Rabu, 01 Januari 2020

PENGERTIAN KEPEMIMPINAN



1.    Menurut Bahasa.
Kepemimpinan dalam bahasa arab berarti riâsah ( رئاسة ) berasal dari akar kata ra’s ( رأس ) yang berarti kepala. Dalam surâh Maryam/ 19 : 4, disebutkanواشتعـل الرأس شيبا  (dan kepalaku telah ditumbuhi uban.) Kata pluralnya  (jama’), ru’us ( رؤوس ). Dalam surâh al-Baqarah/ 2 : 196, disebutkan ولاتحلقوا رؤوسكم  (..dan jangan kamu mencukur kepalamu,...).[1] Kata ra’s ( رأس ) juga bisa berarti atasan segala sesuatu atau pemimpin suatu kaum, diambil dari akar kata ra’asa- yar’asu ( رأس – يرأس   ) yang berarti memimpin dalam memajukan dan mengatur kaumnya.[2]
Dalam kamus bahasa Indonesia, Kepemimpinan berasal dari kata dasar pimpin yang berarti keadaan memimpin. Kata pimpin mendapat awalan me- menjadi memimpin yang berarti; 1) Memegang tangan seseorang sambil berjalan (untuk menuntun, menunjukkan jalan dan sebagainya), 2) Mengetuai atau mengepalai, 3) Memandu, 4) Memenangkan paling banyak dan 5) Melatih (mendidik, mengajar), kemudian mendapat awalan pe-menjadi pemimpin yang berarti orang yang memimpin, orang yang ditunjuk untuk memimpin atau buku petunjuk dan selanjutnya mendapat awalan dan akhiran ke-an menjadi kepemimpinan (leadership)  yang berarti perihal memimpin,[3] kegiatan memimpin.[4]
2.    Menurut Istilah
Dalam Al-Qur’an ada dua istilah yang menujukkan kepada arti ”Pemimipin”, yaitu ; Imam dan Khalifah. Kata Imam ini berasal dari akar kata أم – يـؤم  yang berarti menuju, memimpin dan meneladani.  Adapun kata khalifah berasal dari kata خلف yang berarti di belakang. Maka dari sini kata khalifah  sering diartikan dengan pengganti, karena pengganti selalu berada di belakang. Dan datang sesudah yang digantikan.[5]
Al-Tabrasi, seperti yang dikutip oleh Quresy Syihab, memberikan komentar bahwa antara Imam dan Khalifah mempunyai pengertian yang sama, hanya kata Imam digunakan untuk keteladanan, karena terambil dari kata yang mengandung arti depan, berbeda dengan Khalifah yang mempunyai arti belakang.[6]
Adapun kepemimpinan yang dimaksud dalam tesis ini adalah perihal atau keadaan perempuan dalam memimpin atau memegang suatu jabatan, baik formal maupun non formal.


[1].al-Râghib al-Asfahâni, Mu’jam mufradat alfadz Al-Qur’an, ( Beirut : Dar al-Fikr, tt ), Ct.I, Hal.187
[2] al-Faerûz Abâdî, al-Muhith, ( Beirut ; Dar al-Fikr, 1995 ), Ct.I, Hal.492
[3]Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia ( Jakarta; Balai Pustaka, 1989), Ct.II, Hal. 684.
[4]Hadari Nawawi dan M. Martini Hadari mendefenisikan kepemimpinan dari segi organisasi itu sebagai kemampuan/kecerdasan mendorong sejumlah orang (dua orang atau lebih) agar bekerjasama dalam melaksanakan kegiatan-kegiatan yang terarah pada tujuan bersama. Adapun unsur-unsur kepemimpinan dikemukakannya antara lain: 1) Adanya seseorang yang berfungsi sebagai pemimpin (leader), 2) Adanya orang lain yang dipimpin, 3) Adanya kegiatan menggerakkan orang lain yang dilakukan dengan mempengaruhi dan mengarahkan perasaan, pikiran dan tingkah lakunya, 4) Adanya tujuan yang hendak dicapai, baik yang dirumuskan secara sistematis maupun bersifat seketika dan 5) Berlangsung berupa proses di dalam kelompok/organisasi, baik besar dengan banyak maupun kecil dengan sedikir orang-orang yang dipimpin. Lihat, Hadari Nawawi dan M. Martini Hadari, Kepemimpinan Yang Efektif (Yogjakarta: Gajah Mada University Press, 1995), Cet. II, Hal. 9 dan 15.  
[5].Quresy Syihab, Secercah Cahaya Ilahi, Hidup bersama Al-Qur’an, ( Mizan : Bandung, 2001, Ct. II, Hal. 47
[6] Oleh karena itu Quresy Syihab menambahkan, bahwa kepemimpinan bukan keistimewaan, tetapi tanggung jawab, bukan fasilitas tapi pengorbanan, bukan leha-leha, tapi kerja keras, bukan kesewenang-wenangan bertindak, tapi kepuasaan dalam melayani. Kepemimpinan adalah keteladanan berbuat dan kepeloporan bertindak. Lihat, Ibid

Kamis, 11 Juli 2019

KEPEMIMPINAN PEREMPUAN DALAM ISLAM

Pasca berakhirnya reformasi, perbincangan wacana kepemimpinan perempuan selalu memperoleh perhatian yang sangat besar oleh banyak kalangan. Kesataraan gender antara laki-laki dan perempuan merupakan isu besar dalam pemikiran Islam kontemporer,  di samping isu demokrasi, relasi agama dan negara. Isu itu muncul karena berawal dari keprihatinan yang sangat mendalam atas ketertindasan kaum perempuan dan perlakuan yang tidak adil terhadap mereka hampir dalam setiap ruang.[1] Sehingga kesempatan untuk menempatkan posisi di kursi parlemen, baik di legislatif maupun di eksekutif sangat terbatas. 
Keterlibatan dan keterwakilan kaum perempuan dalam pemerintahan baik di lembaga legislatif maupun eksekutif sangatlah penting. Karena perempuan, yang mampu dan memudahkan akses bagi persoalan perempuan untuk mengawasi dan menyuarakan kebijakan-kebijakan yang masih tidak adil bagi kaum perempuan.[2] 
Sejarah keterlibatan dan keterwakilan kaum perempuan dalam pemerintahan baik di lembaga legislatif maupun eksekutif ini sudah membuktikan, dan menjadi catatan sejarah Nabi Muhammad Saw. Beberapa perempuan masa itu turun ke medan perang, berdiskusi di majlis-majlis dan menjadi imam shalat.(seperti Ummu Waraqah, Ra), menjadi guru bagi kaum laki-laki, menjadi sumber pendapatan bagi keluarga dan masyarakat, dan lain-lain.[3] 
Sejarah kepemimpinan perempuan dalam Islam memang tidak begitu mendapat porsi pembahasan secara proporsioal. Dalam wacana Islam di Indonesia, persoalan ini masih belum banyak dibicarakan. Intelektual Muslim seperti Nurcholis Madjid yang akrab dipanggil Cak Nur, tokoh pembaharuan pemikiran di Indonesia sempat mendapatkan serangan dan kritik dari kaum peminimis karena pemikiran-pemikirannya secara spesifik masih belum menyentuh tema-tema perempuan dalam Islam. [4] 
Aceh sebagai daerah yang paling barat di kepulauan Nusantara, adalah daerah yang pertama kali menerima ajaran agama Islam. Bahkan di Acehlah kesultanan Islam pertama di Indonesia berdiri, yaitu kesultanan Perlak, yang berkuasa pada tahun 840- 1292 M. Kini wilayah tersebut masuk ke wilayah Aceh Timur, provinsi nangru Aceh Darussalam.[5] 
Pada akhir abad ke XV arus penjajahan Barat ke Timur sangat deras, terutama penjajahan Belanda ke Indonesia. Keinginan  mereka yang sangat besar dalam mendapatkan kekayaan dengan cara yang sangat licik yang ada di Indonesia, telah membuat orang-orang Eropa berbondong -bondong datang ke Benua Asia. Terutama setelah Columbus menemukan Benua Amerika dan Vasco De Gama menginjakan kakinya di negara India. Di antara bangsa Eropa yang sangat haus akan tanah jajahan pada saat itu adalah bangsa Portugis dan Belanda. Mereka mulai mengarahkan penaklukannya ke Malaka dan kerajaan-kerajaan Islam yang terdapat di pantai Utara Sumatra seperti, Aru, Pidie, Perlak, Pase, Aceh, Teumieng, dan Daya, setelah mereka menguasai Goa di India [6] 
Alfonso d’Albuqueque seorang pelaut tersukses berhasil menancapkan pengaruh Portugis di Timur Nusantara. Keberhasilan menguasai Goa pada 10 Nopember 1509, tidak lantas memuaskan dahaga penaklukan bangsa Portugis di bumi Nusantara. Sukses menduduki salah satu mercusuar Islam Nusantara tidak serta merta membuat d’Albuqueque bangga dan Jumawa. Hari-harinya senantiasa disbukkan oleh nafsu menguasai yang juga ditularkan ke para pengikutnya.[7]
Pada tahun 1509 M itulah, orang- orang Portugis pertama kali muncul di Indonesia. Dan tempat pertama kali mereka singgahi adalah Pedir dan Pasai (Aceh), kemudian setelah itu mereka menuju ke Malaka. Pada tahun 1511 merebut Malaka dari Sulthan Mahmud yang Sebelumnya mereka telah berusaha untuk megadakan hubungan dengan kota tersebut. Dan untuk itu gubernur Portugis yang berkedudukan di Goa (India) mengirim  Lopes De Sequiera bersama 4 buah kapal ke wilayah tersebut. [8]di samping itu juga untuk mengadakan persahabatan dengan sulthan dan menetap di sana sebagai wakil raja Portugal disebelah timur India. [9]
Kedatangan Empat kapal Portugis di bawah pimpinan Diogo Lopes de Sequira di pantai Aceh, menandai fajar baru hubugan diplomatik yang dibangun oleh Portugis. Kedatangan utusan Portugis disambut oleh para pemuka Kerajaan Aceh dengan rama. Namun keramahan ini pun tidak bertahan lama dan berubah menjadi kekhawatiran tiga tahun kemudian, terlebih saat Portugis berhasil menguasai Malaka. Biarpun sudah merebut kunci perdagangan Asia tenggara, tidak lantas membuat Portugis seenaknya berlenggang tangan menantang kekuatan-keuatan sekitarnya. Sebalikya, justru mereka cendrung mengamankan diri terlebih dahulu dengan menghiasi Malaka dengan benteng laut yang kuat. Begitu pula dengan Aceh, belum ada tindakan yang faktual pasca jatuhnya pusat perdagangan di Negeri Bawah Angin ini. [10]
Keadaan Kerajaan Aceh seperti itu tidak berlangsung lama, setelah Portugis berhasil membangun pos dagang di beberapa pelabuhan Aceh. Mereka berhasil membangun hubungan perdagangan dengan beberapa pemguasa lokal dengan cara membangun beberapa kantor yang dilengkapi dengan persenjataan. Pada tahun 1521, setelah sebelumnya terlibat dalam perang saudara Kerajaan Pasai, Portugis mampu menyisihkan Sultan Zainal Abidin Raja pasai sebelumnya, dan mendirikan benteng yang kuat di kerajaan itu. Begitu pun dengan yang terjadi di Pedir, Portugis berhasil melemahkan raja Pedir yang dilanjutkan dengan membangun basis militer yang kuat. Jatuhnya dua kerajaan ini semakin menyemburkan rasa kemarahan rakyat Aceh. Dan hal ini ditafsirkan sebagai seruan untuk memanggul senjata dan mengusir bangsa Portugis dari tanah Aceh. [11]
Daerah Aceh yang terletak di ujung bagian utara pulau Sumatera, sebagai bagian paling ke barat dan paling utara dari kepulauan Indonesia, atau antara 95° 13' dan 98° 17' bujur timur dan 2° 48' dan 5° 40' lintang utara, merupakan pintu gerbang sebelah barat kepulauan Indonesia. Maka dalam sejarahnya daerah Aceh telah banyak didatangi oleh berbagai suku bangsa asing terutama dalam kaitan dengan hal perdagangan dan diplomasi. Namun di antara para pendatang asing tersebut dalam perkembangannya telah mempraktekkan sistem kolonialisme dan imperialisme di kawasan tersebut. Maka oleh karena itu, telah menimbulkan reaksi dari pihak Aceh berupa perlawanan-perlawanan terhadap bangsa-bangsa yang mempraktekkan sistem tersebut, dalam rangka mempertahankan eksistensi mereka.[12]
Kerajaan Aceh terletak di ujung utara pulau sumatra yang sekarang dikenal dengan kabupaten Aceh Besar, yang dalam bahasa Aceh disebut Aceh rayeuk, Aceh Leesage, (Aceh Tiga Sagi), Aceh Inti (Aceh Prover). Disebut demikian, karena daerah itulah pada mulanya menjadi inti kerajaan Aceh, dan di situlah ibu Kota Kerajaan yang bernama Bandar Aceh atau secara lengkap Bandar Aceh Darussalam.[13]
Didalam Bustậnus Salậthin[14], yang dikutip oleh Hosein Djajadiningrat, sulthan pertama kali di Aceh adalah Ali Mughayat Syah, Ia naik takhta pada tahun 913H dan memerintah sampai tahun 928H. Sebelumnya tidak ada sulthan di Aceh, yang ada hanyalah kepada daerah yang mempunyai kekuasaan lokal.[15] Di bawah sulthan Ali Mughayat Syah, Aceh berhasil membebaskan dari kekuasaan Pedir, dan kemudian menyatukan kegiatan perdagangan di sekitarnya dengan memusatkan di pelabuhan saja. Karena sebelumnya kegiatan perdagangan dipusatkan di kawasan itu berada di pelabuhan-pelabuhan di sekitarnya, yaitu Daya, Pedir, dan Samudra Pase. Dengan demikian di bawah sulthannya yang pertama, kerajaan Aceh telah mendapatkan seorang pemimpin yang tangguh dan berhasil meletakkan pondasi bagi perkembangan kerajaan Aceh untuk pertama kalinya. [16]
Sulthan lain yang besar jasanya dalam membina kerjaan Aceh adalah sulthan  Alauddin Riayat Syah atau dikenal dengan al-Kahhar. Ia memerintah sejak tahun 1563 -1571 M. [17] yang mana sebelumnya adalah Sulthan Salahuddin, kakak dari Sulthan Alauddin, namun dia tidak mampu untuk memegang tampuk pemerintahan.[18]  Di bawah sulthan ini, kerajaan Aceh mulai melakukan perluasan kekuasaan yang ditunjukan agar supaya memonopoli perdagangan di sana, terutama perdagangan lada. Selain ke pantai Barat, pantai bagian timur sumatra juga menjadi sasaran ekspansi Aceh. Kerajaan Aru yang sering berhubungan dengan Portugis di Malaka ditaklukannya pada tahun 1539 M. Anak sulthan Al-Kahhar yang bernama Abdullah diangkat sebagai Sulthan di sana.
Puncak perkembangan kerajaan Aceh terjadi pada masa sulthan Iskandar Muda (1607-1637M), masa ini merupakan masa kejayaan kerajaan Aceh, baik dibidang politik maupun di bidang ekonomi. Ekspansi-ekspansi teritorialnya ke daerah - daerah tetangganya yang pernah dilakukan pada masa sulthan Alaudin Riayat Syah Al-Kahhar terulang kembali. Ia telah berhasil menaklukan sejumlah kerajaan di sekitar Selat Malaka dan di pantai Barat pulau Sumatra. [19]
Anthony Reid,  yang dikutip oleh Hasjmy, pernah melukiskan bahwa kerajaan Aceh di Zaman Iskandar Muda yang gagah berani dan brilian (1607-1631M.) kekuatan dan kebesaran Aceh baik di dalam maupun di luar negri, telah mencapai puncaknya. Pengawasan kerajaan berjalan efektif sekali terhadap pelabuhan-pelabuhan penting di sepanjang pantai barat Sumatra, seperti halnya di pantai timur sampai ke selatan Asahan. Perjalanan penaklukannya mencapai sejauh Pahang di pantai semenanjung Melayu, sementara perdagangan luar negrinya telah merealisir segala cita-citanya, sedangkan Istananya yang besar dan Agung adalah pusat kegiatan ilmu dan kesarjanaan yang tidak ada bandingannya di pulau Sumatra pada waktu itu.[20]
Di dalam Bustậnus Salậthin, yang dikutip oleh Muhammad Said, Iskandar Muda mangkat pada hari sabtu waktu lohor pada tahun 1046 H. Dan dicatat oleh ar-Raniri pada hari itu juga tanggal 29 Rajab, sulthan bungsu (Husein Syah) naik tahta dengan gelar Iskandar Thani Alaudin Mughayat Syah. Iskandar Thani di atas tahta sebentar, hanya kurang lebih 5 tahun. Sulthan ini (Iskandar Thani Alaudin Mughayat Syah) sangat baik dan adil. Banyak hukum agama diperintahkannya untuk dipatuhi dan dijalankan dengan baik, dan yang bid’ah serta yang haram dilarang. Veth juga yang dikutip oleh Muhammad said, menekankan bahwa dengan tegasnya hukum-hukum Islam dijalankan oleh Raja Aceh. Kerajaan Islam pertama di Indonesia.[21]
Pada zaman Iskandar Thani, kerajaan Aceh dan semenanjung Melayu mengalami satu zaman yang berbeda dengan apa yang dialami oleh sebelumnya yaitu Iskandar Muda. Secara khusus Aceh pada masa Iskandar Thani tidak lagi mengikuti satu dasar yang militan. Sebagai seorang raja yang wara, Iskandar Thani menumpukan perhatiannnya ke arah pembangunan masyarakat dan mengembangkan pendidikan Islam.[22]
Pada 15 februari 1641 Iskandar Thani wafat[23], kurang lebih sebulan sesudahnya kekuasaan Portugis di Malaka. Sejak itu nasib kerajaan Aceh dan rakyatnya langsug berubah. Secara khusus, kerajaan Aceh tidak lagi merupakan kerajaan yang betul-betul disegani, melainkan di daerah inti dan daerah pokok yaitu Pidie, Perlak, Pase, dan lain-lain. Pemeritahan Ratu berjalan sekitar 59 tahun, bermula dari janda Iskandar Thani yang bergelar sulthanah Tajul Alam Shafiyyatuddīn Shāh (1641-1675), mengakibatkan kekuasaan Aceh semakin menurun di bidang politik, ekonomi, dan militer, tetapi masih berkembang dalam bidang ilmu pengetahuan, kebudayaan, dan seni budaya.[24]
Menelusuri jejak perjalanan sejarah Islam, ada sosok-sosok perempuan yang telah tampil menjadi pemimpin pemerintahan. Pemimpin-pemimpin perempuan ini telah menjadi fakta sejarah keterlibatan perempuan dalam dunia politik. Beberapa fakta sejarah tentang keterlibatan perempuan dalam dunia politik, seperti ratu Shajarah al-Durr dari Dinasti Mamalik dan kepemimpinan ratu Balqis di negeri Saba. Begitu juga Kesultanan Aceh pada abad ke-17 telah memperlihatkan kepada dunia bahwa ia merupakan salah satu Kesultanan Islam yang memperbolehkan perempuan untuk memimpin Kesultanan.[25] Setidaknya ada empat perempuan yang memimpin Kesultanan Aceh Darussalam, yang dimulai dari penguasa keempat belas, yaitu Sulthanah Tajul Alam Shafiyyatuddīn Shāh  (1641-1675 M), SulthanahNurul Alam Nakiyatuddin Shāh  (1675-1678 M), Sulthanah Inayat Shāh  Zakiyatuddin Shāh  (1678-1688 M), dan Sulthanah Kamalat Shāh  (1688-1699 M).[26]
Diangkatnya Shafiyatuddin menjadi Sulthanah di Kesultanan Aceh Darussalam menimbulkan polemik besar dan bahkan menuai konflik yang luar biasa di kalangan ulama Wujudiyah dan Safi’yah di Aceh kala itu. Ulama Wujudiyah sangat menentang kepemimpinan perempuan di Aceh, akan tetapi setelah mangkat ultan Iskandar Muda dan para ulama Wujudiyah tidak punya lagi kekuatan politis, akibat kuatnya pengaruh ar-Raniri waktu itu menjabat sebagai Qadli Malikul Adil (mufti) Kerajaan Aceh sejak naiknya Iskandar Tsani. [27]
Perjalanan kepemimpinan perempuan di Aceh ini berakhir sejak mufti Makkah melarang perempuan menjadi raja.[28] Menurut Azyumardi Azra, berakhirnya kekuasaan para ratu di Kesultanan Aceh karena adanya intervensi dari Timur Tegah, persisnya dari Makkah. Atas nama hukum Islam dan ortodoksi, Mufti Makkah mengeluarkan fatwa tentang larangan perempuan menjadi raja.[29] Namun, fenomena kepemimpinan empat periode perempuan di Kesultanan Aceh Darrussalam tersebut telah menjadi sebuah dalil sejarah yang mengabsahkan perempuan sebagai seorang pemimpin. Hal ini timbul dari anggapan bahwa ulama termahsyur pada zaman tersebut yang berkedudukan sebagai Mufti dianggap menyetujui kepemimpinan perempuan sebagai Sulthnah di Aceh. Memang dalam Kesultanan Aceh Darussalam, hak perempuan untuk memegang jabatan-jabatan apa saja dalam kerajaan diakui dalam Qanun Meukota Alam.[30] yang membolehkan kaum perempuan menduduki segala jabatan dalam lembaga negara.[31]
Sulthanah shafiyyatuddīn Shāh  merupakan perempuan pertama yang diangkat menjadi Sulthnah di Kesultanan Aceh Darussalam. Dia telah berhasil memerintah Kesultanan Aceh selama 34 tahun, masa yang cukup lama, terutama bagi seorang perempuan. Dalam kondisi yang penuh dengan politik intrik asing dan ancaman berupa penghianatan dari tokoh-tokoh yang ingin merebut tahta, maka menurut Mohammad Said masa 34 tahun itu tidak akan dapat dilampaui dengan selamat oleh Sultanah Shafiyyatuddīn Shāh tanpa suatu kelebihan dalam kepribadiannya.[32] Meskipun kebesaran Kesultanan Aceh pada masa Sulthan Iskandar Muda tidak berhasil dicapainya kembali,  tetapi prestasinya sebagai ratu cukup besar. Sulthanah Shafiyyatuddīn Shāh  telah berhasil mengadakan pembaharuan dalam pemerintahan, memperluas pengertian demokrasi yang kurang disadari oleh kaum laki-laki.[33]
Dalam menilai Ratu Tajul Alam Shafiyyatuddīn Shāh,  Muhammad Said menulis, bahwa, Tajul Alam adalah seorang negarawan, dan sama sekali bukan seorang militer, sayang sekali setiap kebijakannya belum pernah menjadi perhatian, mungkin karena ia seorang perempuan dan mungkin karena kebesaran ayahnya yang tidak berhasil dicapai kembali, apalagi kalau kita menyadari akan prestasi gemilang yang telah dicapainya. Akan tetapi sungguhpun demikian, sebagai perempuan yang prestasi yang telah dicapainya sebagai ratu adalah cukup besar. Kecuali ratu Elizabet dari Inggris, di sekitar zaman itu tidak terdengar peranan seorang raja perempuan yang sedemikian mengagumkan seperti Tajul Alam ini.[34]
Kerajaan Aceh Darussalam telah mengambil dan menjadikan Islam sebagai dasar negaranya, dan telah terbukti membangun peradaban yang  tinggi di kawasan kepulauan  Nusantara, terutama Sumatra. [35] Maka dengan demikian, meskipun selama 59 tahun di bawah pemerintahan para Ratu kebesaran Aceh menurun dalam beberapa hal, namun selama masa itu, kerajaan Aceh Darussalam masih berjalan cukup teratur, bahkan, ada hal – hal yang dianggap suatu keberhasilan paling tidak sama halnya dengan apa yang dilakukan oleh pendahulunya.
Untuk membahas lebih dalam tentang sejarah tentang kedudukan Sulthanah Shafiyyatuddīn Shāh  sebagai pemimpin perempuan Kesultanan Aceh setelah Sulthan Iskandar Thānī meninggal dunia, perlu dikaji lebih mendalam dengan kemasan penelitian. Maka tesis ini mengambil judul “ Kepemimpinan Shulthanah Shafiyyatuddīn Shāh di Kesultanan Aceh Darusssalam Tahun 1641-1675 M”.
Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud penelitian ini adalah kepemimpinan sulthanah Shafiyyatuddīn Shāh dalam dalam mengatur roda pemerintahan di Aceh pada tahun 1641-175 M. Yang mana secara politis pada masa itu Portugis dan Belanda sudah bercokol di Aceh dan secara hukum, banyak para ulama yang tidak setuju dan tidak mendukung atas pemimpin perempuan, sehingga terjadi prokontra atau perdebatan atas kepemiminan perempuan itu sendiri.
Dengan demikian dapat diidentifikasi permasalahannya, bahwa dengan kepemimpinan seorang perempuan dan bercokolnya bangsa Portugis dan Belanda, sulthanah Shafiyyatuddīn Shāh  dapat menjalankan roda pemerintahnya.


                [1] Adnan Mahmud, Pemikiran Islam Kontempore di Indonesia, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005), Hal.102.
                [2] Ufi Ulfiah, Perempuan di Panggung Politik, (Jakarta: Rahimah, 2007) Hal.19
                [3] Ibid, Hal 43
                [4] Syafiq Hasyim, Sejarah Kepemimipinan Perempuan, (Jakarta : P3M , tt ) Hal. 4
[5] Machfud Saepudin dkk, Dinamika Peradaban Islam; Perspektif Historis (Yogyakarta: Pustaka Ilmu,2013), 253
[6] A.Hasjmy, 59 Tahun Aceh Merdeka di bawah pemeritahan Ratu, Bulan Bintang, 1977, hal.13
[7] Dien Madjid, Catatan Pinggir Sejarah Aceh,perdagangan, diplomasi, dan Perjuangan Rakyat, ( Jakarta: yayasab Obor, 2014), Hal. 27
[8] Tim Penulis Muhammad Ibrahim, M. Arifin, Nasrudin Sulaiman , dkk, Sejarah Perlawanan terhadap Kolonialisme dan Imprealisme di daerah Aceh, Dep. P dan K, Jakarta, 1991, Hal.5- 6
[9] Abdurahman Hamid, Sejarah Maritim Indonesia (Yogyakarta, Penerbitan Pasifiq, 2013), 126
[10] Dien Madjid, Catatan Pinggir Sejarah Aceh. ., Hal. 35
[11] Ibid
[12] Tim Penulis Muhammad Ibrahim, M. Arifin, Nasrudin Sulaiman ,dkk, Sejarah Perlawanan terhadap Kolonialisme dan Imprealisme di daerah Aceh, Hal. 2
[13] Tim Penulis Muhammad Ibrahim, M. Arifin, Nasrudin Sulaiman ,dkk, Sejarah Daerah Provinsi Istimewa Aceh, Dep. P dan K, Jakarta, 1991, Hal.70
[14] Bustanus salatin, adalah sebuah naskah yang ditulis karang oleh Nururdin Arraniri. Naskah ini ditulis atas permintaan Sultan Iskandar Muda (1636-1641). Penulisan dimulai pada tanggal 4 maret 1638 dengan nama lengkap Bustanus salatin fi dzikr Al-Awwalin wa Al-Akhirin. Naskah ini terdiri dari 7 bab dan 40 pasal, yang berisi tentang sejarah dan keagamaan. Berdasarkan rekaman sejarah, kitab ini mengupas tentang Historikal kesultanan bersifat teologis dan historis. disebut teologis, karena menjelaskan tentang ketuhanan dan segala wujud penciptaan alam semestta dan kelanjutan prosesnya. Historis, karena merangkum perjalanan sultan-sultan Aceh. Naskah ini mempunyai pengaruh besar dalam sejarah dan kesusastraan melayu dan Aceh. Salah satu Babnya menceritakan sejarah Aceh secara detail. Lihat http://budaya-indonesia.org/Kitab-Bustanussalatin/
[15]Hosein Djajadiningrat, Kesultanan Aceh, Dep.P dan K. P, Aceh, 1982/1983 Hal. 11-12
[16] Menurut Jao Baros yang dikutip oleh Hosein Djajanigrat, Sebelumnya, Aceh merupakan jajahan Pedir, dan diperintah oleh ayah Raja Ibrahim, seorang budak raja Pedir yag telah dimerdekakan. Raja Ibrahim menggantikan ayahnya, sebagai wakil raja di Aceh, yang sudah tua turun tahta. Di bawah pemeritahan Ibrahim, Aceh memerdekan diri dari Pedir dan mulai memperluas kekuasaannya. Lihat Raden Hosein Djajadiningrat, Kesultanan Aceh, Hal. 14
[17] Tim Penulis, Muahmmad Ibrahim DKK, Sejarah Daerah Provinsi Istimewa Aceh,  Hal. 71
[18] Hosein Djajadiningrat, Kesultanan Aceh, Hal. 12
[19] Tim Penulis, Muahmmad Ibrahim DKK, Sejarah Daerah Provinsi Istimewa Aceh, , Hal. 72-73
[20] A.Hasjmy, Iskandar Muda Mukuta Alam, Bulan Bintang, Jakarta, Hal.53-54
[21] Muhammad Said, Aceh Sepajang Abad, (Waspada, Medan, tt), Cet.II, Hal. 346
[22] Hasjmy, Sejarah Masuk dan Perkembangan Islam di Indonesia, (Al-Ma’rif, 1981) , Hal.246
[23] Muhammad Said, Aceh Sepajang Abad, Hal.381
[24] Hasjmy, Sejarah Masuk dan Perkembangan Islam di Indonesia,Hal.246.
[25]Kamaruzzaman, Kepemimpinan Wanita Dalam Perspektif Sejarah Kerajaan Darussalam Aceh, (Madaniya,  2000), Hal.80
[26] Sri Suhandjati Sukri, Pemahaman Islam dan Tantangan Keadilan Jender  (Gama Media: Yogyakarta, 2002), 127.
                [27] Ika Apriani Fata, Konotasi dan Ideologi Perempuan dalam “opini” serambi Indonesia, (tesis Universitas Indonesia Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya : Jakarta , 2011) Hal. 65
[28] Said Al-Afghani, Pemimpin Wanita Di Kancah Politik:Studi Sejarah Pemerintahan Aisyah, (Surabaya: Pustaka LP2IF, 2001) pengantar
[29] Kamaruzzaman., Kepemimpinan Wanita,  l 85
[30] Qanun Meukuta Alam adalah suatu peraturan yang menetapkan dasar-dasar pokok bagi kesultanan Aceh Darussalam, yang kalau dalam istilah modern sekarang dapat disamakan dengan “Undang-Undang Dasar Negara”, Qanun Meukuta Alam oleh sumber Barat, sering disebut dengan Adat Meukuta Alam. Menurut keterangan Tengku Di Muelek dalam risalahnya, Silsilh Raja-Raja Samudera Pasai, bahwa raja yang mula-mula menyuruh menyusun adalah sultan al-Kahhar yang kemudian disempurnakan oleh sultan Iskandar Muda dan terakhir diadakan beberapa perubahan lagi pada masa Sultanah Safiatuddin Syah.
[31] Hasjmy, Sejarah Kebudayaan Islam, 149.
[32] Muhammad Said , Aceh Sepanjang Abad, 323
[33] Ibid., Hal. 324-325.
[34] Ibid, Hal.378-379
[35] Hasjmy, Sejarah Masuk dan Perkembangan Islam di Indonesia,, hal.20