Pasca berakhirnya reformasi, perbincangan
wacana kepemimpinan perempuan selalu memperoleh perhatian yang sangat besar
oleh banyak kalangan. Kesataraan gender antara laki-laki dan perempuan
merupakan isu besar dalam pemikiran Islam kontemporer, di samping isu demokrasi, relasi agama dan
negara. Isu itu muncul karena berawal dari keprihatinan yang sangat mendalam
atas ketertindasan kaum perempuan dan perlakuan yang tidak adil terhadap mereka
hampir dalam setiap ruang.
Sehingga kesempatan untuk menempatkan posisi di kursi parlemen, baik di
legislatif maupun di eksekutif sangat terbatas.
Keterlibatan dan keterwakilan kaum perempuan
dalam pemerintahan baik di lembaga legislatif maupun eksekutif sangatlah
penting. Karena perempuan, yang mampu dan memudahkan akses bagi persoalan
perempuan untuk mengawasi dan menyuarakan kebijakan-kebijakan yang masih tidak
adil bagi kaum perempuan.
Sejarah keterlibatan dan keterwakilan kaum
perempuan dalam pemerintahan baik di lembaga legislatif maupun eksekutif ini
sudah membuktikan, dan menjadi catatan sejarah Nabi Muhammad Saw. Beberapa
perempuan masa itu turun ke medan perang, berdiskusi di majlis-majlis dan menjadi
imam shalat.(seperti Ummu Waraqah, Ra), menjadi guru bagi kaum laki-laki,
menjadi sumber pendapatan bagi keluarga dan masyarakat, dan lain-lain.
Sejarah kepemimpinan perempuan dalam Islam
memang tidak begitu mendapat porsi pembahasan secara proporsioal. Dalam wacana
Islam di Indonesia, persoalan ini masih belum banyak dibicarakan. Intelektual
Muslim seperti Nurcholis Madjid yang akrab dipanggil Cak Nur, tokoh pembaharuan
pemikiran di Indonesia sempat mendapatkan serangan dan kritik dari kaum
peminimis karena pemikiran-pemikirannya secara spesifik masih belum menyentuh
tema-tema perempuan dalam Islam.
Aceh sebagai daerah yang paling barat di
kepulauan Nusantara, adalah daerah yang pertama kali menerima ajaran agama
Islam. Bahkan di Acehlah kesultanan Islam pertama di Indonesia berdiri, yaitu
kesultanan Perlak, yang berkuasa pada tahun 840- 1292 M. Kini wilayah tersebut
masuk ke wilayah Aceh Timur, provinsi nangru Aceh Darussalam.
Pada akhir abad ke XV arus penjajahan Barat ke
Timur sangat deras, terutama penjajahan Belanda ke Indonesia. Keinginan mereka yang sangat besar dalam mendapatkan
kekayaan dengan cara yang sangat licik yang ada di Indonesia, telah membuat orang-orang
Eropa berbondong -bondong datang ke Benua Asia. Terutama setelah Columbus
menemukan Benua Amerika dan Vasco De Gama menginjakan kakinya di negara India. Di
antara bangsa Eropa yang sangat haus akan tanah jajahan pada saat itu adalah
bangsa Portugis dan Belanda. Mereka mulai mengarahkan penaklukannya ke Malaka
dan kerajaan-kerajaan Islam yang terdapat di pantai Utara Sumatra seperti, Aru,
Pidie, Perlak, Pase, Aceh, Teumieng, dan Daya, setelah mereka menguasai Goa di
India
Alfonso d’Albuqueque seorang pelaut tersukses
berhasil menancapkan pengaruh Portugis di Timur Nusantara. Keberhasilan
menguasai Goa pada 10 Nopember 1509, tidak lantas memuaskan dahaga penaklukan
bangsa Portugis di bumi Nusantara. Sukses menduduki salah satu mercusuar Islam
Nusantara tidak serta merta membuat d’Albuqueque bangga dan Jumawa. Hari-harinya
senantiasa disbukkan oleh nafsu menguasai yang juga ditularkan ke para
pengikutnya.
Pada tahun 1509 M itulah, orang- orang Portugis
pertama kali muncul di Indonesia. Dan tempat pertama kali mereka singgahi
adalah Pedir dan Pasai (Aceh), kemudian setelah itu mereka menuju ke Malaka. Pada
tahun 1511 merebut Malaka dari Sulthan Mahmud yang Sebelumnya mereka telah
berusaha untuk megadakan hubungan dengan kota tersebut. Dan untuk itu gubernur Portugis
yang berkedudukan di Goa (India) mengirim
Lopes De Sequiera bersama 4 buah kapal ke wilayah tersebut. di
samping itu juga untuk mengadakan persahabatan dengan sulthan dan menetap di
sana sebagai wakil raja Portugal disebelah timur India.
Kedatangan Empat kapal Portugis di bawah
pimpinan Diogo Lopes de Sequira di pantai Aceh, menandai fajar baru hubugan diplomatik
yang dibangun oleh Portugis. Kedatangan utusan Portugis disambut oleh para
pemuka Kerajaan Aceh dengan rama. Namun keramahan ini pun tidak bertahan lama
dan berubah menjadi kekhawatiran tiga tahun kemudian, terlebih saat Portugis
berhasil menguasai Malaka. Biarpun sudah merebut kunci perdagangan Asia
tenggara, tidak lantas membuat Portugis seenaknya berlenggang tangan menantang
kekuatan-keuatan sekitarnya. Sebalikya, justru mereka cendrung mengamankan diri
terlebih dahulu dengan menghiasi Malaka dengan benteng laut yang kuat. Begitu
pula dengan Aceh, belum ada tindakan yang faktual pasca jatuhnya pusat
perdagangan di Negeri Bawah Angin ini.
Keadaan Kerajaan Aceh seperti itu tidak
berlangsung lama, setelah Portugis berhasil membangun pos dagang di beberapa
pelabuhan Aceh. Mereka berhasil membangun hubungan perdagangan dengan beberapa
pemguasa lokal dengan cara membangun beberapa kantor yang dilengkapi dengan
persenjataan. Pada tahun 1521, setelah sebelumnya terlibat dalam perang saudara
Kerajaan Pasai, Portugis mampu menyisihkan Sultan Zainal Abidin Raja pasai
sebelumnya, dan mendirikan benteng yang kuat di kerajaan itu. Begitu pun dengan
yang terjadi di Pedir, Portugis berhasil melemahkan raja Pedir yang dilanjutkan
dengan membangun basis militer yang kuat. Jatuhnya dua kerajaan ini semakin
menyemburkan rasa kemarahan rakyat Aceh. Dan hal ini ditafsirkan sebagai seruan
untuk memanggul senjata dan mengusir bangsa Portugis dari tanah Aceh.
Daerah Aceh yang terletak di ujung bagian
utara pulau Sumatera, sebagai bagian paling ke barat dan paling utara dari
kepulauan Indonesia, atau antara 95° 13' dan 98° 17' bujur timur dan 2° 48' dan
5° 40' lintang utara, merupakan pintu gerbang sebelah barat kepulauan
Indonesia. Maka dalam sejarahnya daerah Aceh telah banyak didatangi oleh
berbagai suku bangsa asing terutama dalam kaitan dengan hal perdagangan dan
diplomasi. Namun di antara para pendatang asing tersebut dalam perkembangannya
telah mempraktekkan sistem kolonialisme dan imperialisme di kawasan tersebut.
Maka oleh karena itu, telah menimbulkan reaksi dari pihak Aceh berupa
perlawanan-perlawanan terhadap bangsa-bangsa yang mempraktekkan sistem tersebut,
dalam rangka mempertahankan eksistensi mereka.
Kerajaan Aceh terletak di ujung utara pulau
sumatra yang sekarang dikenal dengan kabupaten Aceh Besar, yang dalam bahasa
Aceh disebut Aceh rayeuk, Aceh Leesage, (Aceh Tiga Sagi), Aceh Inti (Aceh
Prover). Disebut demikian, karena daerah itulah pada mulanya menjadi inti
kerajaan Aceh, dan di situlah ibu Kota Kerajaan yang bernama Bandar Aceh atau
secara lengkap Bandar Aceh Darussalam.
Didalam Bustậnus Salậthin,
yang dikutip oleh Hosein Djajadiningrat, sulthan pertama kali di Aceh
adalah Ali Mughayat Syah, Ia naik takhta pada tahun 913H dan memerintah sampai
tahun 928H. Sebelumnya tidak ada sulthan di Aceh, yang ada hanyalah kepada
daerah yang mempunyai kekuasaan lokal. Di
bawah sulthan Ali Mughayat Syah, Aceh berhasil membebaskan dari kekuasaan
Pedir, dan kemudian menyatukan kegiatan perdagangan di sekitarnya dengan
memusatkan di pelabuhan saja. Karena sebelumnya kegiatan perdagangan dipusatkan
di kawasan itu berada di pelabuhan-pelabuhan di sekitarnya, yaitu Daya, Pedir,
dan Samudra Pase. Dengan demikian di bawah sulthannya yang pertama, kerajaan
Aceh telah mendapatkan seorang pemimpin yang tangguh dan berhasil meletakkan
pondasi bagi perkembangan kerajaan Aceh untuk pertama kalinya.
Sulthan lain yang besar jasanya dalam membina
kerjaan Aceh adalah sulthan Alauddin
Riayat Syah atau dikenal dengan al-Kahhar. Ia memerintah sejak tahun 1563 -1571
M. yang
mana sebelumnya adalah Sulthan Salahuddin, kakak dari Sulthan Alauddin, namun
dia tidak mampu untuk memegang tampuk pemerintahan. Di bawah sulthan ini, kerajaan Aceh mulai
melakukan perluasan kekuasaan yang ditunjukan agar supaya memonopoli
perdagangan di sana, terutama perdagangan lada. Selain ke pantai Barat, pantai
bagian timur sumatra juga menjadi sasaran ekspansi Aceh. Kerajaan Aru yang
sering berhubungan dengan Portugis di Malaka ditaklukannya pada tahun 1539 M.
Anak sulthan Al-Kahhar yang bernama Abdullah diangkat sebagai Sulthan di sana.
Puncak perkembangan kerajaan Aceh terjadi pada
masa sulthan Iskandar Muda (1607-1637M), masa ini merupakan masa kejayaan
kerajaan Aceh, baik dibidang politik maupun di bidang ekonomi. Ekspansi-ekspansi
teritorialnya ke daerah - daerah tetangganya yang pernah dilakukan pada masa
sulthan Alaudin Riayat Syah Al-Kahhar terulang kembali. Ia telah berhasil
menaklukan sejumlah kerajaan di sekitar Selat Malaka dan di pantai Barat pulau
Sumatra.
Anthony Reid, yang dikutip oleh Hasjmy, pernah melukiskan bahwa
kerajaan Aceh di Zaman Iskandar Muda yang gagah berani dan brilian (1607-1631M.)
kekuatan dan kebesaran Aceh baik di dalam maupun di luar negri, telah mencapai
puncaknya. Pengawasan kerajaan berjalan efektif sekali terhadap
pelabuhan-pelabuhan penting di sepanjang pantai barat Sumatra, seperti halnya
di pantai timur sampai ke selatan Asahan. Perjalanan penaklukannya mencapai
sejauh Pahang di pantai semenanjung Melayu, sementara perdagangan luar negrinya
telah merealisir segala cita-citanya, sedangkan Istananya yang besar dan Agung
adalah pusat kegiatan ilmu dan kesarjanaan yang tidak ada bandingannya di pulau
Sumatra pada waktu itu.
Di dalam Bustậnus Salậthin, yang
dikutip oleh Muhammad Said, Iskandar Muda mangkat pada hari sabtu waktu lohor
pada tahun 1046 H. Dan dicatat oleh ar-Raniri pada hari itu juga tanggal 29
Rajab, sulthan bungsu (Husein Syah) naik tahta dengan gelar Iskandar Thani
Alaudin Mughayat Syah. Iskandar Thani di atas tahta sebentar, hanya kurang
lebih 5 tahun. Sulthan ini (Iskandar Thani Alaudin Mughayat Syah) sangat baik
dan adil. Banyak hukum agama diperintahkannya untuk dipatuhi dan dijalankan dengan
baik, dan yang bid’ah serta yang haram dilarang. Veth juga yang dikutip oleh
Muhammad said, menekankan bahwa dengan tegasnya hukum-hukum Islam dijalankan
oleh Raja Aceh. Kerajaan Islam pertama di Indonesia.
Pada zaman Iskandar Thani, kerajaan Aceh dan
semenanjung Melayu mengalami satu zaman yang berbeda dengan apa yang dialami
oleh sebelumnya yaitu Iskandar Muda. Secara khusus Aceh pada masa Iskandar
Thani tidak lagi mengikuti satu dasar yang militan. Sebagai seorang raja yang wara,
Iskandar Thani menumpukan perhatiannnya ke arah pembangunan masyarakat dan mengembangkan
pendidikan Islam.
Pada 15 februari 1641 Iskandar Thani wafat,
kurang lebih sebulan sesudahnya kekuasaan Portugis di Malaka. Sejak itu nasib
kerajaan Aceh dan rakyatnya langsug berubah. Secara khusus, kerajaan Aceh tidak
lagi merupakan kerajaan yang betul-betul disegani, melainkan di daerah inti dan
daerah pokok yaitu Pidie, Perlak, Pase, dan lain-lain. Pemeritahan Ratu
berjalan sekitar 59 tahun, bermula dari janda Iskandar Thani yang bergelar
sulthanah Tajul Alam Shafiyyatuddīn Shāh (1641-1675), mengakibatkan kekuasaan
Aceh semakin menurun di bidang politik, ekonomi, dan militer, tetapi masih berkembang
dalam bidang ilmu pengetahuan, kebudayaan, dan seni budaya.
Menelusuri jejak perjalanan sejarah Islam, ada
sosok-sosok perempuan yang telah tampil menjadi pemimpin pemerintahan.
Pemimpin-pemimpin perempuan ini telah menjadi fakta sejarah keterlibatan perempuan
dalam dunia politik. Beberapa fakta sejarah tentang keterlibatan perempuan
dalam dunia politik, seperti ratu Shajarah al-Durr dari Dinasti Mamalik dan
kepemimpinan ratu Balqis di negeri Saba. Begitu juga Kesultanan Aceh pada abad
ke-17 telah memperlihatkan kepada dunia bahwa ia merupakan salah satu
Kesultanan Islam yang memperbolehkan perempuan untuk memimpin Kesultanan.
Setidaknya ada empat perempuan yang memimpin Kesultanan Aceh Darussalam, yang
dimulai dari penguasa keempat belas, yaitu Sulthanah Tajul Alam Shafiyyatuddīn
Shāh (1641-1675 M), SulthanahNurul Alam
Nakiyatuddin Shāh (1675-1678 M), Sulthanah
Inayat Shāh Zakiyatuddin Shāh (1678-1688 M), dan Sulthanah Kamalat
Shāh (1688-1699 M).
Diangkatnya Shafiyatuddin menjadi Sulthanah di
Kesultanan Aceh Darussalam menimbulkan polemik besar dan bahkan menuai konflik
yang luar biasa di kalangan ulama Wujudiyah dan Safi’yah di Aceh
kala itu. Ulama Wujudiyah sangat menentang kepemimpinan perempuan di
Aceh, akan tetapi setelah mangkat ultan Iskandar Muda dan para ulama Wujudiyah
tidak punya lagi kekuatan politis, akibat kuatnya pengaruh ar-Raniri waktu
itu menjabat sebagai Qadli Malikul Adil (mufti) Kerajaan Aceh sejak
naiknya Iskandar Tsani.
Perjalanan kepemimpinan perempuan di Aceh ini
berakhir sejak mufti Makkah melarang perempuan menjadi raja.
Menurut Azyumardi Azra, berakhirnya kekuasaan para ratu di Kesultanan Aceh
karena adanya intervensi dari Timur Tegah, persisnya dari Makkah. Atas nama
hukum Islam dan ortodoksi, Mufti Makkah mengeluarkan fatwa tentang larangan perempuan
menjadi raja.
Namun, fenomena kepemimpinan empat periode perempuan di Kesultanan Aceh
Darrussalam tersebut telah menjadi sebuah dalil sejarah yang mengabsahkan perempuan
sebagai seorang pemimpin. Hal ini timbul dari anggapan bahwa ulama termahsyur
pada zaman tersebut yang berkedudukan sebagai Mufti dianggap menyetujui
kepemimpinan perempuan sebagai Sulthnah di Aceh. Memang dalam Kesultanan Aceh
Darussalam, hak perempuan untuk memegang jabatan-jabatan apa saja dalam
kerajaan diakui dalam Qanun Meukota Alam.
yang membolehkan kaum perempuan menduduki segala jabatan dalam lembaga negara.
Sulthanah shafiyyatuddīn Shāh merupakan perempuan pertama yang diangkat
menjadi Sulthnah di Kesultanan Aceh Darussalam. Dia telah berhasil memerintah
Kesultanan Aceh selama 34 tahun, masa yang cukup lama, terutama bagi seorang perempuan.
Dalam kondisi yang penuh dengan politik intrik asing dan ancaman berupa
penghianatan dari tokoh-tokoh yang ingin merebut tahta, maka menurut Mohammad
Said masa 34 tahun itu tidak akan dapat dilampaui dengan selamat oleh Sultanah
Shafiyyatuddīn Shāh tanpa suatu kelebihan dalam kepribadiannya.
Meskipun kebesaran Kesultanan Aceh pada masa Sulthan Iskandar Muda tidak
berhasil dicapainya kembali, tetapi
prestasinya sebagai ratu cukup besar. Sulthanah Shafiyyatuddīn Shāh telah berhasil mengadakan pembaharuan dalam pemerintahan,
memperluas pengertian demokrasi yang kurang disadari oleh kaum laki-laki.
Dalam menilai Ratu Tajul Alam Shafiyyatuddīn
Shāh, Muhammad Said menulis, bahwa, Tajul
Alam adalah seorang negarawan, dan sama sekali bukan seorang militer, sayang
sekali setiap kebijakannya belum pernah menjadi perhatian, mungkin karena ia
seorang perempuan dan mungkin karena kebesaran ayahnya yang tidak berhasil
dicapai kembali, apalagi kalau kita menyadari akan prestasi gemilang yang telah
dicapainya. Akan tetapi sungguhpun demikian, sebagai perempuan yang prestasi
yang telah dicapainya sebagai ratu adalah cukup besar. Kecuali ratu Elizabet
dari Inggris, di sekitar zaman itu tidak terdengar peranan seorang raja
perempuan yang sedemikian mengagumkan seperti Tajul Alam ini.
Kerajaan Aceh Darussalam telah mengambil dan
menjadikan Islam sebagai dasar negaranya, dan telah terbukti membangun
peradaban yang tinggi di kawasan
kepulauan Nusantara, terutama Sumatra. Maka
dengan demikian, meskipun selama 59 tahun di bawah pemerintahan para Ratu kebesaran
Aceh menurun dalam beberapa hal, namun selama masa itu, kerajaan Aceh Darussalam
masih berjalan cukup teratur, bahkan, ada hal – hal yang dianggap suatu
keberhasilan paling tidak sama halnya dengan apa yang dilakukan oleh
pendahulunya.
Untuk membahas lebih dalam tentang sejarah tentang
kedudukan Sulthanah Shafiyyatuddīn Shāh sebagai
pemimpin perempuan Kesultanan Aceh setelah Sulthan Iskandar Thānī meninggal
dunia, perlu dikaji lebih mendalam dengan kemasan penelitian. Maka tesis ini
mengambil judul “ Kepemimpinan Shulthanah Shafiyyatuddīn Shāh di Kesultanan
Aceh Darusssalam Tahun 1641-1675 M”.
Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa
yang dimaksud penelitian ini adalah kepemimpinan sulthanah Shafiyyatuddīn Shāh
dalam dalam mengatur roda pemerintahan di Aceh pada tahun 1641-175 M. Yang mana
secara politis pada masa itu Portugis dan Belanda sudah bercokol di Aceh dan
secara hukum, banyak para ulama yang tidak setuju dan tidak mendukung atas
pemimpin perempuan, sehingga terjadi prokontra atau perdebatan atas kepemiminan
perempuan itu sendiri.
Dengan demikian dapat diidentifikasi
permasalahannya, bahwa dengan kepemimpinan seorang perempuan dan bercokolnya
bangsa Portugis dan Belanda, sulthanah Shafiyyatuddīn Shāh dapat menjalankan roda pemerintahnya.