Jumat, 06 Januari 2012

KESIMPULAN ; KEPEMINPINAN WANITA VERSI AL-ZAMAKHSYARI


Dari beberapa uraian yang dipaparkan pada bab-bab sebelumnya, dapat ditarik beberapa kongklusi, antara lain :
1. Al-Qur’ân dan hadis telah menempatkan kaum wanita pada posisi yang sebenarnya, posisi yang sangat mulia dan terhormat. Dengan demikian, kaum wanita dalam Islam dapat menempati posisi strategis apapun dan ikut serta dalam kegiatan-kegiatan kemasyarakatan yang dapat memberi manfaat buat diri dan lingkungannya.
2. Adapun kontroversi ulama, baik klasik maupun kontemporer, mengenai kepemimpinan seorang wanita berdasarkan kepada proses awal penciptaan kaum wanita, yang termaktub dalam surâh al-Nisâ’/4:1.
3. Sebagian ulama sepakat bahwa penciptaan Hawa, sebagai wanita pertama, berasal dari tulang rusuk Adam, yang berarti bahwa wanita berasal dari diri Adam. Sementara sebagian yang lain berpendapat bahwa Hawa diciptakan oleh Allah dari tanah sebagaimana penciptaan Adam.
4. Konsekuensi dari penafsiran “wanita berasal dari tulang rusuk Adam” adalah bahwa kaum wanita diciptakan untuk mengabdi kepada pria. Hal ini berarti bahwa kaum wanita harus tinggal di dalam rumah, menjalankan segala fungsi reproduksinya, karena hanya untuk itulah dia diciptakan. Statemen seperti ini sangat menyudutkan dan menempatkan wanita bukan pada proporsinya. Hal ini pulalah yang menjadi dasar tidak bolehnya seorang wanita ikut terlibat dalam kegiatan di luar rumah tangganya, seperti aktif dalam kegiatan-kegiatan kemasyarakatan.
5. Adapun bias dari penafsiran ulama “wanita diciptakan dari tanah sebagaimana Adam” adalah bahwa pria dan wanita mempunyai kedudukan yang sama. Mereka merupakan mitra sejajar dalam mengisi kehidupan. Oleh karenanya, wanita dapat terjun dan aktif dalam berbagai kegiatan, baik dalam rumah tangga maupun di luar rumah tangganya. Penafsiran ini memberikan angin segar bagi wanita untuk senantiasa aktif, di samping sebagai isteri, ibu rumah tangga, pendidik bagi anak-anaknya juga menjadi pengayom bagi masyarakatnya.
6. Sebagai salah seorang mufassir klasik, al-Zamakhsyarîy menafsirkan bahwa Hawa tercipta dari tulang rusuk Adam didasarkan pada surâh al-Nisâ’/ 4 : 1, surâh al-A’râf/ 7 : 189 dan al-Zumar/ 39 : 6. Kemudian bahwa laki-laki adalah pemimpin bagi wanita didasarkan pada surâh al-Nisâ’/ 4 : 34, karena ia mempunyai beberapa kelebihan atas perempuan. Kelebihan-kelebihan tersebut antara lain diungkapkan bahwa laki-laki adalah yang bertanggung jawab memberikan nafkah, lebih kuat akal, lebih teguh, lebih kuat fisik dan lain sebagainya.
7. Al-Zamakhsyarîy berpendapat laki-laki adalah pemimpin bagi kaum wanita. Oleh karena itu, wanita sebagai isteri harus menjadi pelayan yang baik bagi suaminya, wanita sebagai ibu rumah tangga dan ibu bagi anak-anaknya harus menjadi pendidik yang baik dan tetap pada tugas dan fungsi reproduksinya dalam rumah tangga suaminya. Wanita harus senantiasa berada di dalam rumah untuk melaksanakan kewajiban-kewajibannya. Akan tetapi al-Zamakhsyarîy berpendapat yang dikuatkan oleh Hadîts, bahwa istri dalam keluarga, juga mempunyai kewajiban untuk mengatur segala hal yang berkaitan dengan kelangsungan keluarga yang sakinah dan mawaddah terutama ketika sang suami tidak ada disampingnya.
8. Wanita sebagai Pemimpin Perusahaan merupakan sebuah anugrah yang diberikan Allah kepada hambanya berupa ilmu untuk memimpin, mengelola dan mengatur perusahaannya. Ayat للرجال نصيب مما اكتسبوا وللنساء نصيب مما اكتسبن ditafsirknnya, bahwa Tuhan menjadikan pembagian tersebut sebagai perolehan (kasb) setiap individu, baik laki-laki maupun perempuan, berdasarkan pengetahuan Tuhan mengenai kondisi yang menjadi faktor dilapangkan dan disempitkannya rezki seseorang.
9. Wanita sebagai Hakim ( Qhadli ), dalam surâh al-Nisâ/ 4 : 58, al-Zamakhsyarîy mengatakan bahwa khithab dari pada ayat ini adalah umum, ditunjukan kepada setiap individu, dalam setiap amanat dan di dalam setiap menegakkan keadilan. Disini jelas sekali apa yang dimaksud oleh al-Zamakhsyarîy, bahwa setiap orang, baik laki-laki maupun wanita, baik orang merdeka maupun hamba sahaya, mereka berhak dan memungkinkan untuk menjadi hakim ( Qhadli ) dalam setiap menegakkan keadilan dan menjalankan amanat.
10. Wanita sebagai Dewan Perwakilan Rakyat, sangat berkaitan sekali dalam rangka pelaksanaan amar ma’ruf nahi mungkar. Al-Zamakhsyarîy menjelaskan bahwa sesungguhnya yang harus melaksanakan amar ma’ruf nahi mungkar ini adalah semua muslim yang komitmen dan memenuhi syarat. Dari tafsiran Al-Zamakhsyarîy di atas, jelas bahwa yang menjadi khithab untuk melaksanakan amar ma’ruf nahi mungkar ini semua muslim, baik laki-laki maupun wanita
11. Wanita sebagai Pemimpin Pemerintahan kalau melihat penafsiran Al-Zamakhsyarîy dalam surâh al-Nisâ/ 4 : 58, beliau tidak secara inplisit menegaskan kebolehan wanita sebagai pemimpin pemerintahan, tetapi secara eksplisit, hal ini masih termasuk tatanan dalam penyampaian amanat dan tatanan dalam keadilan pemerintah. Artinya baik laki-laki maupun wanita yang menjadi pemimpin pemerintahan, tidak secara tegas dipermasalahkan, akan tetapi yang menjadi permasalahan adalah bagiamana dia cara memimpin pemerintahan tersebut.
12. Penafsiran-penafsiran al-Zamakhsyarîy di satu sisi kelihatannya misoginis dan memandang rendah kemampuan wanita dalam hal kepemimpinan. Penafsiran-penafsirannya tersebut sangat wajar karena dipengaruhi oleh kondisi sosial, di mana al-Zamakhsyarîy hidup membujang dan jauh dari wanita. Akan tetapi di satu sisi kebahasaan penafsirannya berkesan tidak misoginis dan tidak memandang rendah kemampuan wanita, terutama dalam hal kepemimpinan.
B. Saran-saran
1. Keterlibatan kaum wanita dalam berbagai bidang kehidupan dan dunia publik, belumlah seperti sekarang. Oleh karenanya, sangat wajar apabila al-Zamakhsyarîy berpandangan seperti demikian. Sebab, andaikata ia hidup pada masa sekarang, tentulah corak penafsirannya akan sangat berbeda.
2. Untuk menyikapi permasalahan kepemimpinan wanita dalam perpektif Al-Qur’an masih banyak yang harus digali dan diungkapkan melalui penafsiran-penafsiran para ulama, baik para ulama klasik maupun modern.
3. Pemikiran rasional yang telah ditampilkan oleh al-Zamakhsyarîy melalui tafsir kebahasaannya baik ilmu ma’ani maupun ilmu balaghanya perlu diikuti oleh ummat Islam sekarang. Dan langkah ini tentunya harus dimulai oleh orang-orang yang ahli dalam bidang agama serta ahli dalam bidang ilmu ma’âni maupun ilmu balâghah

Tidak ada komentar:

Posting Komentar