Jumat, 06 Januari 2012

KEPEMIMPINAN WANITA MENURUT AL-ZAMAKHSYARÎY


A. Klasifikasi Kepemimpinan Wanita menurut Al-Zamakhsyarîy

1. Wanita sebagai pemimpin rumah tangga di saat suami di luar rumah


“Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. Sebab itu maka wanita yang saleh, ialah yang ta`at kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara (mereka).”

Kaum pria dalam kitab-kitab tafsîr, seringkali digambarkan sebagai seorang yang lebih superior dibanding kaum wanita. Ayat yang sering dijadikan argumen penguatan supremasi tersebut adalah firman Allah dalam sûrah. al-Nisâ/4 : 34.
Secara tekstual, ayat ini mempunyai makna, menempatkan kaum wanita pada posisi sebaliknya, hanya menjadi orang yang dipimpin. Sehingga, mereka cenderung menjadikan ayat ini sebagai dasar ketidakbolehan kaum wanita menjadi pemimpin.
Kata qawwâm muncul dalam tiga ayat dalam Al-Qur’an. Dalam tafsîr Indonesia (Hamka, Mahmud Yunus dan Depag RI.) diterjemahkan dengan Pemimpin. Adapun kata qawwâm di dua ayat yang lain (sûrah. al-Nisâ’/4 : 135 dan al-Mâidah/5 : 8) tidak diterjemahkan dengan pemimpin, tetapi dengan berdiri karena Allah, lurus karena Allah, orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah.
Dalam Lisân al Arab, kalimat qawwâm diartikan “Kaum pria adalah penjamin dan penjaga urusan kaum wanita”.
Dalam menafsirkan sûrah.al-Nisâ/ 4:34, al-Zamakhsyarîy menjelaskan bahwa ;
قـوامـون علي النساء اى يقـومـون عليهـن آَمرين ناهين كـما يقـوم الـولاة علي الرعـايا وسمـوا قـواما لذالـك
“Kaum laki-laki berdiri di atas wanita sebagai yang memerintah dan melarang mereka ( wanita ) sebagaimana pemimpin berfungsi pada rakyatnya. Dengan fungsi itulah laki-laki dinamai qawwâm.

Al-Zamakhsyarîy menafsirkan kata qawwâmun dengan makna pemimpin. Dengan dasar makna qawwâm inilah sehingga al-Zamakhsyarîy berpendapat bahwa dalam rumah tangga suamilah yang menjadi pemimpin bagi isterinya.
Penafsiran al-Zamakhsyarîy, tidak jauh berbeda dengan para mufassir lainnya, dalam memberikan alasan kenapa laki-laki yang memimpin perempuan dalam rumah tangga, yaitu :
Pertama, karena kelebihan laki-laki atas perempuan. Kata ganti hum pada kalimat “بما فضل الله بعضهم علي بعض” berlaku untuk kedua-duanya, laki-laki dan perempuan. Oleh karenanya ayat tersebut berarti : “Oleh karena kelebihan yang diberikan Allah kepada sebahagian mereka, yaitu laki-laki atas sebahagian yang lain, yaitu perempuan”. Menurut beliau kelebihan-kelebihan laki-laki atas perempuan itu karena kelebihan akal (al-‘aql), keteguhan hati (al-hazm), kemauan keras (al-‘azm), kekuatan fisik (al-qudrah), secara umum memiliki kemampuan menulis (al-kitâbah), keberanian naik kuda dan memanah (al-furusiyah wa al-ramyu), sebahagian mereka adalah para nabi dan ulama, kepala negara, imam shalat, kelebihan dalam berjihad, adzan, khutbah, i’tikaf, bertakbir pada hari tasyrik. Menurut Abu Hanifah kesaksian dalam masalah hudud dan qishash, tambahan bagian dan mendapat sisa ( ashabah ) dalam pembagian warisan, pekerjaan kuli angkut (al-hamâlah dan al-qusûmah) menjadi wali dalam pernikahan, menjatuhkan talak, menyatakan rujuk, boleh berpoligami, nama-nama anak dinisbahkan kepada mereka serta punya jenggot dan sorban.
Alasan kedua, adalah karena laki-laki membayar mahar dan bertanggung jawab memberikan nafkah kepada keluarganya.
Dua alasan inilah, menurut al-Zamakhsyarîy, kenapa laki-laki yang memimpin perempuan dalam rumah tangga.
Kemudian dalam sûrah al-Nisâ/4: 34 ini lanjutannya, “ Fash-shâlihât Qanitâtun Hafidzât lil ghaibi bimâ Hafidzallâh ” al-Zamakhsyarîy mengatakan bahwa para istri shalihah itu adalah disamping dia selalu taat kepada suaminya, juga ketika suaminya tidak ada disampingnya, dia selalu menjaga hal-hal yang mana suaminya selalu menjaganya, baik kehormatannya ( Furuj ), rumah dan hartanya. Seperti yang dijelaskan dalam Hadîts Nabi Saw., yang dikutip oleh al-Zamakhsyarîy ;
خير النساء إمرأة إن نـظرت إليها سـرتـك ، وإن أمـرتـها أطـاعتـك وإذا غـبـت عـنـها حفـظتـك فى مـالها ونفـسها
“Sebaik-baiknya wanitai adalah istri yang dimana jika kamu melihatnya, dia menyenangkanmu, jika kamu memerintahnya, dia mentaatimu dan jika kamu tidak ada disampingmu, dia menjaga kehormatan dan hartanya”

Dengan melihat penjelasan al-Zamakhsyarîy di atas dan dikuatkan oleh Hadîts, maka penulis berkesimpulan bahwa istri dalam keluarga adalah mempunyai kewajiban untuk mengatur segala hal yang berkaitan dengan kelangsungan keluarga yang sakinah dan mawaddah terutama ketika sang suami tidak ada disampingnya.
Ayat ini, menurut Zaitunah Subhan, tidak secara langsung memerintahkan sesuatu, dengan mengatakan, “Wahai kaum pria, kalian wajib menjadi pemimpin”, atau sebaliknya “Wahai wanita, kalian mesti menerima pemimpin atau dipimpin”. Tapi hal ini bisa dikorelasikan dengan Hadits Rasulullah Saw., yang menegaskan :
حدثنا أبو اليمان أخبرنا شعيب عن الزهرى قال أخبرني سالم بن عبد الله عن عبد الله بن عمر رضي الله عنهما أنه سمع رسول الله صلهم يقول كلكم راع و مسئول عن رعيته, فالأمام راع و مسئول عن رعيته, والرجل في اهله راع وهو مسئول عن رعيته, والمرأة في بيت زوجها راعية وهي مسئولة عن راعيتها,والخادم في مال سيده راع وهو مسئول عن رعيته, قال : فسمعت هؤلاء من النبي صلهم قال : والرجل في مال ابيه راع ومسئول عن رعيته فكلكم راع وكلكم مسئول عن رعيته
“Diceritakan kepada kami dari Abu al-Yaman dari Syu’aib dari az-Zuhriy berkata : Aku mendengar berita dari Salim bin Abdullah dari Abdullah bin Umar ra. sesungguhnya Rasulullah Saw. bersabda : “Setiap kamu adalah pemimpin dan kamu akan dimintai pertanggungjawaban mengenai kepemimpinanmu. Seorang imam adalah pemimpin umat dan dia akan dimintai pertanggungjawaban mengenai kepemimpinannya, seorang suami adalah pemimpin terhadap keluarganya dan dia akan dimitai pertanggungjawaban tentang kepemimpinannya, seorang isteri adalah pemimpin dalam rumah suaminya dan anaknya, dan akan dimintai pertanggungjawaban tentang mereka, dan seorang hamba sahaya adalah bertanggung jawab atas harta tuan (majikan)nya dan dia pun akan dimintai pertanggungjawaban atasnya. Berkata bahwa aku mendengar semua itu dari Nabi Saw. bersabda : “Seorang laki-laki adalah pemimpin (penanggungjawab) atas harta ayahnya dan dia akan ditanyai mengenai kepemimpinannya, maka setiap kamu adalah pemimpin dan akan dimintai pertanggungjawaban mengenai kepemimpinannya.”

Hadits di atas ini, jelas bahwa suami adalah kepala keluarga (râ’in fi ahlih), sedangkan isteri juga disebut pemimpin di rumah suaminya (râ’iyah fi bait zaujihâ). Keduanya bertanggungjawab atas pelaksanaan kepemimpinannya. Ini adalah pembagian tugas suami dengan isteri walau tidak dibatasi secara ketat, dengan pengertian bahwa yang lain tidak mau tahu dengan tugas-tugas selain tugasnya sendiri. Pengertian hadits Rasul tersebut menegaskan adanya kerjasama dalam peran dan tugas masing-masing di dalam pertanggungjawaban keluarga.
Islam telah menetapkan batasan kekuasaan pria dalam institusi keluarga dengan kata qawwâmun, pemimpin yang melaksanakan urusan rumah tangga sebagai kata kunci dalam ayat tersebut. Pemimpin yang baik adalah yang mengerti dan memahami serta adil terhadap yang dipimpinnya, tidak berbuat sewenang-wenang atau bertindak yang bertentangan dengan Al-Qur’an.
Dalam sûrah al-Rûm/ 30: 21, secara gamblang mensinyalir bahwa posisi wanita dalam rumah tangga sangat mulia dengan dijadikannya ia sebagai tumpuan kasih sayang, yang kelak melahirkan keluarga yang sakinah mawaddah wa rahmah, yaitu :
.
“Dan di antara tanda-tanda kekuasaanNya ialah ia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikanNya dia antara kamu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir”.

Dalam menafsirkan ayat tersebut, al-Zamakhsyarîy mengatakan bahwa yang dikatakan من انفسكم ازواجا (isteri-isteri dari jenismu sendiri) adalah karena Hawa diciptakan dari tulang rusuk Adam As., dan wanita-wanita yang diciptakan sesudahnya berasal dari tulang sulbi laki-laki, atau dari bentuk dan jenismu sendiri, bukan dari jenis yang lain.
وجعل بينكم berarti kasih dan sayang itu ada, karena adanya perkawinan yang sebelumnya tidak diketahui atau dikenal, tidak ditemukan dan tidak ada sebab yang mengharuskan untuk itu, baik dari segi kekerabatan maupun dengan hubungan darah. Disini Al-Zamakhsyarîy mengutip pendapat Hasan ra. bahwa yang dimaksud dengan mawaddah adalah bentuk kinâyah (kiasan) dari jima’ (hubungan suami isteri) sedang ar-rahmah adalah bentuk kasih sayang yang datang dari anak-anak. Dalam arti bahwa mawaddah adalah bentuk hubungan kasih sayang antara suami dengan isteri, sedang rahmah adalah bentuk kasih sayang antara anak dengan orangtuanya.
Islam telah mengangkat kedudukan seorang wanita sebagai isteri dan menjadikan pelaksanaan hak-hak berkeluarga sebagai jihad di jalan Allah. Oleh karena itu, Islam memberikan hak-hak isteri yang harus dilaksanakan dan dijaga dengan sebaik-baiknya. Kalau dalam dunia Islam timbul gerakan yang menuntut hak, bukan karena hak tidak diberikan oleh Islam, melainkan hak itu ditahan oleh pria yang selalu ingin berkuasa. Islam tidak menyuruh isteri secara mutlak untuk tunduk kepada suami sebagaimana wajibnya ia tunduk kepada Tuhan.
Rasulullah Saw. bersabda :
حدثنا أبو بكر بن خلف ومحمد بن يحى قالا : حدثنا أبو عاصم عن جعفر ابن يحى بن ثوبان عن عمه عمارة بن ثوبان عن عطاء عن ابن عباس عن النبي صلهم قال : خيركم خيركم لأهله وانا خيركم لأهلى.(رواه ابن ماجه)
“Diceritakan kepada kami dari Abu Bakar bin Khalaf dan Muhammad bin Yahya berkata : “Kami diberi khabar oleh Abu Ashim dari Ja’far bin Yahya bin Tsauban dari pamannya ‘Ammarah bin Tsuaban dari Atha’ dari Ibnu Abbas ra. dari Nabi Saw. bersabda :”Yang paling baik di antara kalian adalah orang yang paling baik terhadap keluarganya. Dan aku adalah orang yang paling baik terhadap keluargaku.”


Sebaliknya, dengan adanya hak-hak yang harus dipenuhi oleh suami terhadap isteri, maka sebagai timbal balik, Islam memberikan hak bagi suami untuk ditaati selama tidak bertentangan dengan ajaran agama. Hal ini berarti bahwa dalam penyelesaian urusan rumah tangga diperlukan adanya kerjasama antara suami dengan isteri .
Islam datang dengan membawa pesan moral kemanusiaan yang tidak ada bandingannya dengan agama manapun. Islam mengajarkan bahwa pria dan wanita mempunyai kedudukan yang sama di hadapan Allah. Yang membedakan keduanya hanyalah kadar ketakwaannya. Sebagaimana Allah berfirman dalam sûrah. al-Hujurât/ 49 : 13 ;

“Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku, supaya kamu saling kenal mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah adalah orang yang paling bertaqwa…”.


2. Wanita sebagai Pemimpin Perusahaan


“Dan janganlah kamu iri hati terhadap apa yang dikaruniakan Allah kepada sebahagian kamu lebih banyak dari sebahagian yang lain. (Karena) bagi orang laki-laki ada bahagian dari apa yang mereka usahakan dan bagi para wanita (pun) ada bahagian dari apa yang mereka usahakan ”.

Al-Zamakhsyarîy menafsirkan sûrah al-Nisâ’/ 4 : 32 tersebut sebagai larangan Tuhan atas rasa dengki dan iri hati dengan pangkat dan materi (harta benda) yang Tuhan lebihkan antara sebahagian manusia dengan sebahagian yang lain. Menurutnya kelebihan itu diberikan didasari oleh kebijaksanaan (al-hikmah), pengaturan (tadbir) dan pengetahuan (‘ilm) Tuhan tentang kondisi hambaNya dan hal tersebut terkait dengan kemaslahatan manusia, baik berupa dilapangkan atau disempitkan rezkinya.
Maka dengan demikian, seperti halnya wanita sebagai pemimpin perusahaan, merupakan sebuah anugrah yang diberikan Allah kepada hambanya berupa ilmu untuk memimpin, mengelola dan mengatur perusahaannya.
Ayat للرجال نصيب مما اكتسبوا وللنساء نصيب مما اكتسبن ditafsîrknnya, bahwa Tuhan menjadikan pembagian tersebut sebagai perolehan (kasb) setiap individu, baik laki-laki maupun perempuan, berdasarkan pengetahuan Tuhan mengenai kondisi yang menjadi faktor dilapangkan dan disempitkannya rezki seseorang. Maka hal ini sangat relevan dengan pernyataan al-Zamakhsyarîy ketika menafsirkan sûrah. al-Nahl/ 16 : 97.
Ditegaskan dalam sûrah. al-Nahl/ 16 : 97 :

“Barang siapa yang mengerjakan amal shaleh, baik laki-laki atau perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan akan Kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.”

Kata من dalam ayat tersebut menunjuk kepada makna umum. Maka lanjutan ayat yakni ذكر أوانثي menjelaskan apa yang dimaksudkan oleh kata من, yaitu laki-laki dan perempuan. Tampaknya al-Zamakhsyarîy dalam hal ganjaran terhadap perbuatan baik tidak membedakan antara laki-laki dan perempuan. Semuanya berhak mendapatkan janji Allah tanpa melihat adanya perbedaan jenis kelamin, yaitu mendapatkan kehidupan yang baik di dunia dan dijanjikan kebahagiaan di akhirat. Dengan demikian tersûrah makna, bahwa al-Zamakhsyarîy tetap mengakui kesamaan tersebut.
Penafsiran al-Zamakhsyarîy mengenai ayat tersebut tampaknya tidak jauh berbeda dengan penafsiran ulama lainnya, yang menganggap bahwa antara laki-laki dan perempuan mempunyai kedudukan dan hak yang sama dalam menerima hasil dari apa yang telah diusahakannya.
Ummul Mukminin Siti Khadijah, merupakan contoh ideal. Dalam satu sisi adalah sebagai istri Nabi di dalam keluarga. Di sisi lain, di luar lingkup keluarga beliau juga sekaligus sebagai pemimpin dalam usaha dagangnya yang sangat luas.
Secara realitas, zaman sekarang banyak peluang kerja bagi wanita, Sekarang banyak didirikan sekolah-sekolah dan lembaga-lembaga penddikan yang menampung pelajar putri yang kemudian bisa menghasilkan para guru, dokter, pengawas dan akuntan wanita. Bahkan sebagian mereka ada yang menjadi direktur berbagai perusahaan. Berapa banyak pegawai laki-laki yang dikoordinir para wanita atau organisai yang ketuanya wanita atau beranggotakan wanita. Bahkan terkadang sang suami menjadi anak buah istrinya di suatu sekolahan atau rumah sakit atau organisasi. Tapi sekembali ke rumah, sang istri kembali ke posisi semula menjadi orang yang dipimpin oleh sang suami.
Jadi ayat-ayat diatas, seperti dikatakan oleh Nasarudin Umar, mengisyaratkan konsep kesetaraan jender yang ideal dan memberikan ketegasan bahwa prestasi individual, baik dalam bidang spritual maupun dalam urusan karir profesional, tidak mesti dimonopoli oleh salah satu jenis kelamin saja. Baik laki-laki maupun perempuan memperoleh hak yang sama meraih prestasi yang optimal.
3. Wanita sebagai hakim ( qadi )



“ Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat.”

Dalam sûrah al-Nisâ/ 4 : 58 ini, al-Zamakhsyarîy mengatakan bahwa khithab dari pada ayat ini adalah umum, ditunjukan kepada setiap individu, dalam setiap amanat dan di dalam setiap menegakkan keadilan.
Disini jelas sekali apa yang dimaksud oleh al-Zamakhsyarîy, bahwa setiap orang, baik laki-laki maupun wanita, baik orang merdeka maupun hamba sahaya, mereka berhak dan memungkinkan untuk menjadi hakim ( Qhadli ) dalam setiap menegakkan keadilan dan menjalankan amanat.
Hal ini sangat sejalan dengan madzhab yang dianut oleh al-Zamakhsyarîy, yaitu madzhab Abu Hanifah. Karena Abu Hanifah tidak melarang wanita untuk menjadi Qhadli, kecuali dalam masalah Hudud dan Qishash ( Jinayat ). Pendapat Abu Hanifah ini diperkuat oleh Ibnu Hazm al-Dzahirîy yang dikutip oleh Abdul Halim al-Jundîy, bahwa boleh saja wanita diangkat menjadi seorang Qadli ( hakim ). Hal ini, karena berdasarkan pada keumuman khithab yang ada dalam sûrah al-Nisâ/ 4 : 58. yaitu baik laki-laki maupun perempuan dan orang merdeka maupun hamba sahaya. Bahkan Ibnu Hazm bersama dengan Imam al-Thabariy, memperbolehkan kaum wanita untuk berkecimpung dalam masalah-masalah Jinayat dan masalah lainnya.
Ibnu Hazm, yang dikutip ‘Abd al-Halîm al-Jundîy, memperkuat pendapatnya dengan riwayat Umar bin Khattâb yang telah mengangkat al-Syifa, seorang wanita dari kaumnya, untuk memimpin pasar umum pada waktu itu. Kalau pun ada Hadîts yang mengatakan bahwa “ tidak akan beruntung suatu kaum yang menyerahkan urusannya kepada wanita. ”, itu dimaksudkan pada perwalian atau kepemimpinan secara umum terhadap umat atau kedudukannya sebagai pemimpin daulah. Tapi pada urusan-urusan tertentu tidak ada salahnya jika wanita tampil sebagai pemimpin. Seperti dalam Hadîts dijelaskan bahwa seorang istri adalah penjaga harta suaminya, dan dia bertanggung jawab atas penjagaannya.
4. Wanita sebagai Dewan Perwakilan Rakyat


“Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma`ruf dan mencegah dari yang munkar; merekalah orang-orang yang beruntung.”

Al-Zamakhsyarîy menafsirkan sûrah Ali Imran/ 3 : 104 ini, bahwa من dalam منكم bisa dua kemungkinan, yaitu ;
1. . للـتـبعـيض , yaitu untuk menunjukan kepada sebagian orang. Artinya amar ma’ruf nahi mungkar itu merupakan fardlu kifayah. Maksudnya amar ma’ruf nahi mungkar tidak akan bejalan kecuali oleh orang yang tahu tentang yang ma’ruf dan yang mungkar, tahu bagaimana tata cara melakukan amar ma’ruf nahi mungkar. Mungkin saja orang yang bodoh, karena ketidaktahuannya, dia melarang hal yang ma’ruf dan bahkan menyuruh kepada hal yang mungkar. Atau mungkin saja orang itu melarang hal yang dianggap bukan yang mungkar oleh madzhab lain. Atau terkadang menempatkan cara yang lembut pada hal yang seharus dengan cara yang tegas atau sebaliknya sehingga orang yang melakukan ke-mungkar-an itu malah bertambah membangkang. Atau usahanya atas amar ma’ruf nahi mungkar iu hanya sia-sia saja, seperti kepada para perampok, para durjana dan sebagainya.
2. للتـبيـين , yaitu untuk memperjelas. Artinya, jadilah kalian semua menjadi ummat yang melakukan amar ma’ruf dan nahi mungkar, seperti yang dijelaskan dalam sûrah Ali Imran/3 : 109, sebagai berikut :

“Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma`ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah. Sekiranya Ahli Kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka; di antara mereka ada yang beriman, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik ”.

Selanjutnya Al-Zamakhsyarîy menjelaskan bahwa sesungguhnya yang harus melaksanakan amar ma’ruf nahi mungkar ini adalah semua muslim yang komitmen dan memenuhi syarat.
Dari tafsîran Al-Zamakhsyarîy di atas, jelas bahwa yang menjadi khithab untuk melaksanakan amar ma’ruf nahi mungkar ini semua muslim, baik laki-laki maupun wanita.
Al-Zamakhsyarîy mempertegas uraiannya tersebut dengan mengutip Hadîts yang menceritakan bahwa suatu ketika Rasulullah ditanya ( sedangkan dia sedang di atas mimbar ) ;
“siapa manusia yang paling baik itu ? Rasulullah menjawab; mereka lah orang-orang yang selalu mengajak kepada kebaikan dan melarang pada kemungkaran, dan merekalah orang-orang bertakwa kepada Allah Swt.”

Seperti yang dikutip oleh Yûsuf al-Qardâwî, bahwa Setiap seruan Allah yang berbunyi.; “ wahai manusia” atau “ Wahai orang-orang mukmin” , menunjukan suatu keyakinan bahwa disana juga wanita termasuk dalam seruan tersebut, dan tidak ada perbedaan pendapat mengenai ini. Seperti halnya Al-Qur’an membebankan kepada dua jenis, laki-laki dan wanita, untuk bertanggung jawab dalam menegakkan masyarakat yang dalam Islam lazim disebut Amar ma’ruf nahi mungkar.
Kemudian dikuatkan dalam sûrah al-Taubah/ 9 : 71, sebagai berikut ;

“Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebahagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebahagian yang lain. Mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma`ruf, mencegah dari yang mungkar, mendirikan sembahyang, menunaikan zakat, dan mereka ta`at kepada Allah dan Rasul-Nya. Mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah; sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.”

Dalam kesempatan ini Al-Qur’an juga menyebutkan beberapa ciri orang-orang beriman setelah menyebutkan ciri-ciri orang munafik.dalam sûrah al-Taubah/ 9 : 67, sebagai berikut ;

“Orang-orang munafik laki-laki dan perempuan, sebagian dengan sebagian yang lain adalah sama, mereka menyuruh membuat yang munkar dan melarang berbuat yang ma`ruf dan mereka menggenggamkan tangannya. Mereka telah lupa kepada Allah, maka Allah melupakan mereka. Sesungguhnya orang-orang munafik itulah orang-orang yang fasik.”

Jika wanita-wanita munafik berdiri di samping kaum laki-laki munafik memainkan peranan untuk merusak masyarakat, maka wanita-wanita mukminah harus memainkan peranan untuk membenahi masyarakat di samping kaum laki-laki mukmin.
Yusuf al-Qardhawi menjelaskan bahwa,. pengharaman masuknya para wanita di parlemen oleh sekelompok ulama, tidak dikuatkan oleh satu dalil pun. Sementara telah diketahui bahwa hukum dasar dalam segala sesuatu dalam urusan keduniaan adalah mubah, kecuali jika ada dalil yang menunjukan keharamannya. Adapun sûrah al-Ahzâb/ 33 : 33, sebagai dalil yang mereka pegang untuk mengharamkan para wanita masuk di parlemen, Dalil ini menurut al-Qardlawi, tidak bisa dijadikan dasar untuk pengharaman, karena beberapa pertimbangan ;
1. Ayat ini secara khusus tertuju kepada istri-istri Nabi Saw., seperti yang difahami dari susunan bahasanya. Sebagaimana yang diketahui, mereka mempunyai kehormatan dan ada penekanan tersendiri daripada wanita-wanita lain. Oleh karena itu pahala mereka menjadi berlipat jika mereka mengerjakan amal shaleh itu, sebaliknya adzab mereka juga berlipat jika mereka berbuat kejelakan.
2. Sekalipun sudah ada ayat ini, Aisyah Ra., tetap keluar rumah dan ikut bergabung dalam perang Jamal, sebagai reaksinya untuk memenuhi kewajiban agama, yaitu menuntut balas atas terbunuhnya Utsman bin Affan.
3. Bagaimana pun juga, wanita harus keluar dari rumahnya, pergi ke sekolah, perguruan tinggi, andil dalam berbagai medan kehidupan sebagai dokter, guru, pengawas dan lain-lain. Sebagai tuntutan kerja di luar rumah, yang tentu saja dengan beberapa syarat yang telah ditentukan.
4. Para wanita muslimat yang berkomitmen, dituntut untuk terjun dalam kancah pemilihan umum, dalam rangka menghadapi wanita-wanita sekuler yang berambisi memegang kendali peranan wanita secara umum. Terkadang kebutuhan sosial dan politik akan lebih besar dari pada kebutuhan individu, yang kemudian memperbolehkan wanita untuk ambil bagian dalam kehidupan secara umum.
5. Menahan wanita dalam rumah, tidak dikenal kecuali hanya dalam jangka waktu tertentu, sebagai hukuman atas kekejian yang dilakukannya dan sebelum ada ketetapan hukum tentang dirinya, sebagaimana dalam sûrah al-Nisa/ 4 : 15;

”Dan (terhadap) para wanita yang mengerjakan perbuatan keji, hendaklah ada empat orang saksi diantara kamu (yang menyaksikannya). Kemudian apabila mereka telah memberi persaksian, maka kurunglah mereka (wanita-wanita itu) dalam rumah sampai mereka menemui ajalnya, atau sampai Allah memberi jalan yang lain kepadanya.”

Adapun yang memandang pengharaman masalah ini dari sudut lain, yaitu sudut preventif. Karena selama wanita duduk di parlemen atau Dewan Perwakilan, maka dituntut untuk bercampur dengan laki-laki dan bahkan kadang-kadang berkhalwat dengan seorang laki-laki. Yusuf al-Qardlawi mengatakan, Tidak dapat diragukan, tindakan preventif memang sangat diperlukan, tetapi para ulama menetapkan bahwa preventifitas yang berlebih - lebihan atau terlalu longgar, bisa menghilangkan sekian banyak kemaslahatan yang kemudian membuka kerusakan yang justru lebih besar. Alasan ini bisa dijadikan pegangan oleh orang-orang yang melarang wanita untuk memberikan suara dalam pemilihan umum, karena dikhawatirkan akan menimbulkan fitnah dan kerusakan. Tetapi kalau demikian adanya, maka berapa banyak suara yang seharusnya dimiliki kalangan muslim yang hilang karenanya? padahal pengumpulan suara ini sangat penting untuk mengahadapi kalangan sekuler. Terlebih lagi mereka lebih banyak memanfaatkan suara para wanita yang tidak komitmen terhadap agama. Di sini Yussuf al-Qardlawi menegaskan bahwa wanita muslimah yang komitmen, harus pandai-pandai menjaga diri saat berhadapan dengan kaum laki-laki, jika dicalonkan atau dipilih dalam Dewan Perwakilan, harus menghindari hal-hal yang bertentangan dengan norma-norma Islam, seperti berkata genit, berpakaian mencolok, bersolek, berkhalwat dengan seorang laki-laki.
Adapun sekelompok ulama yang melarangnya karena kedudukan ini merupakan kepemimpinan terhadap kaum laki-laki. Sesuai yang ditetapkan di dalam Al-Qur'an, bahwa kaum laki-laki harus menjadi pemimpin bagi wanita, lantas bagaimana mungkin kita membalikan ketatapan ini, dengan mengangkat wanita menjadi pemimpin bagi kaum laki-laki ? Di sini Yusuf Al-Qardhawi menjelaskan dua hal ;
1. Para wanita yang dipilih di Dewan Perwakilan sangat terbatas, sehingga mayoritas Anggota Dewan Tetap di tangan kaum laki-laki. Jumlah mayoritas inilah yang membuat hak ketetapan, membuat ikatan dan memecahkan masalah. Sehingga tidak bisa dikatakan bahwa keberadaan wanita di Dewan Perwakilan akan mengangkat wanita sebagai pemimpin atas kaum laki-laki.
2. Ayat yang menyebutkan kepemimpinan laki-laki atas wanita , itu dalam kaitannya dengan kehidupan rumah tangga. Seorang laki-laki merupakan pemimpin rumah tangga dan bertanggung jawab atas kelangsungannya. Firman Allah ; " karena telah menafkahkan sebagian dari harta mereka” menunjukan bahwa maksud kepemimpinan di sini adalah kepemimpinan dalam rumah tangga. Derjat inilah yang diberikan kepada kaum laki-laki seperti yang dijelaskan dalam sûrah al-Baqarah/ 2 : 228, sebagai berikut ;
وَلـهَـُن ِمـثــلُ الـذِى عَـلـَيـهـِنَ ِبـالـمَعـرُوف وَلـِلـرِجـَال عَـلـيهـنَ درجـة والله عـزيـز حـكـيـم
"dan, para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang me'ruf. Tetapi para suami mempunyai satu tingkatan kelebihan daripada istrinya. "

Sekalipun seorang laki-laki mempunyai hak sebagai pemimpin atas rumah tangga, tetapi istri juga mempunyai peran, dia bisa dimintai pendapat yang memang dibutuhkan untuk kepentingan rumah tangga, yaitu seperti tentang menyapih anak yang disusui, suami istri harus melakukan musyawarah terlebih dahulu sehingga ada kesepakatan yang suka rela, seperti yang diisyaratkan dalam sûrah al-Baqarah/ 2 : 233,

“ Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh, yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan. Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara yang ma`ruf. Seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya. Janganlah seorang ibu menderita kesengsaraan karena anaknya dan juga seorang ayah karena anaknya, dan warispun berkewajiban demikian. Apabila keduanya ingin menyapih (sebelum dua tahun) dengan kerelaan keduanya dan permusyawaratan, .. ”

Kepemimpinan sebagian wanita atas sebagian laki-laki di luar lingkup rumah tangga, tidak ada satu dalil pun yang melarangnya. Yang dilarang adalah kepemimpinan wanita atas kaum laki-laki dalam perwalian secara umum. Tentang Hadîts riwayat al-Bukhari dari Abu Bakrah Ra,.secara marfu' ; " tidak beruntung suatu kaum jika mereka mengangkat wanita sebagai pemimpin." Maksudnya adalah perwalian atau kepemimpinan secara umum terhadap umat atau kedudukannya sebagai pemimpin daulah. Tapi urusan-urusan tertentu tidak ada salahnya jika wanita tampil sebagai pemimpin. Oleh karenanya, tidak ada larangan boleh tidaknya wanita menjadi seorang pemimpin dalam masyarakat atau terjun dalam dunia politik, karena tidak ditemukan satu ketentuan agama pun yang dapat dipahami sebagai larangan keterlibatan wanita dalam dunia publik dan politik.
Diantara kontraversi yang diangkat sebagaian orang yang menentang keberadaan wanita di Dewan Perwakilan, karena kedudukan Dewan Perwakilan atau parlemen lebih tinggi daripada kedudukan pemerintah atau bahkan lebih tinggi dari pemimpin daulah sendiri. Dengan keberadaanya di Dewan Perwakilan memungkinkan baginya untuk mengawasi daulah dan pemimpin daulah.
Dalam hal ini al-Qardlawi menjelaskan bahwa peranan Dewan Perwakilan dalam sistem demokrasi terpusat pada dua macam; Pengawasan dan Penetapan undang-undang. Makna pengawasan kembali kepada apa yang diistilahkan dalam Islam dengan sebutan amar m'ruf nahi mungkar dan memberi nasihat dalam agama. Ini merupakan kewajiban baik di tangan para pemimpin Islam maupun dari orang awam di antara mereka untuk memerintah, melarang dan menasihati dari semua kaum laki-laki dan wanita, seperti yang dijelaskan dalam sûrah al-Taubah/ 9 : 71 dan dikuatkan oleh Hadîts Rasulullah Saw ;
الدين النصيحة لله ولـرسوله ولكتابه ولأئمـة المسلميـن وعامتهم
( رواه مسلم )
"Agama itu adalah Nasihat bagi Allah, bagi Rasul-Nya, bagi Kitab-Nya, bagi para pemimpin orang-orang Muslim dan orang-orang awam di antara mereka.”

Rasulullah Saw tidak membatasi pemberian nasihat hanya pada kaum laki-laki. Seperti yang dilakukan seorang wanita yang menyanggah perkataan Umar bin Khaththab tatkala berada di Mesjid, hingga Umar tunduk kepada pendapat wanita itu, Akhirnya Rasuluulah berkata; " Dia benar dan Umar yang salah." Begitulah yang diriwayatkan Ibnu Katsir dan dia membaguskan isnadnya.
Nabi Saw.,juga pernah meminta pendapat Ummu Salamah dalam peristiwa al-Hudaibiyyah. Maka Ummu Salamah megusulkan satu pendapat yang sangat jitu, hingga beliau langsung menerapkannya dan karirnya membawa kebaikan yang banyak setelah itu.
Karena wanita mempunyai hak unuk memberi nasihat, menunjukan pendapat yang dilihatnya benar, menyuruh kepada yang ma'ruf mencegah dari yang mungkar, mengatakan ini benar dan itu salah, dalam kapasitasnya sebagai individu, berarti tidak ada satu dalil syariat pun yang menghalangi wanita untuk duduk di Majlis Permusyawaratan atau Dewan Perwakilan. Hukum dasar dalam segala urusan dan muamalah adalah mubah, kecuali jika ada nash yang shahih dan jelas maknanya yang melarangnya. Tentang pengalaman umat Islam pada masa-masa lampau yang tidak pernah mengenal keberadaan wanita di Majelis Syura, hal itu tidak bisa dijadikan sebagai dalil untuk melarang. Ini termasuk perubahan fatwa berdasarkan perubahan waktu, tempat dan kondisi. Pada masa-masa itu memang Syura belum diatur secara mendetail untuk laki-laki dan wanita. Ini termasuk masalah yang disinggung Nash secara global dan tak terbatas. Rincian dan batasan-batasannya diserahkan kepada ijtihad orang-orang Muslim, sesuai dengan tuntutan zaman, tempat dan kondisi sosial. Jika tindakan Rasulullah saja tidak menunjukan kepada hal yang mubah, lalu bagaimana dengan tindakan orang lain yang tidak ma'sum seperti beliau ?
Tentang pendapat yang mengatakan bahwa majlis syura atau apapun istilahnya yang kedudukannya lebih tinggi dari daulah dan bahkan pemimpin daulah, karena Dewan Syura itu mempunyai kewenangan untuk mengawasi, merupakan pendapat yang tidak bisa diterima begitu saja. Sebab tidak setiap pengawas lebih tinggi kedudukannya daripada orang yang diawasi. Yang lebih penting adalah hak untuk mengadakan pengawasan, sekalipun mungkin kedudukannya lebih rendah. Yang tidak dapat diragukan, bahwa Amirul Mukminin atau pemimpin daulah merupakan kedudukan dan kekuasaan yang paling tinggi dalam daulah. Sekalipun begitu siapa pun mempunyai hak untuk memberinya nasihat, mengawasi, memerintah dan melarangnya, sekalippun dia berasal dari kalangan rakyat yang paling bawah, sebagaimana yang dikatakan Abu Bakar dan Umar bin Khaththab dalam pidato pertamanya setelah diangkat sebagai khalifah. Kalaupun Majlis Syura mempunyai kedudukan yang lebih tinggi daripada daulah, mengingat Dewan Syuralah yang berhak menetapkan hukum dan mengawasi, hali itu lebih baik disebabkan karena bentuk kumpulannya dan bukan karena pertimbangan individu-individu. Sementara kelompok mayoritas dalam Dewan Syura adalah kaum laki-laki.
Berangkat dari dasar inilah kita perlu mencermati tentang masuknya kaum wanita ke dalam Dewan Perwakilan Rakyat atau Dewan Syura dan penetapan pencalonannya serta kelayakannya untuk berperan dalam masyarakat berdasarkan dalil-dalil syari’at.
5. Wanita sebagai Pemimpin Pemerintahan
Seperti yang disinggung di atas, Al-Zamakhsyarîy menafsirkan dalam sûrah al-Nisâ/ 4 : 58, bahwa ;
" الخطاب عام لكـل أحد فى كـل أمـانة ... "
Khithab dari pada ayat ini adalah bersifat umum, untuk setiap individu ( baik laki-laki maupun perempuan, baik yang merdeka maupun ’abid ( hamb sahaya ) , dan semua hal yang bersifat amanah. Artinya menyampaikan amanat kepada ahlinya dan menetapkan hukum dengan adil adalah perintah Allah untuk semua laki-laki mapun perempuan.
Begitu juga dalam masalah wanita sebagi Pemimpin Pemerintahan, kalau melihat penafsiran Al-Zamakhsyarîy dalam sûrah al-Nisâ/ 4 : 58, beliau tidak secara jelas menegaskan kebolehan wanita sebagai pemimpin pemerintahan, tetapi secara eksplisit penafsirannya, hal ini masih termasuk tatanan dalam penyampaian amanat dan tatanan dalam keadilan pemerintah. Artinya baik laki-laki maupun wanita yang menjadi pemimpin pemerintahan, sudah tidak menjadi permasalahan lagi. Akan tetapi yang menjadi permasalahan adalah bagiamana dia cara memimpin pemerintahan tersebut, adilkah, atau tanggungjawabkah ?
Kepemimpinan sebagian wanita atas sebagian laki-laki di luar lingkup rumah tangga, tidak ada satu dalil pun yang melarangnya. Yang dilarang menurut sebagian ulama, adalah kepemimpinan wanita atas kaum laki-laki dalam perwalian secara umum. Tentang Hadîts riwayat al-Bukhari dari Abu Bakrah Ra,.secara marfu' ; " tidak beruntung suatu kaum jika mereka mengangkat wanita sebagai pemimpin." Maksudnya adalah perwalian atau kepemimpinan secara umum terhadap umat atau kedudukannya sebagai pemimpin daulah. Tapi urusan-urusan tertentu tidak ada salahnya jika wanita tampil sebagai pemimpin.
Wacana pemimpin perempuan telah memancing polemik dan debat antara pro dan kontra. Hal ini dikarenakan satu sisi ditemukan penafsiran ayat dan hadits yang secara tekstual. Mengutamakan laki –laki untuk menjadi pemimpin, meskipun ada sebagian ulama yang membolehkannya. Di sisi lain kenyataan obyektif dengan adanya sejumlah perempuan yang memiliki pengaruh kuat di masyarakat dan mempunyai kemampuan untuk menjadi pemimpin.
Memangku jabatan penguasa atau kepala pemerintahan dalam Islam berarti memikul tanggung jawab.
Imam al-Sya’rawi yang dikutip oleh Istibsyarah, menafsirkan sûrah al-Taubah/ 9 : 71 bahwa dalam masyarakat orang mukmin harus saling menolong dan saling memberi nasihat agar sempurna imannya. Jadi hal ini mencakup kerja sama, bantuan dan penguasaan.
Ketika seorang mukmin mengerjakan perkara mungkar, maka mukmin lainnya mencegahnya, dan ketika sorang mukmin mengerjakan perkara ma’ruf, maka mukmin lainnya mengingatkannya. Akhirnya setiap mukmin memerintah dan diperintah untuk mengerjakan kebaikan dan melarang mengerjakan kemungkaran.
Dengan demikian, dengan sûrah al-Taubah/ 9 : 71 menunjukan bahwa laki-laki dan peempuan mempunyai hak kepemimpinan publik, karena terbukti keduanya, baik laki-laki maupun perempuan berhak untuk mengerjakan yang ma’ruf dan mencegah yang mungkar mencakup segala kebaikan termasuk memberi masukan dan kritik terhadap penguasa.
Menurut Istibsyarah, hak perempuan kaitannya dengan relasi jender di bidang politik merupakan hak syar’i. Jika dalam beberapa masa lalu, perempuan tidak menggunakan hak ini, bukan berarti perempuan tidak boleh dan tidak mampu, tetapi karena tidak ada kebutuhan yang mendesak untuk memprakikannya, atau laki-laki dalam hal ini mengunggulinya. Ini bukan berarti hak politik peempuan tidak diakui, justru menjadi suatu hak yang dituntut dan dianggap sangat urgen, terutama di saat sekarang ini. Apalagi dalam kontek pemberdayaan peran politik perempuan di Indonesia, hak itu terlihat jelas misalnya, pada pasal 65 ayat 1, UU No. 12 tahun 2003 tentang pemilu yang menyatakan bahwa :

”Setiap partai politik peserta pemilu dapat mengajukan calon anggota DPRRI, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten ? Kota untuk setiap daerah pemilihan dengan memperhatikan keterwakilan perempuan sekurangkurangnya 30%”

Fatimah Mernisi menilai Hadîts riwayat al-Bukhari dari Abu Bakrah Ra ini, mempunyai kronologsi yang berbeda, yaitu Hadîts ini diucapkannya, ketika beliau mengetahui bahwa orang Persia telah mengangkat seorang anak perempuan bernama Buron binti Syiwaraih untuk memerintah mereka, Nabi bertanya; ketika kisra Persia meninggal, siapakah yang menggantikannya ? Dijawab ; mereka mempercayakannya kepada putrinya” disaat itulah, menurut Abu Bakar, diduga bahwa Nabi kemudian memberikan penilaian terhadap wanita.
Hal yang sama yang dilakukan oleh Istibsyaroh, bahwa hadits tersebut dalam tingkatan Ahad, tidak mutawatir. Seandainya dianggap mutawatir tetapi kronologisnya berkenaan dengan kasus tertentu yaitu merespon kejadian yang bersifat terbatas, bukan termasuk perundang-undangan yang bersifat umum, sebab hadits tersebut berasal dari Rasulullah dalam kafasitasnnya sebagai kepala pemerintahan dan pemimpin negara tidak sebagai Rasul. Kalaupun hadits itu termasuk perundang-undangan yang bersifat umum, maka maknanya scara bahasa yang tepat adalah dikuasainya seluruh urusan negara serta pemerintahan secara menyeluruh oleh perempuan. Ini suatu hal yang tidak mungkin, baik bagi laki-laki mapun perempuan.
Dilihat dari perawinya, Abu Bakrah, Ia meriwayatkan hadits tersebut setelah kalahnya ’Aisyah di perang Jamal yang telah terpendam 25 tahun dari ingatannya dalam situasi dan kontek yang bebeda. Hadits tersebut tidak ada sebelum perang Jamal, dimana ’Aisyah istri Nabi menjadi pimpinan pasukan yang di dalamnya banyak sahabat mengikutinya, tidak seorangpun sahabat keberatan atas kepemimpinannya. Bahkan Abu Bakrah pun ada dan tidak membelot darinya. Seandainya dia yakin bahwa Nabi melarang perempuan menjadi pemimpin, tentulah dia segera keluar dari barisan ’Aisyah setelah teringat hadits tersebut. Hal ini menunjukan bahwa kepemimpinan perempuan dalam hal ini adalah ’Aisyah adalah diterima oleh para sahabat terkemuka.

B. Analisis Terhadap Pemikiran al-Zamakhsyarîy Tentang Kepemimpinan Wanita.

Dalam memahami isu kodrat wanita sering terjadi kerancuan, bahkan seakan merupakan polemik berkepanjangan, baik dari kalangan kaum pria maupun wanita sendiri, kaum intelektual apalagi kaum awam. Kodrat wanita dijadikan alasan untuk mereduksi berbagai peran wanita di dalam keluarga maupun masyarakat. Sementara kodrat itu sendiri sudah dianggap sebagai pemberian Yang Maha Pencipta.
Pemahaman seperti ini perlu dipertanyakan, apakah hal itu memang sudah menjadi kreasi Tuhan atau hanya rekayasa masyarakat karena merasa takut dan khawatir mendapat saingan? Atau beberapa pertanyaan lain yang mungkin akan muncul.
Akibat dari opini yang dibangun terhadap makna “kodrat wanita”, misalnya asal kejadian atau penciptaannya, akal atau kemampuan dan agamanya yang kurang, menempatkan wanita pada posisi yang rendah dan bahkan sangat lemah. Melalui lembaran sejarah dapat disaksikan betapa fatwa hakim agama Mekah berpengaruh dalam membangun opini masyarakat terhadap kedudukan wanita. Ketika empat orang sultânah yang pernah memerintah secara berkesinambungan, harus berakhir dan terputus karena fatwa hakim yang tidak membolehkan wanita menjadi pemimpin negara dengan alasan telah menyalahi kodratnya sebagai wanita. Demikian pula ketika melirik sejarah pergerakan nasional di Indonesia, partisipasi kaum wanita secara kuantitatif dan kualitatif sangat kurang dibanding kaum pria. Salah satu sebabnya ialah adanya hambatan keagamaan. Sudah terlanjur dipersepsikan bahwa perjuangan fisik dan tugas-tugas politik adalah tugas kaum pria, sementara kaum wanita hanya mengurus rumah tangga. Padahal keterlibatan kaum wanita di dunia publik pada masa Nabi Muhammad Saw. demikian besar.
Para mufassir yang tidak sependapat dengan persepsi yang membolehkan wanita menjadi seorang pemimpin dalam dunia publik, mendasarkan pandangannya tersebut pada hadîts Nabi Saw. yang diantaranya adalah Hadîts ;
حدثنا عثمان بن الهيثم حدثنا عوف بن الحسن, عن ابي بكرة قال : لقد نفعني الله بكلمة سمعتها من رسول الله صلهم أيام الجمل بعد ما كدت أن الحق بأصحاب الجمل فأقاتل معهم, قال : لما بلغ رسول الله صلهم أن اهل فارس قد ملكوا عليهم بنت كسرى, قال : لن يفلح قوم ولوا امرهم إمرأة
“Usman bin al-Haitsam menceriterakan kepada kami, dari Auf bin al-Hasan dari Abi Bakrah berkata : “Sesungguhnya Allah telah memberikan hikmah kepadaku pada saat perang Jamal dengan suatu kalimat yang saya dengar dari Rasulullah saw. setelah aku hampir mengikuti pasukan unta. ketika kusampaikan kepada Rasulullah Saw. bahwa kerajaan Persia dipimpin oleh anak perempuannya, maka Nabi Saw. bersabda : ”Tidak akan berbahagia (sukses) suatu kaum (masyarakat) yang menyerahkan (untuk memimpin) urusan mereka kepada wanita”.

dan hadîts yang mengatakan bahwa wanita kurang akal dan kurang agamanya, yaitu :
حديث عبدالله بن عمر رضي الله عنهما : عن رسول الله صلىالله عليه وسلم انه قال : يا معشر النساء تصدقن وأكـثرن الإستغفار فإني رأيتكن اكثر اهل النار فقالت إمرأة منهن جزلة وما لنا يا رسول الله أكثر أهل النار قال تكثرن اللعن وتكفرون العشيرما رأيت من ناقصات عقل ودين أغلب لذى لب منكن قالت يا رسول الله وما نقصان العقل والدين قال أما نقصان العقل فشهادة امرأتين تعدل شهادة رجل فهذا نقصان العقل وتمكث الليالى ما تصلى وتفطرفى رمضان فهذا نقصان الدين .
“Diriwayatkan oleh ‘Abullah ibn ‘Umar r.a, katanya : Rasulullah Saw.telah bersabda : Wahai kaum perempuan! Bersedekahlah kalian dan perbanyaklah istighfar. Karena, aku melihat kalian lebih ramai menjadi penghuni neraka. Seorang perempuan yang cukup pintar di antara mereka bertanya; Wahai Rasulullah, kenapa kami kaum yang lebih ramai menjadi penghuni neraka? Rasulullah Saw., bersabda kalian banyak mengutuk dan mengingkari suami. Aku tidak melihat yang kurang akal dan agama dari pemilik pemahaman daripada golongan kalian. Perempuan itu bertanya lagi; Wahai Rasulullah! Apakah maksud kekurangan akal dan agama itu? Rasulullah Saw., bersabda; maksud kekurangan akal penyaksian dua orang perempuan sama dengan satu orang laki-laki. Inilah yang dikatakan kekurangan akal. Begitu juga perempuan tidak mengerjakan sembahyang pada malam-malam yang dilaluinya kemudian berbuka pada bulan Ramadlan karena haid-haid. Maka inilah yang dikatakan kekurangan agama.”

Kedua hadîts inilah yang menjadi rujukan para mufassir yang tidak menginginkan wanita untuk berkiprah di dunia publik.
Dalam budaya yang ada di Indonesia, umumnya wanita mempunyai peran ganda. Ironisnya, kaum wanita menerimanya tanpa tawar menawar. Dibalik kodrat yang diembannya, ia tetap tidak dapat meninggalkan peran domestiknya. Urusan keluarga, urusan rumah tangga atau sering diistilahkan ruang lingkup domestik pada umumnya diserahkan kepada kaum wanita, sehingga oleh wanita hal-hal tersebut pada gilirannya selalu dijadikan nomor satu.
Peran dan kedudukan wanita sering dikotakkan dalam peran tertentu, misalnya ibu rumah tangga. Kuatnya peran seorang wanita dengan tugas pertama dan utama di sektor domestik, membuat orang percaya sepenuhnya bahwa itulah memang garis takdir wanita atau kodrat wanita yang telah diciptakan dan ditentukan Tuhan. Peran dan kedudukannya menjadi ibu rumah tangga terkesan mutlak, semutlak ia memiliki rahim atau seabsolut pria memiliki sperma untuk pembuahan.
Padahal, disamping memainkan peran sebagai isteri pendamping suami, ibu rumah tangga dan pendidik bagi anak-anaknya, seorang wanita dapat menikmati haknya untuk memainkan peranan lain di luar keluarga sesuai dengan kodratnya. Hal ini karena masyarakat, seperti halnya keluarga, merupakan unit hubungan yang sangat penting dalam dunia Islam. Karena terdapat suatu ikatan yang erat antara individu dan anggota keluarganya yang lain, maka terdapat suatu mata rantai yang kuat antara individu dan orang lain dalam suatu masyarakat.
Mengenai larangan keterlibatan kaum wanita di luar rumah tangganya, para mufassir sering merujuk kepada sûrah. al-Ahzâb/ 33 : 33 :

“dan hendaklah kamu tetap di rumahmu dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang Jahiliyah yang dahulu dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan ta`atilah Allah dan Rasul-Nya. Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, hai ahlul bait dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya.”.

Mengenai tafsîran ayat tersebut, al-Zamakhsyarîy tidak menjelaskan, apa yang dimaksud dengan وقرن في بيوتكن , tetapi hanya menjelaskan kedudukan kalimat tersebut dalam kaedah bahasa Arab. Misalnya, dikatakan bahwa kata قرن di-kasrah-kan huruf kaf-nya, berasal dari قر- يقر- وقارا atau قر- يقرِ . Selanjutnya al-Zamakhsyarîy menafsirkan apa yang dimaksud dengan kata الجاهلية الأولى. Dikatakan bahwa الجاهلية الأولى adalah masa yang telah lampau, yang disebut sebagai masa kebodohan dari orang-orang yang bodoh. Masa tersebut yaitu masa di mana nabi Ibrahim as. dilahirkan dan masa antara Adam dan Nuh as. Suatu pendapat mengatakan bahwa, masa jahiliyah yang pertama yaitu masa antara nabi Idris dan Nuh as. Adapula yang mengatakan, masa antara nabi Daud dan Sulaiman as. Dan masa jahiliyah terakhir adalah masa antara nabi Isa dengan Muhammad saw.. Namun dapat pula dikatakan bahwa الجاهلية الأولى adalah kekufuran sebelum datangnya Islam, dan الجاهلية الأخرى adalah kefasikan dan kebanggaan dalam Islam. Maka ungkapan lafal ini seakan-akan memberi makna; janganlah mereka para wanita berbicara dengan memakai perhiasan jahiliyah dalam Islam dengan menyerupai orang-orang jahiliyah yang kufur.
Al-Zamakhsyarîy menafsirkan ayat tersebut dengan tidak menjelaskan sejauh mana bolehnya keterlibatan kaum wanita di luar rumah, seperti yang sering dipaparkan oleh mufassir lainnya. Namun, terlepas dari penafsiran al-Zamakhsyarîy tersebut di atas, contoh-contoh keterlibatan kaum wanita dalam masyarakat pada masa Rasulullah Saw. patut dijadikan sebagai acuan hukum.
Yang menjadi persoalan berikutnya adalah bagaimana pandangan al-Zamakhsyarîy mengenai kepemimpinan wanita dalam masyarakat di bidang-bidang penting, seperti sebagai pemimpin pemerintahan, seorang hakim, pemimpin perusahaan anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan sebagainya?.
Berdasar pada penafsiran al-Zamakhsyarîy mengenai asal usul penciptaan wanita dan kepemimpinan laki-laki dalam rumah tangga.dalam sûrah. al-Nisâ’/4 : 1 dan 34, maka dapat disimpulkan bahwa al-Zamakhsyarîy tidak sependapat apabila pemimpin pemerintahan dan beberapa jabatan vital lainnya dijabat oleh seorang wanita. Hal ini penulis analisis dari penafsirannya bahwa laki-laki mempunyai kelebihan dibanding kaum wanita, seperti kelebihan intelektual (akal), lebih tegas, tekadnya lebih kuat, lebih berani dan kekuatan fisik yang lebih besar. Sementara dalam melaksanakan tugas-tugas yang diembannya selaku hakim, kepala negara dan jabatan vital lainnya, beberapa hal yang diungkapkan sebagai kelebihan laki-laki tersebut sangat dibutuhkan. Tanpa kemampuan-kemampuan tersebut, maka sangat mustahil seorang wanita mampu menjalankan amanat yang diemban di pundaknya. Oleh karenanya, tanpa menelusuri lebih jauh pendapat al-Zamakhsyarîy mengenai kepemimpinan wanita dalam sektor publik, sudah dapat dipahami bahwa dalam pandangannya, seorang wanita tidak layak menduduki posisi-posisi kekuasaan publik dan politik, terlebih lagi sebagai pemimpin negara.
Uraian sebelumnya mengemukakan tentang pandangan al-Zamakhsyarîy mengenai ayat-ayat yang dijadikan rujukan oleh para ulama dalam mengungkap kepemimpinan wanita dalam berbagai bidang. Dengan menggunakan argumen kebahasaan, al-Zamakhsyarîy menyimpulkan bahwa Hawa, sebagai perempuan pertama, diciptakan dari tulang rusuk Adam. Pandangan ini kemungkinan juga dilatar belakangi oleh hadîts yang dipegang oleh ulama pada masanya yaitu hadîts tentang penciptaan wanita dari tulang rusuk Adam yang paling bengkok.
Pemahaman al-Zamakhsyarîy tentang keberadaan wanita itu berangkat dari penafsiran awalnya mengenai sûrah. al-Nisâ/ 4 : 1, bahwa yang dimaksud dengan kalimat خلق لكم من نفس واحدة /خلقكم من نفس واحدة adalah bahwa manusia diciptakan dari jiwa yang satu yakni jiwa/diri Adam. Hal ini dimaknainya bahwa Hawa sebagai wanita pertama berasal dari diri Adam. Penafsiran ini berindikasi kurang menguntungkan kaum wanita, karena menimbulkan imeg yang buruk dalam masyarakat. Pandangan negatif bahwa kedudukan kaum Adam lebih tinggi dari kaum Hawa berawal dari penafsiran ayat ini. Di samping itu, al-Zamakhsyarîy tidak menjelaskan lebih jauh dan terperinci dasar hukum yang dipergunakan sehingga menafsirkan kalimat نفس واحدة dengan diri Adam. Padahal dari segi bahasa, kata نفس bersifat netral, bisa berlaku bagi pria dan juga bagi wanita.
Dalam menganalisis penafsiran al-Zamakhsyarîy mengenai sûrah. al-Nisâ/ 4 : 1, Muhammad Abduh dan Rasyîd Ridhâ juga memberikan komentar bahwa tidak dapat dipastikan kata نفس واحدة berarti Adam, kecuali bagi yang meyakini bahwa semua manusia adalah berasal dari anak cucu Adam. Tetapi bagi yang meyakini bahwa setiap ras punya asal-usul sendiri, maka yang dimaksud dengan نفس واحدة adalah nenek moyang mereka masing-masing. Menurutnya, kata رجال dan نساء dalam bentuk nakirah menandakan bahwa kalimat وبث منهما رجالا كثيرا ونساء menunjukkan ketidakpastian. Kalau memang yang dimaksud dengan Adam (ma’rifah), seharusnya kedua kata itu diungkapkan dalam bentuk ma’rifah juga. Misalnya, وبث منهما جميع الرجال والنساء . Karena khitâb pada ayat ini bersifat umum, yaitu seluruh umat manusia, bagaimana mungkin yang dimaksud dengan نفس واحدة adalah person tertentu, yaitu Adam, padahal tidak semua manusia mengenal Adam (dan Hawa), bahkan mendengarnya pun tidak pernah.
Menurut Rasyid Ridhâ, mayoritas mufassir termasuk al-Zamakhsyarîy, menafsirkan bahwa نفس واحدة adalah Adam bukan berdasarkan teks ayat, tetapi berdasarkan keyakinan yang sudah diterima secara umum pada waktu itu bahwa Adam adalah nenek moyang umat manusia. Menurutnya, teks ayat menegaskan bahwa secara esensi, semua manusia mempunyai asal kemanusiaan yang sama. Oleh sebab itu, semuanya bersaudara, tanpa memandang warna kulit, perbedaan bahasa atau keyakinan tentang asal usul manusia itu sendiri. Jadi, ayat ini tidak bermaksud menjelaskan asal kejadian manusia.
Apabila ditinjau dari segi etimologis, ungkapan Abduh dan Ridha dapat dibenarkan, karena kata نفس dan زوج bersifat netral. Kata نفس berarti bangsa atau jenis sedang kata زوج berasal dari زاج - يزوج - زوجا yang berarti menaburkan, menghasut. Dalam penggunaannya kata الزوج biasa diartikan dengan pasangan, laki-laki atau perempuan, jantan atau betina bagi hewan. Sehingga kata نفس واحدة dalam ayat tersebut bisa saja berarti Adam dan bisa juga berarti Hawa.
Di sisi lain, tampaknya al-Zamakhsyarîy terpengaruh kepada hadîts yang mengatakan bahwa wanita diciptakan dari tulang rusuk Adam. Hal ini berarti bahwa al-Zamakhsyarîy lebih mendahulukan teks hadîts daripada Al-Qur’an itu sendiri. Sebab Al-Qur’an tidak pernah menjelaskan secara qath’i bahwa isteri Adam (Hawa) diciptakan dari tulang rusuknya. Al-Qur’an hanya berkata, Tuhan menciptakan darinya isterinya. Allah tidak menyebut tulang rusuk dan tidak pula menjelaskan bahwa kata nafs wâhidah itu ditujukan kepada diri Adam.
Di samping ketidakjelasan penunjukan Al-Qur’an terhadap makna nafs wâhidah dalam ayat tersebut, juga kata nafs dalam berbagai konjugasinya dalam ayat lain terulang sebanyak 295 kali dalam Al-Qur’an, dan tidak ada yang berkonotasi Adam. Berdasar pada kenyataan ini, maka penafsiran al-Zamakhsyarîy mengenai kata nafs wâhidah dengan Adam terasa kurang didukung oleh ayat-ayat lain karena pengertian lafal nafs di dalam ayat yang lain tidak menunjuk kepada diri Adam secara khusus, melainkan menunjuk kepada berbagai pengertian sesuai dengan konteks pembicaraan, seperti jiwa. Juga menunjuk kepada pengertian jenis atau bangsa seperti terdapat dalam sûrah-sûrah berikut :
1. Sûrah al-Nahl/ 16 : 72 :

Dan Allah telah menjadikan untukmu isteri-isteri dari bangsamu (jenismu) sendiri (bukan jenis lain seperti jin, hewan dan sebagainya), dan Dia jadikan pula untukmu dari isteri-isteri itu anak-anak dan cucu-cucu…

2. sûrah al-Rûm/ 30 : 21 :
.
“Dan di antara tanda-tanda kekuasaanNya ialah ia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikanNya dia antara kamu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir”.

3. sûrah al-Taubah/ 9 : 128 :

“ Sesungguhnya telah datang kepadamu seorang Rasul dari bangsamu sendiri (Arab Quraisy)…

4. sûrah al-Syûra / 42 : 11;

“Dia jadikan untukmu isteri-isteri dari bangsamu sendiri dan hewan-hewan juga Dia jadikan pasangannya dari bangsanya sendiri ...”

Keempat lafal nafs (jamak; anfus) tersebut di atas berarti bangsa atau jenis, bukan dalam arti yang lain. Berdasar pada makna ayat-ayat tersebut di atas, tampaknya kata nafs sûrah al-Nisâ’/ 4 : 1 lebih mendekati kebenaran dan menghindari munculnya imej perbedaan penciptaan pria dan wanita, apabila diterjemahkan dengan jenis atau bangsa. Sehingga apabila diterjemahkan ayat tersebut selengkapnya berbunyi sebagai berikut :
“Hai sekalian manusia, bertaqwalah kepada Tuhanmu yang telah menciptakan kamu dari jenis (bangsa) yang satu; (bangsa manusia, bukan jin, hewan dan sebagainya); dan telah menciptakan pula dari jenis tersebut isteri (pasangan)nya; dan dikembangbiakkan-Nya dari (perkawinan) keduanya laki-laki dan perempuan yang banyak sekali...

Dari terjemahan di atas dapat dipahami bahwa wanita, menurut Al-Qur’an, bukan diciptakan dari tulang rusuk Adam, melainkan dari unsur yang sama dengan Adam, yaitu tanah. Tampaknya, terjemahan tersebut lebih dapat diterima dan lebih kondusif, karena sesuai dengan pemahaman yang dibawa oleh ayat lain.
Mengenai hadîts yang dijadikan rujukan oleh para mufassir bahwa Hawa diciptakan dari tulang rusuk Adam, perlu diberikan penjelasan yang memadai agar tidak terjadi kesalahpahaman dalam memahami teks Al-Qur’an dan hadîts. Apabila dikaji dan diteliti secara seksama sûrah. al-Nisâ’/4:1 tidak perlu dipertentangkan dengan makna yang dikandung oleh hadîts Bukhâri Muslim tersebut. Sebab, didalam sûrah al-Nisâ’/ 4 : 1, membicarakan tentang penciptaan semua manusia dari unsur yang sama, sementara hadîts membicarakan sifat dasar wanita yakni bagaikan tulang rusuk yang bengkok, sehingga apabila dipaksa meluruskannya dia akan patah, tapi bila dibiarkan begitu saja tanpa upaya meluruskannya, maka dia akan tetap bengkok. Hadîts ini harus dipahami sebagai peringatan bagi kaum lelaki agar berlaku bijaksana, karena ada sifat, karakter dan kecenderungan wanita yang tidak sama dengan lelaki.
Dalam menafsirkan sûrah. al-Nisâ’/4 : 32 dan al-Nahl/16 : 97 al-Zamakhsyarîy mengakui adanya kesamaan hak pria dan wanita dalam memperoleh hasil usahanya. Namun, dalam hal kepemimpinan dalam rumah tangga, sebagaimana sûrah al-Nisâ’/4 : 34 al-Zamakhsyarîy lebih cenderung menempatkan posisi kaum wanita di bawah kaum pria. Hal ini tampak pada ungkapannya ketika menafsirkan kata بما فضل الله بعضهم علي بعض bahwa kepemimpinan dalam rumah tangga itu diberikan oleh Allah kepada pria karena kelebihannya dalam beberapa hal. Dari kelebihan-kelebihan yang dipaparkannya, kelihatan bahwa al-Zamakhsyarîy menganggap kaum pria itu mempunyai banyak keunggulan ketimbang wanita.
Di sisi lain, al-Zamakhsyarîy tidak melihat bahwa kepemimpinan laki-laki (suami) dalam rumah tangganya tidak dapat berjalan sebagaimana mestinya tanpa ditunjang oleh kemampuan wanita (isteri) dalam menangani hal-hal yang mungkin saja laki-laki sulit untuk berkonsentrasi melakukannya, misalnya dalam hal mengurusi anak-anak. Kelembutan, kasih sayang dan ketelatenan seorang wanita dalam mendidik anak-anaknya adalah sebuah tanggung jawab yang tidak begitu diperhatikan oleh al-Zamakhsyarîy. Hal ini berarti bahwa dalam mengurus rumah tangga secara langsung, kaum wanita juga adalah seorang pemimpin yang harus diakui kapabilitasnya.
Al-Qur’an tidak secara tegas menjelaskan apa yang menjadi keunggulan pria atas wanita, sehingga penafsiran yang diberikan oleh para mufassir pun menjadi beragam dan kontroversial. Kelebihan-kelebihan yang dikemukakan oleh para mufassir -termasuk al-Zamakhsyarîy- pada intinya berkisar pada keunggulan laki-laki dari segi fisik, intelektual dan agama.
Sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya, bahwa tampak al-Zamakhsyarîy memperluas pembicaraan mengenai keunggulan kaum pria sebagai jenis kelamin, bukan dalam konteks suami, sebagaimana yang diinginkan oleh ayat الرجال قوامون علي النساء بما فضل الله بعضهم علي بعض. Sehingga kelebihan-kelebihan yang diberikan itu tidak relevan dengan fungsi dan tuags utama pria sebagai seorang pemimpin dalam rumah tangganya. Misalnya, disebutkan kelebihan fisik laki-laki; kuat, punya jenggot bahkan disebutkan juga memakai sorban sebagai suatu kelebihan. Demikian juga tugas dan peran laki-laki dalam upacara-upacara keagamaan, seperti laki-laki menjadi muadzin, khatib, imam dan sebagainya. Apabila pemahaman al-Zamakhsyarîy tersebut diterima sebagai suatu kelebihan laki-laki, maka dapat dikatakan bahwa kelebihan wanita juga antara lain, wanita haid, hamil, melahirkan, menyusui, cantik, lembut dan lain sebagainya. Namun, perbedaan-perbedaan tersebut harus dipahami tidak lebih dari sebuah pembagian tugas, bukan sebagai suatu kelebihan.

Mengenai kelebihan pria dari segi intelektual -sebagaimana penafsiran al-Zamakhsyarîy, penulis melihatnya bukan sebagai potensi intelektual yang dimiliki, tetapi apabila terjadi perbenturan antara nalar dan rasa, maka laki-laki lebih mendahulukan nalar daripada rasanya. Sebaliknya wanita lebih mendahulukan rasa daripada nalarnya. Namun, statement ini tidak berlaku untuk segala situasi dan kondisi, sebab dalam kondisi tertentu mungkin akan terjadi sebaliknya. Hal ini berarti bahwa pria dan wanita dapat melakukan persaingan secara sehat untuk mengembangkan diri lebih jauh. Bahkan dapat saja terjadi kemampuan intelektual wanita lebih tinggi ketimbang laki-laki, dan hal ini sangat dipengaruhi oleh lingkungan pendidikan dan lingkungan masyarakat yang membentuknya.
Kepemimpinan laki-laki dalam rumah tangga dari segi normativitas adalah memberikan kepastian siapa yang menjadi pemimpin di antara keduanya (suami atau isteri), sehingga tertutup peluang timbulnya perselisihan. Namun di sisi lain, kelemahannya adalah ketika persoalan tersebut diperhadapkan pada sebuah realitas, yakni tatkala secara faktual suami tidak memenuhi persyaratan untuk menjadi pemimpin, baik yang bersifat integritas pribadi, maupun kemampuan finansial yang disyaratkan oleh Al-Qur’an secara eksplisit. Hal ini tidak dijelaskan oleh al-Zamakhsyarîy dalam menafsirkan kata qawwâmun pada ayat tersebut.

Analisis lain yang penulis dapat kemukakan mengenai penafsiran al-Zamakhsyarîy terhadap ayat-ayat kepemimpinan wanita adalah bahwa al-Zamakhsyarîy dalam mengupas ayat-ayat kepemimpinan wanita, tidak begitu jauh menjelaskan konsep dasarnya mengenai kepemimpinan wanita itu sendiri.
Hal ini mungkin dilatarbelakangi oleh situasi dan kondisi kehidupan al-Zamakhsyarîy. Sebagaimana dipaparkan dalam pembahasan sebelumnya bahwa al-Zamakhsyarîy adalah seorang bujangan yang sangat tidak memperhatikan wanita. Kurangnya perhatian al-Zamakhsyarîy terhadap wanita dapat disebabkan oleh kefakirannya, ketidakstabilan hidupnya karena keadaan materi yang dimilikinya dan penyakit jasmani yang dideritanya. Cacat kakinya merupakan salah satu sebab yang menjadikan ia merasa lemah dan tidak sanggup untuk menanggung perkawinan dan tanggung jawab keluarga. Kemungkinan lain yang menjadi penyebabnya adalah karena kesibukannya menuntut ilmu dan kecintaannya terhadap ilmu dan karya-karya yang ditulisnya menyebabkan ia menjauh dari persoalan perkawinan. Namun yang pasti bahwa al-Zamakhsyarîy memang tidak menyukai wanita, bahkan menghindarinya. Hal ini disebabkan oleh karena al-Zamakhsyarîy tidak ingin menanggung resiko dari sebuah pernikahan tersebut. Sebagaimana penulis simpulkan dari ungkapan syairnya, yang berbunyi :
وأسعـد الـناس ناس قـط ما ولـدوا # ولا غـدوالخـراب الأرض عـمارا
فـلم يـذوقـوا بـأولاد إذا انـقـرضوا # ثـكلا ولا راعـهم بـيت إذا انهـارا
“ Orang yang paling bahagia adalah orang yang tidak beranak; dan orang yang tidak mempunyai rumah; Sehingga mereka tidak akan meratapi anak-anaknya jika mereka mati; dan mereka juga tidak akan terkejut, jika rumah mereka roboh.”

Namun demikian, sebuah ungkapan berupa nasehat yang diberikan oleh al-Zamakhsyarîy mengenai wanita dan patut untuk direnungkan adalah;

لا تخـطب المرأة لحسـنها ولـكـن لحـصـنـها, فإن اجـتمع الحـصن والجـمال فـذاك هو الكـمال وأكـملهن ذالك أن تعـيش حصورا وإن عـمرت عصورا.
“Janganlah engkau meminang wanita karena kecantikannya, tetapi karena keturunannya, apabila telah berkumpul keturunan dan kecantikannya maka itulah sebuah kesempurnaan dan kesempurnaannya itulah yang akan menyibukkan ”

Terlepas dari uraian di atas, al-Zamakhsyarîy dalam menafsirkan ayat-ayat kepemimpinan lebih banyak menganalisis dari segi kaedah kebahasaan, sehingga yang sangat menonjol adalah tinjauan kebahasaannya. Hal ini, menurut analisis penulis, adalah merupakan keistimewaan al-Zamakhsyarîy dalam menafsirkan Al-Qur’an, tetapi dapat pula menjadi sebuah kelemahan. Alasannya adalah dengan tinjauan kebahasaan semata, maka penafsiran ayat yang diinginkan tidak begitu nampak, hanya berbentuk sebuah penjelasan kaedah bahasa. Namun, hal itu pun tidak dapat dipersalahkan sepenuhnya kepada al-Zamakhsyarîy, sebab kecenderungan al-Zamakhsyarîy dalam menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an dari segi bahasa sesuai dengan kebutuhan masyarakat pada masanya.
Persoalan kepemimpinan wanita belumlah menjadi fokus perhatian para mufassir termasuk al-Zamakhsyarîy pada masa hidupnya. Persoalan yang dihadapi al-Zamakhsyarîy adalah kekhilafan-kekhilafan yang dilakukan oleh orang-orang pada masanya dalam menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an, terutama mengenai huruf-huruf muqaththa’ah. Oleh karenanya, al-Zamakhsyarîy memulai penafsirannya dari huruf-huruf muqatta ’ah tersebut.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar