Jumat, 06 Januari 2012

SEKILAS MENGENAI KEPEMIMPINAN WANITA DAN PANDANGAN PARA ULAMA


A. Pengertian Kepemimpinan
1. Menurut bahasa
Kepemimpinan dalam bahasa arab berarti riâsah ( رئاسة ) berasal dari akar kata ra’s ( رأس ) yang berarti kepala. Dalam surâh Maryam/ 19 : 4, disebutkanواشتعـل الرأس شيبا (dan kepalaku telah ditumbuhi uban.) Kata pluralnya (jama’), ru’us ( رؤوس ). Dalam surâh al-Baqarah/ 2 : 196, disebutkan ولاتحلقوا رؤوسكم (..dan jangan kamu mencukur kepalamu,...). Kata ra’s ( رأس ) juga bisa berarti atasan segala sesuatu atau pemimpin suatu kaum, diambil dari akar kata ra’asa- yar’asu ( رأس – يرأس ) yang berarti memimpin dalam memajukan dan mengatur kaumnya.
Dalam kamus bahasa Indonesia, Kepemimpinan berasal dari kata dasar pimpin yang berarti keadaan memimpin. Kata pimpin mendapat awalan me- menjadi memimpin yang berarti; 1) Memegang tangan seseorang sambil berjalan (untuk menuntun, menunjukkan jalan dan sebagainya), 2) Mengetuai atau mengepalai, 3) Memandu, 4) Memenangkan paling banyak dan 5) Melatih (mendidik, mengajar), kemudian mendapat awalan pe-menjadi pemimpin yang berarti orang yang memimpin, orang yang ditunjuk untuk memimpin atau buku petunjuk dan selanjutnya mendapat awalan dan akhiran ke-an menjadi kepemimpinan (leadership) yang berarti perihal memimpin, kegiatan memimpin.
2. Menurut Istilah
Dalam Al-Qur’an ada dua istilah yang menujukkan kepada arti ”Pemimipin”, yaitu ; Imam dan Khalifah. Kata Imam ini berasal dari akar kata أم – يـؤم yang berarti menuju, memimpin dan meneladani. Adapun kata khalifah berasal dari kata خلف yang berarti di belakang. Maka dari sini kata khalifah sering diartikan dengan pengganti, karena pengganti selalu berada di belakang. Dan datang sesudah yang digantikan.
Al-Tabrasi, seperti yang dikutip oleh Quresy Syihab, memberikan komentar bahwa antara Imam dan Khalifah mempunyai pengertian yang sama, hanya saja kata Imam digunakan untuk keteladanan, karena terambil dari kata yang mengandung arti depan, berbeda dengan Khalifah yang mempunyai arti belakang.
Adapun kepemimpinan yang dimaksud dalam tesis ini adalah perihal atau keadaan wanita dalam memimpin atau memegang suatu jabatan, baik formal maupun non formal.
B. Pandangan Para Ulama Terhadap Kepemimpinan Wanita
Secara umum dapat dikatakan bahwa kontroversi para ulama mengenai kepemimpinan wanita berawal dari pandangan mereka tentang asal kejadian wanita. Pemahaman tentang asal kejadian wanita ini membawa kepada kontroversi pemikiran tentang kepemimpinan wanita. Hal ini dapat dipahami dengan melihat potensi dan fitrah yang dibawa oleh wanita yang akhirnya akan berimplikasi terhadap pemahaman tentang kemampuan wanita untuk menjadi pemimpin.
Kelompok yang menuntut atas kebebasan kaum wanita memandang, kepemimpinan laki-laki atas wanita merupakan prinsip yang bertentangan dengan prinsip kebebasan atas wanita dan kesetaraanya dengan laki-laki. Menurut mereka prinsip ini hanyalah sisa-sisa peninggalan zaman perbudakan. Otoritas laki-laki dan kekuasaannya tidak mungkin lagi diistimewakan lagi dalam suatu masa dimana kaum wanita menuntut posisi sosialnya. Kaum wanita mempelajari metode-metode yang dipelajari oleh kaum laki-laki. Mereka juga memperoleh kesaksian tertinggi, juga pengalaman yang luas dalam kehidupan.
Berdasarkan uraian di atas, maka penulis menganggap bahwa salah satu hal yang menjadi pembahasan dalam bab ini adalah dengan menelusuri proses penciptaan wanita, yaitu dengan mengangkat beberapa hasil penafsiran ulama klasik tentang proses penciptaan wanita, yang akhirnya akan sampai kepada suatu pemahaman tentang kepemimpinan wanita.
Adapun batasan penulis mengenai zaman klasik ialah sejak zaman Rasulullah Saw. sampai akhir abad ke-18, sedang kontemporer adalah sejak awal abad ke-19 sampai sekarang.
1. Pandangan Para Ulama Klasik
Dalam Al-Qur’an, dikenal dan diyakini ada empat macam cara penciptaan manusia, yaitu:
1) Diciptakan dari tanah yaitu penciptaan Nabi Adam, seperti dijelaskan dalam surâh Fâthir/ 35: 11 berikut :


“Dan Allah menciptakan kamu dari tanah kemudian dari air mani, kemudian Dia menjadikan kamu berpasangan (laki-laki dan perempuan).”


Dan dalam surâh . ash-Shâffât /37: 11:

“Maka tanyakanlah kepada mereka (musyrik Mekah): "Apakah mereka yang lebih kukuh kejadiannya ataukah apa yang telah Kami ciptakan itu?" Sesungguhnya Kami telah menciptakan mereka dari tanah liat.”

Dan dalam surâh . Al-Hijr /15 : 26 :

“Dan sesungguhnya Kami telah meciptakan manusia (Adam) dari tanah liat kering (yang berasal) dari lumpur hitam yang diberi bentuk.”

2) Diciptakan dari (tulang rusuk) Adam, yaitu penciptaan Hawa. seperti dijelaskan dalam surâh al-Nisâ/ 4: 1 berikut :

“ Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telah menciptakan kamu dari diri yang satu, dan daripadanya Allah menciptakan istrinya; dan daripada keduanya Allah memperkembang biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak.”

Dan dalam surâh al-A’râf/ 7: 189 ;

“Dialah Yang menciptakan kamu dari diri yang satu dan daripadanya Dia menciptakan istrinya, agar dia merasa senang kepadanya.
Dan dalam surâh .al-Zumar/ 39 : 6 :

“Dia menciptakan kamu dari seorang diri kemudian Dia jadikan daripadanya istrinya dan Dia menurunkan untuk kamu delapan ekor yang berpasangan dari binatang ternak. Dia menjadikan kamu dalam perut ibumu kejadian demi kejadian dalam tiga kegelapan. Yang (berbuat) demikian itu adalah Allah, Tuhan kamu, Tuhan Yang mempunyai kerajaan. Tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Dia; maka bagaimana kamu dapat dipalingkan? ”

3) Diciptakan melalui seorang ibu dengan proses kehamilan tanpa ayah, baik secara hukum maupun secara biologis, yaitu penciptaan Nabi Isa as. Seperti dijelaskan dalam surâh Maryam / 19 : 19-22 berikut :

“ Ia (Jibril) berkata: "Sesungguhnya aku ini hanyalah seorang utusan Tuhanmu, untuk memberimu seorang anak laki-laki yang suci".
Maryam berkata: "Bagaimana akan ada bagiku seorang anak laki-laki, sedang tidak pernah seorang manusiapun menyentuhku dan aku bukan (pula) seorang pezina!"
Jibril berkata: "Demikianlah . Tuhanmu berfirman: "Hal itu adalah mudah bagi-Ku; dan agar dapat Kami menjadikannya suatu tanda bagi manusia dan sebagai rahmat dari Kami; dan hal itu adalah suatu perkara yang sudah diputuskan."
Maka Maryam mengandungnya, lalu ia menyisihkan diri dengan kandungannya itu ke tempat yang jauh.”

4) Diciptakan melalui kehamilan dengan adanya ayah secara biologis dan hukum, atau minimal secara biologis semata, yaitu penciptaan manusia selain Adam, Hawa dan Isa a.s. Seperti dijelaskan dalam surâh al-Mukminun/ 23 : 12-14. berikut :

“Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dari suatu saripati (berasal) dari tanah.
Kemudian Kami jadikan saripati itu air mani (yang disimpan) dalam tempat yang kokoh (rahim).
Kemudian air mani itu Kami jadikan segumpal darah, lalu segumpal darah itu Kami jadikan segumpal daging, dan segumpal daging itu Kami jadikan tulang belulang, lalu tulang belulang itu Kami bungkus dengan daging. Kemudian Kami jadikan dia makhluk yang (berbentuk) lain. Maka Maha Sucilah Allah, Pencipta Yang Paling Baik.”

Dalam ayat tentang penciptaan Hawa, dalam hal ini sebagai wanita pertama, Al-Qur’an tidak berbicara secara terinci. Pengungkapan ini sangat berbeda ketika Al-Qur’an membahas tentang proses penciptaan melalui tiga bentuk yang lain selain penciptaan Hawa. Tentang penciptaan Hawa, Al-Qur’an hanya menerangkan bahwa زوجها diciptakan dari نفس واحدة, yang kemudian difahami bahwa kata زوجها adalah menunjuk kepada Hawa sebagai wanita pertama. Redaksi seperti ini sangat berpotensi terhadap terjadinya kontroversial dalam hal penafsirannya.
Terdapat tiga ayat Al-Qur’an yang berbicara tentang penciptaan Hawa, seperti yang telah disebutkan di atas, yaitu; surâh al-Nisâ/ 4: 1, surâh al-A’râf/ 7: 189 dan surâh al-Zumar/ 39 : 6.
Walaupun ketiga ayat ini dapat dijadikan acuan untuk melihat dan mengamati tentang penciptaan Hawa, akan tetapi dalam bab ini hanya diuraikan satu saja, yaitu surâh al-Nisâ/ 4:1. karena pada ayat inilah diterangkan lebih jelas dalam pengungkapan konsep asal-usul dan perkembangbiakan manusia, termasuk tentang penciptaan Hawa.
Dalam ayat ini tidak disebutkan nama Adam dan Hawa secara eksplisit (tersurâh), tetapi diungkapkan dengan kata نفس واحدة dan زوجها, tentunya hal ini dibarengi dengan penjelasan ayat-ayat lain yang mendukungnya, diantaranya ;
1. Surâh Al-Baqarah/2 : 30-31 ;

“Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: "Sesugguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi". Mereka berkata: "Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?" Tuhan berfirman: "Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui".
Dan Dia mengajarkan kepada Adam nama-nama (benda-benda) seluruhnya, kemudian mengemukakannya kepada para Malaikat lalu berfirman: "Sebutkanlah kepada-Ku nama benda-benda itu jika kamu memang orang-orang yang benar!"

2. Surâh Ali Imran/3 : 59

“Sesungguhnya misal (penciptaan) `Isa di sisi Allah, adalah seperti (penciptaan) Adam. Allah menciptakan Adam dari tanah, kemudian Allah berfirman kepadanya: "Jadilah" (seorang manusia), maka jadilah dia.”

3. Surâh Al-A’raf ; 27

“Hai anak Adam, janganlah sekali-kali kamu dapat ditipu oleh syaitan sebagaimana ia telah mengeluarkan keduaibu bapamu dari surga, ia menanggalkan dari keduanya pakaiannya untuk memperlihatkan kepada keduanya `auratnya. Sesungguhnya ia dan pengikut-pengikutnya melihat kamu dari suatu tempat yang kamu tidak bisa melihat mereka. Sesungguhnya Kami telah menjadikan syaitan-syaitan itu pemimpin-pemimpin bagi orang-orang yang tidak beriman.”

4. Hadits-hadits Nabi, di antaranya ;
حدثنا أبو كريب وموسي بن حزام قالا حدثنا حسين بن علي عن زائدة عن ميسرة الأشجعي عن ابي حازم عن ابي هريرة رضي الله عنه قال : قال رسول الله صلهم: إستوصوا بالنساء فإن المرأة خلقت من ضلع. وإن أعوج شيئ من الضلع أعلاه فإن ذهبت تقيمه كسرته وإن تركته لم يزل أعوج فاستوصوا بالنساء .
“Diceritakan kepada kami dari Abi Kuraib dan Musa bin Hizam, keduanya berkata: :Kami mendapat kabar dari Husain bin Ali dari Zaidah dari Maysarah al-Asyja’iy dari Abi Hazim dari Abu Hurairah ra. berkata : Bersabda Rasulullah Saw. : “Saling pesan memesanlah (berwasiatlah) kepada wanita, karena mereka diciptakan dari tulang rusuk. Sesungguhnya tulang rusuk yang paling bengkok adalah yang paling atas. Kalau engkau luruskan tulang bengkok itu, engkau akan mematahkannya, (tetapi) kalau engkau biarkan, dia akan tetap bengkok. Oleh karena itu, berwasiatlah yang baik kepada wanita”

Maka pada umumnya para mufassir klasik memahami dan meyakini bahwa yang dimaksud dengan نفس واحدة dan زوجها dalam ayat itu, adalah Nabi Adam a.s. dan Hawa, yang dari keduanyalah maka terjadi proses perkembangbiakan manusia.
Kontroversi sesungguhnya bukan pada penentuan; siapa manusia yang pertama, tetapi pada penciptaan Hawa yang dalam ayat tersebut diungkapkan dengan kalimat وخلق منها زوجها . Persoalannya adalah, apakah Hawa diciptakan dari tanah, sama seperti Adam, atau diciptakan dari bagian tubuh Adam itu sendiri. Kunci penafsiran yang kontroversial ini adalah terletak pada kata منها. Apakah kata ini menunjukkan makna bahwa untuk Adam diciptakan istri dari jenis yang sama dengan dirinya, atau diciptakan dari diri Adam. Persoalan inilah sebenarnya yang menjadi inti perbedaan pandangan antar para mufassir.
Al-Qurthubîy misalnya dalam Tafsîr Jami’ li ahkâm Al-Qur’an mengatakan bahwa nafs wâhidah berarti Adam. Menurutnya, kata minhâ adalah bahwa Allah menciptakan pasangan atau isterinya (Hawa) dari nafs wâhidah, yaitu diri Adam, karena kata zaujahâ arti harfiahnya adalah pasangannya yang mengacu pada isteri Adam yaitu Hawa. Demikian pula yang dikemukakan oleh Abu al-Su’ud dalam tafsirnya Tafsîr Abî al-Su’ud. Al-Qurthubîy dan Abi al-Su’ud menyandarkan penafsirannya tersebut pada hadits Bukhâri Muslim bahwa wanita diciptakan dari tulang rusuk.
Mufassir klasik lainnya mengemukakan penafsiran yang senada dengan hal tersebut antara lain Fakhruddin al-Râzi , Imam al-Thabarîy dan Burhanuddin al-Biqâ’iy .
Fakhruddin al-Râzy dalam tafsîr Mafâtih al-Ghaib atau lebih dikenal dengan tafsîr al-Kabîr menafsirkan surâh al-Nisâ’/4 : 1 ini, bahwa yang dimaksud dengan kalimat وخلق منها زوجها ada dua pendapat yaitu ; pertama, زوجها bermakna Hawa yang diciptakan dari bagian tubuh Adam yaitu tulang rusuk dan kedua زوجها yang berarti Hawa yang diciptakan dari jenisnya sendiri. Tapi beliau mengatakan bahwa seandainya Hawa diciptakan dari jiwa yang lain maka manusia berasal dari dua jiwa (min nafsain). Beliau menambahkan pula bahwa alasan dinamakan Adam karena diciptakan dari tanah (الأديم الأرض), sedang wanita itu dinamakan Hawa karena diciptakan dari tulang rusuk Adam, yang berarti sesuatu yang hidup.
Imam at-Thabarîy dalam menafsirkan surâh surâh al-Nisâ’/4 : 1 tersebut menambahkan, bahwa: “Allah mengingatkan kepada manusia bahwa manusia berasal dari satu orang, sebagai peringatan bahwa mereka berasal dari ayah dan ibu yang satu. Semuanya berasal dari satu keturunan. Oleh karenanya mereka haruslah saling menjaga.” Kata نفس واحدة dimaknainya sebagai Adam dan خلق منها زوجها adalah bahwa Allah menjadikannya dari nafs wâhidah (Adam) itu isterinya sebagai penyempurna atau pelengkap dan teman hidup.
Demikian pula Burhanuddin al-Biqâ’iy menafsirkan وخلقكم من نفس واحدة dengan Adam sebagai nenek moyang manusia dan خلق منها زوجها dipahaminya sebagai Hawa.
Dari pemaparan di atas, tampak bahwa kitab-kitab tafsir klasik, seperti Al-Qurthubîy, Abu al-Su’ud, Fakhruddin al-Râzi, Ibnu Jarîr al-Thabarîy dan Burhanuddin al-Biqâ’iy sepakat menyatakan bahwa kata nafs wâhidah di sini bermakna Adam. Sedangkan dhamir minhâ ditafsirkan dengan “bagian dari tubuh Adam dan kata zaujahâ ditafsirkan dengan Hawa, Isteri Adam. Alasan mereka ialah dengan adanya beberapa hadits Nabi yang mengisyaratkan bahwa perempuan (Hawa) diciptakan dari salah satu tulang rusuk Adam.
Setelah membahas tentang proses penciptaan wanita, kemudian beralih kepada kemampuan wanita dalam memimpin. Karena Pemahaman terhadap proses penciptaan wanita sangat berpengaruh terhadap pemahaman tentang kepemimpinan wanita.
Adapun ayat yang banyak dijadikan rujukan dalam menggali konsep kepemimpinan ialah surâh al-Nisâ’/4 : 34.

“Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. Sebab itu maka wanita yang saleh, ialah yang ta`at kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara (mereka). Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka menta`atimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar”.

Menurut Ibnu Katsîr, ayat ini merupakan ayat tentang kepemimpinan. Dalam tafsirnya beliau memberikan komentar bahwa ayat ini mengandung pengertian kaum laki-laki adalah pemimpin bagi kaum perempuan, yaitu laki-laki memimpin perempuan, dia-lah pemimpinnya, pembesarnya, hakimnya dan pendidiknya. Bila perempuan itu menyimpang.
Sementara itu imam Ibnu Jarîr al-Thabarîy menanggapi ayat 34 ini dengan mengatakan bahwa الرجالadalah sebutan bagi orang yang memberikan perlindungan kepada perempuan. Al-Râzi lebih tegas mengatakan bahwa yang dimaksud dengan قوام adalah sebutan bagi orang yang mampu melaksanakan urusan. Sebagaimana pendapat Ibnu Jarîr al-Thabarîy, al-Biqâ’iy juga mengatakan bahwa laki-laki disebut sebagai قوام karena beberapa kelebihan yang diberikan kepadanya. Adapun keutamaan laki-laki dikarenakan laki-laki mempunyai kelebihan hakiki seperti memiliki ilmu pengetahuan, tidak diragukan kemampuannya, memberi mahar, nafkah dan keamanan. Kelebihan itulah yang menjadikan laki-laki sebagai قوام.
Para mufassir klasik sepakat bahwa qawwâm bermakna sebagai pemimpin. Atas dasar itulah, maka mereka pun sepakat menyatakan bahwa dalam rumah tangga, suamilah yang menjadi pemimpin bagi isterinya.
Adapun alasan-alasan yang menguatkan penafsiran mereka terhadap kepemimpinan laki-laki yang terdapat dalam ayat tersebut adalah ;
1. Kalimat بما فضل الله بعضهم علي بعض وبما انفقوا من اموالهم (oleh karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (perempuan) dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. Pendapat ini tidak jauh berbeda dengan apa yang diungkapkan oleh Ibnu Katsîr, beliau menegaskan bahwa Allah telah memberikan keutamaan kepada laki-laki dibanding perempuan. Karena itulah kenabian hanya dikhususkan kepada kaum laki-laki, begitu pula

kekuasaan tertinggi. Dalam hal kekuasaan ini beliau mengutip sabda Rasulullah Saw. yang diriwayatkan oleh Imam Bukhâri, yang berbunyi:
حدثنا عثمان بن الهيثم حدثنا عوف بن الحسن, عن ابي بكرة قال : لقد نفعني الله بكلمة سمعتها من رسول الله صلهم أيام الجمل بعد ما كدت أن الحق بأصحاب الجمل فأقاتل معهم, قال : لما بلغ رسول الله صلهم أن اهل فارس قد ملكوا عليهم بنت كسرى, قال : لن يفلح قوم ولوا امرهم إمرأة "
“Usman bin al-Haitsam menceriterakan kepada kami, dari Auf bin al-Hasan dari Abi Bakrah berkata : “Sesungguhnya Allah telah memberikan hikmah kepadaku pada saat perang Jamal dengan suatu kalimat yang saya dengar dari Rasulullah saw. setelah aku hampir mengikuti pasukan unta. ketika kusampaikan kepada Rasulullah Saw. bahwa kerajaan Persia dipimpin oleh anak perempuannya, maka Nabi Saw. bersabda : ”Tidak akan berbahagia (sukses) suatu kaum (masyarakat) yang menyerahkan (untuk memimpin) urusan mereka kepada wanita”.

Demikian pula halnya dengan posisi hakim dan lain-lainnya.
2. Karena laki-laki menafkahkan sebagian hartanya, yakni berupa mahar, nafkah dan belanja yang diwajibkan oleh Allah Swt. atas laki-laki. Karena itu juga, tepatlah mereka (kaum laki-laki) menjadi pemimpin bagi perempuan, sebagaimana disebutkan dalam firman Allah Swt.: “Bagi laki-laki derajat di atas perempuan”.
Dengan adanya kesepakatan para ulama klasik tentang laki-laki sebagai pemimpin perempuan dengan dua alasan seperti yang telah dikemukakan di atas, maka para mufassir klasik sepakat pula bahwa yang dimaksud dengan fa as-shâlihât dalam sambungan ayat tersebut diartikan sebagai perempuan-perempuan yang taat kepada suami, menjaga kehormatan diri serta menjaga rumah tangga dan harta milik suami ketika suami tidak sedang berada di rumah, termasuk juga menjaga rahasia suami.
Menurut para ulama klasik, salah satu petunjuk yang menyatakan adanya kelemahan pada perempuan dibanding dengan laki-laki adalah surâh al-Baqarah/2 : 282 yang berbicara tentang kesaksian dalam hal transaksi.

“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu`amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. Dan hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar. Dan janganlah penulis enggan menuliskannya sebagaimana Allah telah mengajarkannya, maka hendaklah ia menulis, dan hendaklah orang yang berhutang itu mengimlakkan (apa yang akan ditulis itu), dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya, dan janganlah ia mengurangi sedikitpun daripada hutangnya. Jika yang berhutang itu orang yang lemah akalnya atau lemah (keadaannya) atau dia sendiri tidak mampu mengimlakkan, maka hendaklah walinya mengimlakkan dengan jujur. Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang lelaki diantaramu). Jika tak ada dua orang lelaki, maka (boleh) seorang lelaki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridhai, ...”

Para ulama mempertanyakan dua pertanyaan dari ayat ini, yaitu:
1. Kenapa jika tidak ada laki-laki, maka digantikan dengan dua orang perempuan? kenapa tidak satu laki-laki satu perempuan? Apakah ketentuan tersebut tidak berarti merendahkan kaum perempuan?
2. Apakah ketentuan itu berlaku khusus dalam hal urusan akad kredit saja atau untuk semua urusan yang memerlukan kesaksian, seperti akad nikah, hudûd dan lain-lain?
3. Apakah perbandingan dua banding satu tetap diberlakukan pada semua urusan yang memerlukan saksi atau hanya khusus pada urusan transaksi, seperti penetapan awal bulan Ramadhan, pembuktian perzinaan, pembuktian pembunuhan atau dalam masalah hudûd ?.
Uraian di atas memberikan gambaran bagaimana pandangan ulama klasik tentang wanita, khususnya kepemimpinan kaum wanita. Tampak bahwa penafsiran ulama klasik sangat misoginis atau sangat menyudutkan kaum perempuan. Pandangan bahwa kelebihan itu semua sudah merupakan ketetapan Allah Swt, yakni karena Allah telah menetapkan laki-laki lebih baik, lebih utama dan lebih pantas untuk menjadi pemimpin dibanding perempuan. Padahal, ketetapan Allah itu bukanlah merupakan suatu keistimewaan antara makhluk yang satu dengan makhluk lainnya, tetapi lebih pada fungsi dan tugas utama yang harus diembannya masing-masing.
Meskipun demikian, berbeda dengan para ulama klasik lainnya, Muhy al-Dîn Ibnu ‘Arabi, seorang tokoh sufi, mempunyai pendapat lain terhadap wanita. Dalam al-Ftuhat al-Makkiyah-nya beliau mengatakan ;
“kaum perempuan sama dengan kaum laki-laki dalam semua tingkat, bahkan sebagai Qutub. Hendaknya kita tidak terselubung oleh kata-kata dari Rasulullah yang mengatakan “ suatu bangsa yang menyerahkan pengurusan atas utusan mereka kepada perempuan, tidak akan pernah berjaya.” Kita sedang membicarakan kekuasaan yang diberikan oleh Tuhan, bukan kekuasaan yang diberikan oleh rakyat. Jika satu-satunya hal yang telah sampai kepada kita menyangkut soal ini adalah kata-kata nabi, “ kaum perempuan adalah padanan kaum laki-laki.” Itu sudah cukup, karena itu berarti bahwa segala sesuatu yang dapat dicapai oleh kaum laki-laki- kedudukan, tingkat, atau sifat- juga dapat dimiliki oleh setiap perempuan yang dikehendaki Tuhan, sebagaimana hal itu dapat dimiliki oleh setiap laki-laki yang dikehendaki Tuhan. Tidakkah kalian perhatikan kebijaksanaan tuhan dalam kelebihan yang telah Dia berikan kepada perempuan atas laki-laki dalam namanya? Kepada manusia berjenis kelamin laki-laki, Dia menyebut mar’, dan kepada perempuan Dia menyebut mar’ah. Jadi Dia menambahkan ha pada perhentian ( waqaf ) atau ta pada persambungan ( al-washal ) kepada nama mar’ yang diberikan kepada laki-laki. Maka perempuan mempunyai satu tingkat di atas laki-laki dalam keadaa ini, suatu tingkat yang tidak diberikan kepada laki-laki dalam Al-Qur’an:

“ kaum laki-laki mempunyai satu tingkat lebih tinggi dari pada mereka”

Maka Tuhan menutup kesenjangan itu ( berkaitan dengan ayat tersebut ) dengan tambahan ini dalam mar’ah.”

2. Pandangan para Ulama Moderen
Setelah memperoleh gambaran pandangan ulama klasik tentang kepemimpinan wanita, maka pada sub bab ini akan dibahas bagaimana pandangan ulama kontemporer atau modern tentang kepemimpinan wanita. Adapun ulama kontemporer yang penulis jadikan acuan dalam penulisan ini antara lain; Imam Al-Syaukânî dengan tafsîr Fath al-Qadîr, al-Alûsî dengan tafsîr Ruh al-Ma’ânî, Syekh Muhammad ‘Abduh dan Sayyid Muhammad Rasyîd Ridhâ dengan tafsîr al-Manâr, Mustafâ al-Marâghî dengan tafsîr al- al-Marâghî , Muhammad Mahmud Hijâzi dengan tafsîr al-Wâdih, Muhammad Ali al-Shâbunî dengan Shafwat al-Tafâsîr, al-Thabâthabâ’î dengan al-Mizân fî Tafsîr Al-Qur’an, Sa’îd Hawwâ dengan tafsîr al-Asâs fi al-Tafsîr, Muhammad Al-Shâdiqîy dengan al-Furqân fî Tafsîr, Mahmud Yunus dengan Tafsîr Al-Qur’an al-Karîm, Hamka dengan Tafsîr al-Azhâr Qur’an dan Quraish Shihab dengan Wawasan Al-Qur’an, Membumikan Al-Qur’an dan Tafsir al-Mishbah-nya.
Dalam hal ini bagaiamana konsep penciptaan wanita menurut mufassir modern, dan implikasinya terhadap konsep kepemimpinan wanita dalam kehidupan sehari-hari.
Menurut al-Alûsi, yang dimaksud dengan نفس واحدة adalah Adam, dan زوجها adalah Hawa yang diciptakan oleh Allah dari salah satu tulang rusuk Adam. Al-Alûsi memperjelas keterangannya ini dengan mengatakan bahwa tulang rusuk yang dimaksud adalah tulang rusuk sebelah kiri Adam. Al-Alûsi mendasarkan pandangannya ini pada sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Bukhâri Muslim.
Di samping itu, al-Alûsi mengutip penafsiran lain dari Abû Muslim tentang penciptaan Hawa dari tulang rusuk Adam, dan sekaligus membantahnya. Menurut Abû Muslim, Allah tidak menciptakan Hawa dari tulang rusuk Adam, tetapi Allah menciptakan Hawa dari tanah seperti penciptaan Adam. Abû Muslim menyatakan bahwa apa gunanya Allah menciptakan Hawa dari tulang rusuk Adam padahal Dia mampu menciptakan dari Tanah? Dengan pengertian seperti ini, bagi Abû Muslim, yang dimaksud dengan kalimat وخلق منها زوجها adalah Dia menciptakan Hawa dari jenis yang sama dengan Adam yaitu manusia. Pernyataan ini dianggapnya seperti dalam firman Allah جعل لكم من انفسكم ازواجا… (Dia menjadikan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri).
Pendapat Abû Muslim di atas ditolak oleh al-Alûsi dengan memberikan komentar bahwa andaikata benar seperti yang dikatakan oleh Abu Muslim, maka tentu manusia yang merupakan makhluk yang diciptakan tidak berasal dari satu diri (nafs wâhidah), tapi bermakna dari dua diri (min nafsain). Hal ini, menurutnya, bertentangan dengan nash ayat itu sendiri dan akhbar dari Rasulullah saw.
Sedangkan tentang perkataan Abû Muslim yang menyatakan bahwa apa gunanya Allah menciptakan Hawa dari tulang rusuk Adam, padahal Dia mampu menciptakan dari tanah seperti Adam. al-Alûsi menjawab, bahwa dibalik semua itu ada hikmah tersediri yang ingin diperlihatkan oleh Allah Swt. Selain hikmah yang tidak diketahui, juga dapat dipahami bahwa hal itu mengandung pengertian bahwa Allah mampu menciptakan makhluk hidup dari makhluk hidup yang lain tanpa reproduksi (tawallud), sebagaimana Dia mampu mencipta makhluk hidup dari benda mati. Andaikata kemampuan mencipta dari tanah menjadi penghalang untuk mencipta dari selain tanah dengan alasan tidak ada gunanya, tentu Dia harus menciptakan segala sesuatu dari tanah tanpa perantara. Sebagaimana Dia mampu menciptakan Adam dari tanah, tentu Dia juga mampu menciptakan semua manusia dari tanah. Dalam hal ini Al-Alûsi memberikan sebuah pertanyaan, yaitu: Apa gunanya Allah menciptakan manusia dari manusia melalui reproduksi, padahal Dia mampu menciptakan manusia dari tanah, seperti Adam?
Al-Syaukânîy juga berpendapat bahwa Hawa tercipta dari diri Adam. Al-Syaukânîy menafsirkan kalimat nafs wâhidah dengan Adam, tanpa penjelasan lebih lanjut mengapa dia menafsirkan kalimat nafs wâhidah dengan Adam.
Jika al-Alûsi dan al-Syaukâniy memberikan makna nafs wâhidah dengan makna Adam, maka Muhammad Abduh dalam tafsir al-Manârnya menolak dengan tegas menafsirkan kata نفس واحدة dengan Adam. Alasan yang dikemukakan ‘Abduh adalah sebagai berikut :
1. Ayat ini diawali dengan ياايها الناس “ Wahai sekalian manusia ”, berarti ditujukan kepada seluruh umat manusia tanpa membedakan agama, suku bangsa dan warna kulit. Bagaimana mungkin dikatakan Adam, sementara Adam tidak populer dan tidak diakui keberadaannya oleh semua umat manusia sebagai manusia pertama. Dengan demikian, yang dimaksud نفس واحدة dalam ayat ini ialah yang dapat diakui secara universal oleh seluruh umat manusia.
2. Kalau yang dimaksudkan ialah Adam, mengapa menggunakan bentuk nakirah pada kata وبث منهما رجالا كثيرا ونساء, bukannya menggunakan bentuk ma’rifah (وبث منهما جميع الرجال والنساء)? Mengapa digunakan satu jiwa tertentu (نفس معهودة) yakni Adam dan Hawa?, sementara khitab ini ditujukan kepada seluruh bangsa secara keseluruhan, padahal banyak bangsa dan kelompok masyarakat, bukan saja tidak mengakui keberadaan Adam dan Hawa tetapi juga tidak mengenal Adam dan Hawa dan tidak pernah mendengarkannya. Bahkan tidak jarang suatu bangsa mengklaim nenek moyangnya sendiri, seperti bangsa Cina dan etnik lainnya.
3. Silsilah keturunan Adam dan Hawa sebagai nenek moyang manusia lebih dikongkritkan di dalam masyarakat Yahudi. Mitos seperti ini tidak perlu diikuti oleh umat Islam, karena pedoman utamanya adalah nash yang sharih atau dalil yang jelas dan tegas.
4. Kalau yang dimaksud ayat ini adalah Adam, maka Adam yang mana? Adam sendiri masih merupakan misteri di kalangan ulama tafsir. Kalangan mufassir mengisyaratkan adanya Adam-Adam sebelum Adam.
5. Mengenai makna kata نفس dalam ayat ini, Abduh mengutip pendapat para filosof yang menganggap النفس dan الروح mempunyai arti yang sama, yaitu sesuatu yang bersifat non materi. Dengan demikian tidak bisa diartikan Adam yang konotasinya materi.
Dari penafsiran Muhammad Abduh di atas, tampak tidak memberikan kesimpulan kongkrit siapa sesungguhnya yang dimaksud dengan nafs wâhidah dalam ayat ini. Kata nafs wâhidah boleh jadi suatu gens, dan salah satu speciesnya yaitu :
 Adam dan pasangannya surâh al-A’raf/ 7: 189 ;

“Dialah Yang menciptakan kamu dari diri yang satu dan daripadanya Dia menciptakan isterinya, agar dia merasa senang kepadanya.”

 Adapun species yang lainnya ialah binatang dan pasangannya (Al-Qur’an surâhal-Syu’arâ’/ 42 : 11 ;

“(Dia) Pencipta langit dan bumi. Dia menjadikan bagi kamu dari jenis kamu sendiri pasangan-pasangan dan dari jenis binatang ternak pasangan-pasangan (pula), dijadikan-Nya kamu berkembang biak dengan jalan itu. Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah Yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat.”

 Begitu juga tumbuh-tumbuhan dan pasangannya dalam surâh Thâhâ /20 : 53 ;

“ Yang telah menjadikan bagimu bumi sebagai hamparan dan Yang telah menjadikan bagimu di bumi itu jalan-jalan, dan menurunkan dari langit air hujan. Maka Kami tumbuhkan dengan air hujan itu berjenis-jenis dari tumbuh-tumbuhan yang bermacam-macam.”

Sa’id Hawwâ, Salah seorang ulama tafsir juga memberikan tanggapan tentang penciptaan wanita. Akan tetapi pendapat yang diungkapkan oleh Sa’id Hawwâ tidak berbeda dengan pendapat al-Alûsi. Kalau ada tambahan, hanyalah kutipan pendapat Ibnu Abbâs yang mengatakan:
“Perempuan diciptakan dari laki-laki, oleh sebab itu kegairahannya ada pada laki-laki, dan diciptakan laki-laki dari tanah, maka dijadikan kegairahannya pada bumi, maka jagalah perempuan-perempuanmu” (Riwayat Ibnu Abi Hisyâm).

Setelah mengutip Ibnu Abbâs, Sa’id Hawwâ menegaskan penolakannya terhadap segala macam pemahaman lain terhadap kalimat wa khalaqa minhâ zaujahâ. Sementara itu al-Marâghi berpendapat bahwa Hawa diciptakan dari nafs wâhidah (artinya jenis yang satu atau jenis yang sama), sehingga tidak ada perbedaan antara penciptaan Adam dan Hawa. Menurutnya, ayat-ayat Al-Qur’an sedikitpun tidak mendukung pemahaman yang beranggapan bahwa Hawa diciptakan dari tulang rusuk Adam, sebagaimana ditemukan dalam beberapa riwayat.
Mufassir lainnya seperti Mahmud Yunus dalam tafsîr Al-Qur’an al-Karîm menerjemahkan kata nafs wâhidah pada surâh al-Nisâ’ (4):1 dengan makna “diri yang satu”. Kemudian dijelaskan bahwa menurut ahli tafsir diri yang satu itu adalah Adam juga isterinya, Hawa. Dari keduanya berkembanglah semua manusia yang ada di atas dunia ini, baik yang berkulit hitam maupun yang berkulit putih, pria maupun wanita. Ketika menafsirkan surâh al-A’râf (7): 189, Mahmud Yunus mengatakan bahwa kata nafs wâhidah adalah diri yang satu, satu asal, yaitu bangsa manusia. Demikian juga kata nafs wâhidah dalam surâh al-Zumar (39): 6 diartikan dengan diri yang satu, yaitu bangsa Adam.
Sedangkan Mahmud Yunus mengartikan kata Adam dengan bangsa manusia. Dalam menjelaskan ayat-ayat yang berkaitan dengan penciptaan Hawa ini, sedikitpun Mahmud Yunus tidak menyinggung bahwa Hawa diciptakan dari bagian tubuh Adam atau tulang rusuk. Bahkan, lebih ditegaskan kembali ketika Mahmud Yunus menafsirkan surâh al-Mu’minûn (23): 12, bahwa Allah Swt. menjadikan manusia dari sari tanah, artinya asal mulanya manusia itu dijadikan Allah dari sari tanah.
Menurut Hamka, kata nafs wâhidah dalam surâh an-Nisâ (4): 1 diartikan dengan “satu diri”. Sehingga dijelaskan bahwa semua manusia di belahan manapun adalah satu, yaitu satu kemanusiaan dengan Tuhan yang satu. Beliau mengatakan bahwa para mufassir belakangan yang memahami penciptaan Hawa berbeda dengan Adam, mengikuti jejak langkah mufassir terdahulu dalam menafsirkan surâh al-Nisâ’ (4): 1, yaitu nafs wâhidah adalah Adam sedangkan pasangannya (zaujahâ) adalah Hawa yang diciptakan dari tulang rusuk Adam. Menurutnya, belum ada mufassir lama yang menafsirkan lain dari itu. Padahal dalam ayat yang ditafsirkan itu tidaklah disebutkan bahwa diri yang satu itu adalah Adam, dan isteri yang dijadikan darinya itu adalah Hawa, dan sama sekali tidak disebutkan tentang tulang rusuk. Hamka menjelaskan, bila yang menjadi sumber itu adalah hadits shahih, maka menurutnya, hadits itu harus dipahami dengan makna kiasan, yaitu perangai yang menyerupai tulang rusuk. Dengan tegas ia menolak paham penciptaan wanita yang berasal dari tulang rusuk, apalagi tulang rusuk pasangan atau suaminya.
Hamka juga menegaskan, bahwa dasar kepercayaan tentang Hawa terjadi dari tulang rusuk Nabi Adam ialah bangsa Ibrani umumnya dan kaum Yahudi khususnya. Hamka menegaskan kembali bahwa nafs wâhidah adalah diri yang satu bermakna sama-sama berakal, sama-sama menginginkan yang baik dan tidak menyukai yang buruk dan sebagainya. Kemudian diri yang satu itu pecah dan itulah jodoh atau pasangan atau isterinya. Ibarat kesatuan kejadian alam semesta yang kesemuanya diciptakan Tuhan senantiasa berpasangan.
Demikian pula ketika Hamka menafsirkan surâh al-A’râf/7: 189, bahwa manusia (pria dan wanita) pada dasarnya adalah satu, dipahami sebagai satu jiwa atau satu kejadian yang bernama jiwa insan. Yang membedakan hanya sedikit, yaitu kelamin saja. Sebab itu, keduanya adalah asal satu kejadiannya, satu diri atau satu jiwa atau satu kemanusiaan.
Menurut Quresy Syihab, kata nafs wâhidah dalam surâh an-Nisâ (4): 1 diartikan dengan “jenis yang sama”. Sehingga ayat ini menolak pandangan -pandangan yang membedakan laki-laki dan perempuan, karena keduanya berasal dari jenis yang sama dan keduanya secara bersama-sama Tuhan mengembangbiakan keturunan baik yang laki-laki maupun yang perempuan.
Annemarie Schimmel mengatakan bahwa wanita pertama adalah Hawa sebagaimana yang dikatakan oleh tradisi, dia tercipta dari tulang rusuk Adam. Bahkan Goethe, yang dikutip oleh Annemarie, menasihati kaum pria agar memperlakukan wanita dengan ramah dan sabar, karena Tuhan mengambil tulang rusuk yang bengkok untuk menciptakannya. Bentuk yang dihasilkannya tidak bisa lurus sepenuhnya. Maka jika pria berusaha untuk menekuknya, dia akan patah, dan jika dia membiarkannya tanpa diganggu, dia akan semakin bengkok. Maka perlakukanlah wanita dengan sabar dan hati-hati, sebab tidak ada seorangpun menginginkan tulang rusuk yang patah.
Demikianlah pandangan para ulama moderen terhadap penciptaan Hawa yang hampir tidak jauh berbeda dengan pandangan para ulama klasik. Mungkin hal ini disebabkan oleh dalil yang sama-sama mereka pergunakan.
Berbicara mengenai kepemimpinan wanita, Imam al-Syaukânîy berpendapat bahwa laki-laki adalah qawwâm, sebagaimana seorang pemimpin menjadi penegak hukum dan pemerintah terhadap rakyatnya serta mereka juga memberi bimbingan untuk dapat memperoleh nafkah, pakaian dan tempat tinggal. Oleh karenanya, lafal qawwâm itu diungkapkan dengan sighat mubâlaghâh.
Berdasarkan pada surâh al-Nisâ’/4 : 34 tersebut, Al-Alûsi dan Sa’id Hawâ juga sepakat menyatakan bahwa suami adalah pemimpin terhadap isterinya dalam rumah tangga. Kalimat kunci yang menjadi landasan mereka adalah الرجال قوامون علي النساء. Oleh Al-Alusi, dalam memberikan komentar tentang الرجال قوامون علي النساء , menyatakan bahwa maksud ayat tersebut adalah bahwa kaum laki-laki adalah pemimpin kaum perempuan, sebagaimana pemimpin memimpin rakyatnya, yaitu dengan perintah, larangan dan semacamnya. Sedangkan Sa’id Hawwâ menafsirkan bahwa bahwa kaum laki-laki berfungsi sebagai yang memerintah dan melarang kaum perempuan, sebagaimana pemimpin berfungsi terhadap rakyatnya.
Sayyid Muhammad Rasyîd Ridhâ dalam menafsirkan ayat mengenai kepemimpinan ini lebih tertarik menghubungkan ayat dalam surâh al-Nisâ’/4: 34 dengan ayat-ayat sebelumnya berkenaan dengan kewarisan dan kewajiban berjihad. Telaah yang dipakai adalah dengan menghubungkan ketiga permasalahan itu. Mengapa laki-laki wajib berjihad dan perempuan tidak? Mengapa bagian laki-laki lebih banyak dibanding bagian perempuan dalam hal kewarisan. Pertanyaan-pertanyaan semacam inilah yang dijadikan bahan acuan dalam memahami kepemimpinan wanita. Dengan demikian, maka menurut Rasyîd Ridhâ, bahwa Kaum laki-laki adalah pemimpin bagi kaum perempuan, oleh karena Allah telah melebihkan sebagian mereka atas sebagian yang lain dan karena mereka telah menafkahkan sebagian dari harta mereka”, yakni urusan laki-laki yang sudah ma’ruf dan sudah ditetapkan adalah sebagai pemimpin perempuan dalam hal pemiliharaan, perlindungan, kekuasaan dan percukupan. Karena hal-hal seperti itu, maka Allah mewajibkan jihad bagi laki-laki dan tidak bagi kaum perempuan, karena ini menyangkut perlindungan terhadap perempuan. Laki-laki mendapat warisan lebih banyak dari perempuan karena nafkah diwajibkan bagi mereka dan tidak bagi perempuan. Sebabnya ialah karena Allah Swt. melebihkan laki-laki dibanding perempuan dalam hal kemampuan fisiknya. Inilah yang menyebabkan perbedaan taklif dan hukum, akibat perbedaan fitrah dan potensi.
Di samping itu, sebab usaha (sabab kasbi) merupakan hal yang ditegakkan di atas sebab fitrah (sabab fithri). Laki-laki memberikan nafkah kepada perempuan dari sebagian hartanya. Mahar adalah pengganti bagi perempuan dan syarat untuk mencampurinya berdasarkan akad di bawah kepemimpinan laki-laki. Syariat memuliakan perempuan ketika mewajibkan memenuhi keperluan yang dituntut oleh fitrah dan sistem penghidupan. Laki-laki menjadi pemimpin bagi perempuan dan hal ini telah dijadikan sebagai kebiasaan yang dipatuhi masyarakat. Seakan-akan perempuan menurunkan dirinya untuk tidak sama dengan laki-laki karena pilihannya sendiri. Ia membolehkan laki-laki berada satu derajat di atas dirinya.
Dalam hal keutamaan laki-laki, Sayyid Muhammad Rasyîd Ridhâ mengutip gurunya, Syekh Muhammad Abduh, dengan menegaskan bahwa keutamaan laki-laki di atas perempuan, bermula dari sabab fitriah yang berpuncak pada sabab kasbiah. Secara fitriah, laki-laki lebih kuat, lebih sempurna dan lebih cantik. Struktur fisik laki-laki lebih sempurna dan lebih indah daripada perempuan. Sayyid Muhammad Rasyîd Ridhâ menyebutkan bahwa salah satu tanda kesempurnaan laki-laki adalah adanya kumis dan janggut, maka laki-laki yang tidak berkumis dan tidak berjanggut dianggapnya cacat.
Setelah kekuatan fisik dan kesempurnaannya, laki-laki juga memiliki kelebihan atas perempuan dalam hal kekuatan akal dan kejernihan pemikiran. Laki-laki dianggap sebagai sebuah potret yang lebih mampu berkreasi, berusaha dan mengatur urusan. Itulah sebabnya mereka diwajibkan untuk memegang pimpinan dalam kehidupan rumah tangga. Sebab, setiap masyarakat perlu pemimpin untuk mempersatukan kemaslahatan umum. Akan tetapi dengan kesempurnaaan fisik laki-laki seperti itu, Muhammad Abduh dalam Al-Manar-nya tidak memutlakkan kepemimpinan laki-laki terhadap perempuan, karena ayat al-Nisâ’/4 : 34 tidak menggunakan kata مـا فضـلهم عليهن atau بتـفضيلهم عليهن ( oleh karena Allah telah memberikan kelebihan kepada lak-laki), tapi menggunakan kata بما فضل الله بعضهم على بعض ( oleh karena Allah telah memberikan kelebihan di antara mereka di atas sebagian yang lain).
Dalam hal ini al-Alûsi mengemukakan bahwa ada dua hal yang menyebabkan laki-laki memimpin perempuan, yang diistilahkan dengan wahbi dan kasabi. Wahbi berarti kelebihan yang diperoleh oleh seorang laki-laki dengan sendirinya, tanpa melalui usaha, yaitu berupa pemberian dari Allah Swt. sedangkan kasabi adalah kelebihan yang diperoleh dengan jalan usaha. Dalam ayat tersebut tidak dijelaskan tentang apa saja kelebihan laki-laki atas perempuan. Hal itu dimaksudkan untuk mengisyaratkan bahwa kelebihan laki-laki atas perempuan sudah sangat jelas, sehingga tidak memerlukan lagi penjelasan secara terinci. Kaum perempuan memiliki kekurangan akal dan agama, sedangkan kaum laki-laki sebaliknya. Oleh karena itu, hanya laki-laki yang dapat menjadi Nabi dan rasul, hanya laki-laki saja yang boleh mengerjakan beberapa amalan keagamaan, seperti adzan, iqamah, khutbah Jum’at, takbir pada hari tasyriq. Laki-laki juga memiliki hak menjatuhkan talaq dan menikahkan menurut Syafi’iyah, dan menjadi saksi dalam persoalan-persoalan besar serta mendapatkan tambahan bagian dan sisa warisan, serta kelebihan-kelebihan lainnya. . Diperlukan dua orang saksi perempuan sebagai ganti seorang saksi laki-laki karena perempuan memang mempunyai sifat pelupa. Sedangkan menurut Sa’id Hawwâ, mengutip pendapat Sayyid Quthb, mengemukakan dua sebab, yaitu: Pertama, karena perempuan tidak banyak berpengalaman dalam hal transaksi, sehingga mudah lupa hal-hal yang bersifat detail. Kedua, karena sifat perempuan yang cenderung emosional, dimana sifat ini merupakan sifat yang dibutuhkan oleh seorang ibu yang harus merespon bayinya tanpa harus berpikir secara mendalam.
Sa’id Hawwâ berkomentar, tentang kenapa seorang laki-laki menjadi pemimpin, pandangannya sama dengan pandangan al-Zamakhsyarîy (akan dibicarakan pada bab berikutnya). Akan tetapi Sa’id Hawwâ menambahkan alasannya, yaitu bahwa kesempatan laki-laki untuk berpuasa selama bulan Ramadhan dan shalat setiap hari. Berbeda dengan perempuan yang tidak bisa melaksanakan seperti laki-laki karena alasan haid dan nifas.
Muhammad Mahmud Hijâzi tidak banyak berbeda dengan Muhammad Rasyîd Ridhâ. Beliau juga menghubungkan ayat ini dengan ayat-ayat tentang kewarisan dan jihad. Beliau juga menegaskan dengan redaksi lain tentang kelebihan laki-laki secara fitri, lebih sempurna secara fisik, lebih pandai, lebih menguasai emosinya. Oleh sebab itulah, laki-laki dibebani kewajiban untuk melindungi perempuan agar dia dapat melaksanakan kewajiban fitrahnya dengan baik, seperti mengandung, melahirkan dan menyusui. Akan tetapi, beliau juga menegaskan bahwa kepemimpinan bukanlah tirani dan kesewenang-wenangan, melainkan perlindungan dan pengertian.
Dalam membicarakan tentang kepemimpinan perempuan, al-Shabûni tidak hanya menghubungkan pembahasan ayat ini dengan masalah syahâdah dan jihad, sebagaimana al-Manâr, tetapi juga dengan masalah kenabian (nubuwwah), kepemimpinan (imâmah) dan wilâyah. Pendapatnya tentang kepemimpinan wanita, ternyata tidak banyak berbeda dengan Sayyid Muhammad Rasyîd Ridhâ dan Muhammad Mahmud Hijâzi dalam memberikan alasan mengapa laki-laki itu qawwâmuna ‘ala al-Nisâ’. Dalam hal tanggung jawab memberi nafkah dan bimbingan (tawjih), laki-laki lebih utama dari perempuan. Keutamaan laki-laki atas perempuan seperti itu, menurut al-Shâbûni, disebabkan oleh kelebihan kecerdasan dan keahlian manajerial laki-laki atas perempuan yang telah dianugerahkan oleh Allah Swt. Dengan kelebihan yang dimiliki oleh seorang laki-laki, maka dia dibebani dengan beberapa bentuk tanggung jawab. Yang terutama sekali ialah tanggung jawab mencari nafkah (kasb) dan kewajiban menafkahi isteri (infaq). Tugas suamilah yang bertanggung jawab memelihara, mengontrol (ri’âyah) isterinya. Untuk mendukung pendapatnya ini, beliau mengutip pendapat Abû al-Su’ud, bahwa keutamaan laki-laki atas perempuan adalah karena kecerdasannya (kamâl al-‘aql), kemampuan manajerial (husn al-tadbîr), keberanian berpendapat (wazanah al-ra’yi) dan kelebihan kekuatan fisik. Oleh karena itu kenabian (nubuwah), kepemimpinan (imâmah), wilâyah, syahâdah dan jihad dikhususkan kepada laki-laki. Sedangkan pujian diberikan kepada perempuan yang saleh (shâlihat), patuh (qânut), dan pemelihara (hafizhât), hal ini merupakan rincian kepada perempuan ketika berada di bawah kepemimpinan laki-laki. Al-Thabâthabâ’îy mengatakan bahwa yang dimaksud dengan “kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum perempuan”, oleh karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (perempuan), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka” adalah keutamaan alamiah (thabi’i) laki-laki atas perempuan, yaitu kelebihan dalam hal potensi berfikir (quwwat al-ta’aqqul) laki-laki, yang berarti keberanian, kekuatan dan kemampuan mengatasi kesulitan-kesulitan perbuatan dan sebagainya. Sedangkan kehidupan perempuan lebih sensitif dan emosional berdasarkan kelembutan dan kehalusan. dan yang dimaksud dengan “mereka telah menafkahkan sebagian hartanya” berarti mahar. Tetapi Allâmah al-Thabathabâi menafsirkan ayat ar-rijâlu qawwâmuna ala nisâ’, tidak terbatas pada kepemimpinan laki-laki. Menurutnya, kepemimpinan itu tidak menjadi hak monopoli laki-laki atas para isterinya, kecuali dalam hukum yang dibuat dari pihak laki-laki atas pihak perempuan dalam segi-segi umum yang berkaitan dengan kedua belah pihak. Oleh karena itu, ha-hal yang bersifat umum dan sosial yang berkaitan dengan keutamaan laki-laki, seperti segi kepemimpinan negara (hukûmah) dan peradilan (qadhaâ’), yang hanya akan tegak dengan ta’aqqul yang secara alamiah, lebih dimiliki oleh kaum laki-laki dibanding oleh kaum perempuan. Maka demikian juga, seperti pertahanan dan perang yang menuntut kekuatan fisik dan pemikiran, termasuk bagian kepemimpinan laki-laki.
Dengan kata lain, bahwa kepemimpinan (qawwâm) dari pihak laki-laki atas pihak perempuan dalam masyarakat pada dasarnya, menurut al-Thabathabâi, berkaitan dengan kepentingan umum bersama di antara keduanya, yang berkaitan dengan kelebihan reflektif laki-laki dan keberaniannya. Kesemuanya itu, menurut al-Thabathabâi, tanpa harus membatalkan kehendak individual perempuan dari amal atau perbuatan baiknya.. Misalnya, jika ia hendak melakukan sesuatu yang disenanginya, maka suami tidak berhak menghalanginya sedikitpun dalam hal apapun, selama hal itu bukanlah yang dilarang oleh ajaran-ajaran Islam.++ Kepemimpinan laki-laki atas perempuan, bukanlah berarti bahwa perempuan kehilangan kemerdekaan dalam memelihara hak-hak pribadi dan sosial. Akan tetapi hal ini bermakna bahwa jika laki-laki itu menafkahkan hartanya kepada seorang perempuan dalam hal istimtâ’ (memberikan kesenangan), maka perempuan itu menjadi wajib untuk mentaatinya dan memberikan segala hal yang berkaitan dengan istimtâ’ dan mubâsyarah (pergaulan suami isteri) pada saat suami sedang berada di rumah. Serta menjaga kehormatan dirinya dan harta suaminya pada saat ia tidak berada di rumah.
Muhammad al-Shâdiqîy tidak banyak berbeda dengan para mufassir di atas dalam menafsirkan ayat tentang kepemimpinan laki-laki, bahwa kepemimpinan laki-laki atas perempuan tercakup dalam hal kemaslahatan mereka, mengawasi mereka (raqâbah) dan memelihara (hurâsah) mereka. Al-Shâdiqîy berpendapat bahwa laki-laki itu adalah penjaga perempuan dalam hal setiap tuntutan kehidupan. Sebab, para laki-laki lebih cerdas akalnya, lebih kuat tubuhnya dan lebih tajam pemikirannya dibanding perempuan. Menurutnya, kepemimpinan laki-laki atas perempuan mengambil dua bentuk, yaitu kepemimpinan takwini (qawwâmiyah takwînîyah) dan kepemimpinan tasyri (qawwâmiyah tasyrî’îyah). Selanjutnya, ada satu hal yang menarik dan berbeda dengan pandangan sebagian kalangan mufassir dari pandangan al-Shâdiqîy tentang perempuan. Beliau memiliki penafsiran khusus tentang ayat “Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (perempuan)”. Beliau menulis bahwa kepemimpinan (qawwamah) di sini bukanlah karena keutamaan (tafâdhul) laki-laki atas perempuan. Menurutnya, kata hum dalam ayat tersebut berarti tafdhîl, akan tetapi tafdhîl ini mencakup keduanya, yaitu laki-laki dan perempuan. Sehingga bermakna, sebagaimana para laki-laki telah diutamakan dari segi beberapa keutamaan atas perempuan, demikian juga perempuan diutamakan dari beberapa segi keutamaan atas laki-laki. Jika tidak terjadi kebalikan tafdhîl ini, maka ungkapan dalam ayat itu berbunyi bimâ fadhdhala humullâh alayhinna, dan bukan ba’dhuhum ‘ala ba’dhin. Penyebutan kata ganti hum tidak lain adalah taghlîb.
Menurut al-Shâdiqîy kemungkinan kepemilikikan keutamaan oleh laki-laki yang tidak dimiliki oleh perempuan adalah dalam hal kekuatan fisikal laki-laki dan kelemahan fisikal perempuan serta kemuliaan perempuan dalam hal iffah. Oleh karena itu, laki-laki sebagaimana diutamakan dalam hal kecerdasan, keunggulan fisikal dan dalam kewajiban memberikan nafkah keluarga, dibebani tugas untuk memelihara perempuan. Sebaliknya, perempuan juga diutamakan atas laki-laki dalam hal keperempuanan (unûtsah) yang tidak dimiliki oleh laki-laki. , Menurutnya, pengutamaan laki-laki atas perempuan atau perempuan atas laki-laki, tidak lain hanyalah sebagai premis hikmah rabbaniyah seperti yang disebutkan dalam surâh Al-Nahl/ 16 :71;

“ Dan Allah melebihkan sebahagian kamu dari sebahagian yang lain dalam hal rezki, tetapi orang-orang yang dilebihkan (rezkinya itu) tidak mau memberikan rezki mereka kepada budak-budak yang mereka miliki, agar mereka sama (merasakan) rezki itu. Maka mengapa mereka mengingkari ni`mat Allah?”

dan dalam surâh Al-Zukhruf/ 43 :32.;

“ Apakah mereka yang membagi-bagi rahmat Tuhanmu? Kami telah menentukan antara mereka penghidupan mereka dalam kehidupan dunia, dan Kami telah meninggikan sebahagian mereka atas sebahagian yang lain beberapa derajat, agar sebahagian mereka dapat mempergunakan sebahagian yang lain. Dan rahmat Tuhanmu lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan.”

Mufassir kontemporer lainnya yang penulis jadikan rujukan adalah Quraish Shihab. Quraish Shihab berpendapat bahwa wanita adalah syaqâiq ar-rijâl (saudara kandung laki-laki) sehingga kedudukan serta hak-haknya hampir dapat dikatakan sama. Kalaupun ada yang membedakan, maka itu adalah akibat dari fungsi dan tugas-tugas utama yang dibebankan Allah kepada masing-masing jenis kelamin, sehingga perbedaan yang ada tidak mengakibatkan yang satu memiliki kelebihan di atas yang lain. Quraish Shihab mendasarkan pendapatnya ini pada Al-Qur’an surâhAli Imran: 195 yaitu :

“Maka Tuhan mereka memperkenankan permohonannya (dengan berfirman), "Sesungguhnya Aku tidak menyia-nyiakan amal orang-orang yang beramal di antara kamu, baik laki-laki atau perempuan, (karena) sebagian kamu adalah turunan dari sebagian yang lain.."
Menurutnya, ayat ini adalah usaha Al-Qur’an untuk mengikis habis segala pandangan yang membedakan laki-laki dan wanita, khususnya dalam bidang kemanusiaan. Hal ini ditegaskan lagi oleh syekh Zaki al-Barudi, bahwa bentuk nakirah dari kalimat ‘amala ‘amilin menunjukkan keumuman secara muthlak sebagaimana dalam terusan ayatnya ba’dlukum min ba’dl ( karena sebagian kamu adalah turunan dari sebagian yang lain ), laki-laki di antara kalian adalah laksana kaum perempuan di antara kalian dalam hal penerimaan ganjaran atas ketaatan dan siksaan atas kemaksiatan. Demikian pula wanita-wanita di antara kalian adalah sama dengan laki-laki di antara kalian. Mengenai kepemimpinan wanita dalam rumah tangga dan masyarakat, menurut Quraish Shihab, berawal dari perintah Al-Qur’an kepada suami istri untuk selalu diskusi dan musyawarah. Dari diskusi dan musyawarah inilah, perempuan mempunyai peluang besar untuk menegakkan kepemimpinan, karena kepemimpinan diartikan antara lain sebagai kemampuan mempengaruhi pihak lain agar dia mengarah secara sadar dan sukarela ke tujuan yang sedang dicapai. Kepemimpinan dalam setiap unit merupakan hal yang mutlak, lebih-lebih bagi setiap keluarga, karena mereka selalu bersama serta merasa memiliki pasangan dan keluarga. Memamg betul, kepemimpinan dalam rumah tangga itu dibebankan kepada suami sebagaimana dijelaskan dalam surâh al-Nisâ’/ 4: 34, namun perlu diperjelas bahwa kepemimpinan tersebut tidak secara mutlak, kepemimpinan tersebut tidak lebih dari pembagian kerja antara satu dengan yang lainnya. Peranan seorang isteri dalam rumah tangga adalah untuk menjadikan rumah tangga itu sakinah, yakni “tempat yang menenangkan dan menenteramkan seluruh anggotanya”.
Fatima Mernissi menyatakan dalam buku Le Harem Politique atau dalam bahasa Inggrisnya The Veil and TheMale Elite : A feminist Interpretation of Women’s Right in Islam, yang dikutip oleh Barbara Freyyen, Istri –itsri Nabi, mereka adalah dinamis, berpengaruh dan anggota komunitas yang giat berusaha terlibat penuh dalam urusan-urusan masyarakat muslim.
Menurut Fazlur Rahman, laki-laki bertanggung jawab atas perempuan karena Allah telah melebihkan sebagian mereka atas sebagian yang lain, karena mereka ( laki-laki ) memberi nafkah dari sebagian hartanya, bukanlah hakiki melainkan fungsional. Artinya jika seorag istri di bidang ekonomi dapat berdiri sendiri dan memberikan sumbangan bagi kepentingan rumah tangganya, maka keunggulan suaminya akan berkurang.
Amina Wadud berpendapat sejalan dengan Fazlur rahman, bahwa superioritas itu melekat pada setiap laki-laki Qawwâmûn atas perempuan, akan tetapi superioritas itu tidak dimaksudkan secara absolute melekat pada setiap laki-laki, sebab hal itu hanya terjadi secara fungsional selama yang bersangkutan memenuhi kreteria yang dijelaskan Al-Qur’an, yaitu memiliki kelebihan dan memberikan nafkah. Ayat tersebut tidak menyebut semua laki-laki secara otomatis lebih utama dari pada perempuan.
Ashgar Ali Engineer berpendapat, Qawwâmûn disebutkan sebagai pengakuan bahwa dalam realitas sejarah, kaum perempuan pada masa itu sangat rendah dan pekerjaan domestic dianggap sebagai kewajiban. Sementara laki-laki menganggap dirinya unggul, karena kekuasaan dan kemampuan mencar dan memberikannya kepada perempuan. Qawwâmûn merupakan pernyataan kontekstual bukan normatif. Seandainya Al-Qur’an menghendaki laki-laki sebagai Qawwâmûn, redaksinya akan menggunakan pernyataan yang normatif dan pasti. Mengikat semua perempuan dan semua keadaan. Akan tetapi Al-Qur’an tidak menhendaki seperti itu.
Fazlur Rahman, Amina Wadud dan Asghar Ali Engineer semuanya berupaya menginterpretasi ayat tersebut. Al-Qur’an membawa ajaran yang normatif dan kontekstual. Secara normatif Al-Qur’an membicarakan kesejajaran antara pria dan wanita, namun secara kontekstual Al-Qur’an memberikan kelebihan kepada kaum pria misalnya ayat tentang kepemimpinan ini, atau qawwâm.
Annemarie Schimmel mengatakan bahwa Al-Qur’an berbicara tentang para wanita yang shalihah dan beriman dengan kata-kata mukminat, muslimat, bahkan menyebut-nyebut mereka dengan nada yang sama dengan kaum pria yang shalihah dan beriman, lebih-lebih para wanita ini diharapkan untuk menjalankan kewajiban-kewajiban agama yang sama sebagaimana pria. Hanya ada satu orang tokoh wanita yang negatip dalam Al-Qur’an, yaitu istri Abu Lahab. Lanjut Annemarie mengatakan, Kedudukan wanita seperti yang dijelaskan dalam Al-Qur’an merupakan suatu peningkatan nyata dari keadaan yang berlangsung sebelumnya di Arab pra Islam, karena wanita zaman sekarang dapat mempertahankan dan membuat keputusan sendiri mengenai kekayaan yang mereka bawa atau yang mereka kumpulkan selama perkawinan. Sekarangpun diizinkan untk pertama kalinya wanita menerima warisan.
Berdasarkan beberapa uraian di atas, maka dapat ditarik sebuah kongklusi bahwa antara mufassir klasik dan kontemporer dalam memahami tentang kepemimpinan wanita, corak penafsirannya selalu diwarnai oleh penafsiran awalnya yaitu mengenai asal mula kejadian perempuan yang tertuang dalam surâh al-Nisâ’/ 4 :1, al-A’râf/ 7 : 189, dan al-Zumar/ 39 : 6 dan disamping tidak terlepas dari disiplin ilmu yang digeluti masing-masing.
Dari pemaparan tersebut, tampak ulama klasik secara umum sependapat bahwa Hawa, sebagai wanita pertama, tercipta dari tulang rusuk Adam, dan laki-laki adalah pemimpin dalam rumah tangganya. Sementara penafsiran ulama kontemporer lebih bervariasi. Sebagian berpendapat bahwa Hawa tercipta dari diri Adam yang berarti bahwa laki-laki adalah pemimpin dalam rumah tangganya dan sebagiannya lagi mengatakan bahwa Hawa tercipta dari jenis yang sama dengan Adam yang bermakna bahwa laki-laki dan perempuan adalah penanggungjawab dalam rumah tangganya. Keduanya harus saling bantu membantu dalam menjalankan tugas dan fungsi masing-masing.
Perbedaan penafsiran tersebut sangat dipengaruhi oleh situasi, kondisi sosial dan adat istiadat di mana mereka hidup. Oleh karenanya, perbedaan-perbedaan pendapat tersebut hendaknya dijadikan sebagai acuan untuk lebih memahami posisi wanita dalam hal keterlibatannya sebagai pemimpin, baik dalam rumah tangganya ataupun dalam lingkungan masyarakatnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar