaskan tentang sikap Imam al-Zamakhsyarîy terhadap hukum-hukum Islam melalui penafsirannya terhadap ayat-ayat ahkam dalam tafsîr al-kasysyâf. Hukum-hukum yang dijelaskan adalah bagaimana pendapat al-zmakhsyari tentang masalah hukum bangkai, darah dan daging babi. Kemudian bagaimana hukum mut’ah atau pemberian bagi wanita yang ditalak, hukum menyusui anak, hukum mencampuri istri yang sedang haid dan dijelaskan juga pemikiran al-Zamakhsyari tentang haji dan umrah.
7. Asep Muhyidin dalam Pandangan ”Al-Zamakhsyari tentang Firman Tuhan ” dia menelaah penafsiran-penafsiran al-Zamakhsyari tentang ayat-ayat di sekitar persoalan kalamullah. Bagaimana pembentukan serangkaian peralihan kalamullah, formulasi kalamullah sebagai Al-Qur’ân dan juga dibahas tentang polemik antar mutakallimin sekitar kalamullah.
8. Muhammad Matsna dalam “ Orientasi Semantik Al-Zamakhsyari dalam menafsirkan ayat-ayat kalam ” Yang dilakukannya adalah pengkajian pemikiran al-Zamkhsyarîy dalam menafsirkan ayat-ayat yang berhubungan dengan masalah-masalah kalamiyah melalui kajian kebahasaan ( semantik ) hasil pemikiran al-Zamkhsyarîy
9. Imran Muhammad dalam “ Polemik Kepemimpinan Wanita”. Sebuah telaah terhadap peran Abdurrauf Singkel pada masa pemerintahan Ratu di Kerajaan Aceh Darussalam. Penulis menyingkap sebuah pemikiran Abdurrauf Singkel tentang kepemimpinan wanita secara umum, dan kemudian merekonstruksi terhadap sekelumit perjalanan sejarah kerajaan Aceh Darussalam.
Dari beberapa literatur yang dikemukakan, tak satupun literatur yang secara khusus membahas kepemimpinan wanita menurut al-Zamkhsyarîy. Dalam bentuk tesis, H. Yunahar Ilyas memang telah melakukan pengkajian terhadap pemikiran al-Zamakhsyarîy , tetapi pembahasannya tidak langsung menunjuk kepada tema pokok yang penulis angkat, karena Yunahar Ilyas lebih cenderung kepada studi perbandingan antara pendapat mufassir dan feminis muslim. Begitu juga yang lainnya, meskipun dalam satu pemikiran, yaitu pemikiran al-Zamakhsyarîy , akan tetapi obyek pembahasaanya sangat berbeda. Dengan demikian, penelitian terhadap hasil pemikiran al-Zamakhsyarîy ini belum ada yang membahasnya. Oleh karenanya, penulis merasa tertantang untuk mengadakan kajian komperhensip mengenai hal tersebut, walau penulis sadar akan keterbatasan data dan kemampuan dari penulis sendiri, oleh karena penelitian ini semata-mata sebagai kajian kitab atau kajian pemikiran terhadap penafsiran al-Zamakhsyarîy.
E. Metode Penelitian
Metode yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah metode library research murni, dalam arti semua sumber datanya berasal dari bahan-bahan tertulis. Karena penelitian ini menyangkut Al-Qur’ân secara langsung, maka sumber dan rujukan pertama dan paling utama adalah Al-Qur’ân itu sendiri, dengan menjadikan penafsiran al-Zamakhsyarîy, yang tertuang dalam kitab tafsîr nya al-kasysyâf, sebagai tolok ukur hasil penelitian.
Terlepas dari rujukan utama yakni Al-Qur’an, penulis juga menggunakan hadis sebagai penunjang dalam menafsirkan Al-Qur’ân disertai dengan beberapa kitab tafsîr yang memudahkan penulis dalam mengungkap konsep al-Zamakhsyarîy mengenai kepemimpinan wanita. Kitab-kitab tafsîr yang penulis anggap sangat representatif membantu penelitian penulis antara lain : Tafsîr Al-Qur’ân al-‘Adhim karangan Ismail ibn Katsir, Tafsîr Fathul Qadir karya imam as-Syaukaniy, Tafsîr al-Maraghi karya Ahmad Musthafa al-Maraghi, Membumikan Al-Qur’ân dan Wawasan Al-Qur’ân karya Prof. Dr. H. M. Quraish Shihab, Ensiklopedi Al-Qur’ân karangan Prof. Dr. M. Dawam Rahardjo.
Selanjutnya dalam menghasilkan penelitian yang akurat, maka penulis menggunakan beberapa metode, yaitu :
1. Metode Pendekatan
Metode pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah :
a. Pendekatan obyektif, yaitu pendekatan yang bertumpu pada kepentingan ilmiah semata
b. Pendekatan langsung, yaitu pendekatan dengan menggunakan data primer
c. Pendekatan tidak langsung, yaitu pendekatan dengan menggunakan data sekunder.
d. Pendekatan komperhensip, yaitu pendekatan yang dipergunakan dengan membahas obyek penelitian tidak dari satu atau beberapa aspek tertentu saja, tetapi secara menyeluruh.
e. Pendekatan Eksegesis (tafsîr), yaitu pendekatan dengan menggunakan disiplin ilmu tafsîr .
f. Pendekatan Yuridis (syar’iy), yaitu pendekatan dengan menggunakan disiplin ilmu syari’ah.
2. Metode Pelaksanaan Penelitian
Dalam metode pelaksanaan penelitian, penulis menggunakan studi historis (dirasat tarikhiyah), yaitu merekonstruksi atau menelusuri jejak sejarah yang hendak diteliti. Dalam hal ini, studi historis digunakan dalam melihat sejarah hidup (biografi) al-Zamakhsyarîy, latar belakang penulisan kitab tafsîr nya dan kecenderungan-kecenderungannya dalam menafsirkan Al-Qur’an, khususnya mengenai kepemimpinan wanita.
3. Metode Pengumpulan Data
Sebagaimana dikemukakan sebelumnya bahwa penelitian ini pada umumnya bersandar pada sumber data tertulis yang berkaitan dengan judul penelitian. Oleh karenanya, metode yang penulis gunakan adalah metode library research, karena penelitian ini semata dimaksudkan sebagai kajian kitab.
4. Metode Pengolahan dan Analisis Data
Dalam mengolah dan menganalisis data dalam penelitian ini, penulis menggunakan metode kualitatif, yang mencakup :
1. Metode Induktif, yaitu suatu proses berfikir yang bertolak dari suatu atau sejumlah data spesifik untuk menurunkan suatu kesimpulan dengan cara generalisasi atau analogi atau hubungan kausal.
2. Metode Deduktif, yaitu suatu proses berfikir yang bertitik tolak dari suatu preposisi yang telah ada, untuk memperoleh suatu preposisi baru sebagai kesimpulan dengan cara silogisme.
3. Metode komparatif, yaitu dengan menguraikan persamaan dan perbedaan kedua obyek/data yang diteliti dan dianalisis.
F. Tujuan dan Kegunaan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji penafsiran al-Zamakhsyarîy mengenai kepemimpinan wanita. Hal ini berarti bahwa penelitian ini tidak berupaya untuk menemukan atau mengembangkan sebuah teori melainkan semata-mata untuk menggali dan mengungkap sebuah penafsiran mengenai judul yang dimaksud.
Dari pengungkapan penafsiran seorang ulama tafsîr tentang kepemimpinan wanita tersebut diharapkan dapat memiliki arti akademis yang dapat memberikan informasi baru sekaligus memperkaya khazanah ilmu keislaman. Terkhusus kepada rekan-rekan mahasiswa yang menggeluti bidang tafsîr , penelitian ini sangat diharapkan memberi inspirasi baru dalam mengkaji dan menelaah kitab-kitab tafsîr klasik.
G. Sistematika Penulisan.
Pembahasan tesis ini berisikan lima bab, masing-masing terdiri dari sub bab :
Bab pertama merupakan bab pendahuluan yanga berisikan latar belakang masalah, identifikasi dan perumusan masalah, defenisi operasional dan pengertian judul, kajian pustaka, metode penelitian, tjuan dan kegunaan penelitian, serta garis-garis besar isi.
Bab kedua, sekilas mengenai kepemimpinan wanita dan pandangan para ulama. Bab ini meliputi pengertian kepemimpinan, baik secara bahasa maupun istilah. Kemudian mengenai pandangan para ulama klasik dan modern.
Bab ketiga, membahas sekilas tentang al-Zamakhsyarîy dan maetode tafsîr nya. Bab ini meliputi; Biografi Al-Zamakhsyarîy dari lahir tumbuh kembang dan wafat, pendidikan dan karir, dan karya-karyanya. Kemudian metode penafsirannya yang meliputi motivasi penulisan tafsîr nya, sumber penafsiran, Refrensi, Metode Penafsiran, Corak Penafsiran, Sistematika Penulisan, Karekteristik Tafsîr Al-Kasysyaf.
Bab keempat mengenai kepemimpinan wanita menurut al-Zamakhsyarîy. Dalam pembahasan inilah pokok kajian penulis, yang meliputi pembahasan mengenai Klasifikasi Kepemimpinan Wanita menurut Al-Zamakhsyarîy, yaitu wanita Sebagai Pemimpin dalam Rumah Tangga di saat suazi di luar rumah, wanita sebagai Pemimpin Perusahaan, wanita sebagai Hakim ( Qadli ), sebagai Dewan Perwakilan Rakyat dan wanita sebagai Pemimpin Pemerintahan. Kemudian dalam bab ini diakhiri dengan menganalisa terhadap Pemikiran al-Zamakhsyarîy Tentang Kepemimpinan Wanita.
Bab kelima adalah bab penutup yang memuat kesimpulan, Saran dan lampiran-lampiran.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar